Quantcast
Channel: PADIStudio
Viewing all 210 articles
Browse latest View live

Hukum Membunuh Untuk Membela Diri

$
0
0

Maraknya pencurian dan perampokan di minimarket belum juga berhenti. Di antara pelakunya adalah oknum TNI. Dwi Widarto, seorang  anggota TNI Angkatan Laut (AL) yang bertugas di KRI Suharso 990, tewas mengenaskan setelah sebutir peluru menembus pelipisnya. Timah panas itu melesat dari senjata api yang sedang digenggam korban¸ saat duel dengan salah seorang kasir sebuah minimarket Indomaret Jalan Laban, Kecamatan Menganti, Gresik, Minggu (28/10) malam. Dan ternyata, pelaku berpangkat Sersan Dua (Serda) ini juga terlibat aksi perampokan di sejumlah tempat lainnya di Surabaya. Di antaranya, perampokan Indomaret Balongsari, Alfamidi Benowo, SPBU Ngesong dan perampasan pistol polisi di Margomulyo (SurabayaPagi.com, edisi 30 Oktober 2012).

Dalam Islam pencurian dan pembunuhan keduanya merupakan jarimah (tindak kriminal), pelakunya diancam dengan hukuman yang berat sebagaimana  ditetapkan syariat. Islam menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri dan qisash (hukum mati) bagi seorang pembunuh. Bedanya, pencurian merupakan hudud, sehingga setelah kasus itu di ajukan kepengadilan tidak seorang pun yang bisa memberikan pemaafan (pembatalan hukuman), walau pun diberikan oleh korban itu sendiri .  Sementara pembunuhan merupakan jinayat, dimana syariat memberikan hak pemaafan kepada sang korban, agar tidak diterapkan qishas kepada pembunuh, namun cukup diganti dengan membayar diyat.

Dengan pelaksanaan hukum syariat di atas, niscaya tindakan-tindakan kriminal bisa diminimalisasi bahkan dihilangkan. Sebab sanksi dalam Islam, selain dapat menggugurkan atau menebus dosa pelaku dari siksa di akhirat (al-jabru), sanksi itu pun dengan ketegasannya akan mampu memberikan efek jera (al-jazru) bagi masyarakat, khususnya mereka yang berniat melakukan kejahatan serupa.

Namun, pelaksanaan hukum di atas tidak bisa dilepaskan dari ketentuan-ketentuan pelaksanaanya (al-ahkam al-wadh’iyyah al-muta’alliqah bih) seperti: syarat, sebab, mani’ (pencegah), ada atau tidak adanya rukhsoh (keringanan), dll.

Sebagai contoh, pembunuhan yang dilakukan seorang kasir di dalam kasus di atas baginya tidak akan diberlakukan hukum qishas ataupun diyat. Sebab, membela diri, harta dan kehormatan dari seorang pembunuh (daf’u ash-shoil) merupakan rukshoh (keringan) yang ditetapkan syariat kepada korban sebagaimana akan kami jelaskan dalam tulisan ini.

Hukum dan Tahapan Pembelaan  Terhadap Diri, Harta dan Kehormatan

Orang yang merasa bahwa kehormatan, harta, dan dirinya dalam bahaya, secara syar’iy berhak melakukan pembelaan (ad-difaa’ as-syar’iy). Sebagai contoh, ketika seseorang berhadapan dengan pelaku kriminal yang mengarahkan senjata api atau menghunus senjata tajam, bermaksud membunuhnya atau mengambil harta miliknya atau merenggut kehormatannya, maka ia disyariatkan untuk melakukan pembelaan.

Begitupun, ketika seseorang melihat orang lain dalam kondisi tersebut, maka ia pun berhak melakukan pembelan terhadapnya. Namun, pembelaan tersebut harus dilakukan sesuai dengan kadar bahaya yang dihadapinya. Kalau seseorang yang bermaksud jahat itu cukup diingatkan dengan kata-kata, seperti memintanya beristigfar,  atau teriakan meminta pertolongan kepada orang di sekitar tempat kejadian, maka haram bagi korban melakukan pemukulan.

Begitu pun jika ia dapat melakukan pembelaan itu cukup dengan memukul, maka ia tidak dibenarkan untuk menggunakan senjata. Namun bila pembelaan atas dirinya tidak mungkin dilakukan kecuali dengan senjata yang dapat melumpuhkannya, seperti dengan pentungan misalnya, maka ia boleh melakukannya, namun tidak dibenarkan baginya untuk membunuh. Akan tetapi, bila pembelaan itu hanya mungkin dilakukan dengan membunuhnya, seperti dalam kondisi yang di contohkan di atas, dimana pelaku sudah menghunus senjata tajam atau mengacungkan pistol misalnya, maka bagi korban berhak untuk membunuhnya, (Lihat: Wahbah az-Zuhailiy, Fiqhul Islamiy Wa Adillatuha, 6/597).

Sebagaimana bila ia dapat menyelamatkan dirinya dengan melarikan diri atau berlindung kepada orang lain, maka dalam kondisi seperti ini ia tidak boleh secara sengaja membunuh pelaku. Ini adalah pandangan madzhab as-Syafiiyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Dengan kata lain hendaknya korban melakukan pembelaan dengan cara yang paling mudah, sesuai kondisi yang dihadapinya, (Lihat:  al-Badai’: 7/93, mughnil muhtaj: 4/1966-197, bidayatul Mujtahid, 2/319, al-Mughni: 329-331, ).

            Dalil masalah ini adalah firman Allah Swt:

فمن اعتدى عليكم فاعتدوا عليه بمثل ما اعتدى عليكم، واتقوا الله ، واعلموا أن الله مع المتقين

Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketauhilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertaqwa”. (QS. 2:194)

Perintah al-taqwa dalam ayat ini menjadi dalil akan keharusan adanya kesamaan dalam menuntut balas atau melakukan pembelaan (al-mumatsalah) dan pentahapan (at-tadarruj) dalam pelaksanaannya, mulai dari yang paling ringan dan mudah, hingga yang paling sulit dan berat konsekuensi, seperti membunuh.

Sementara dalam as-Sunnah, Rasulullah Saw. bersabda:

من قتل دون دينه فهو شهيد، ومن قتل دون دمه فهو شهيد، ومن قتل دون ماله فهو شهيد، ومن قتل دون أهله فهو شهيد (رواه أصحاب السنن الأربعة)

Siapa saja yang terbunuh karena membela agamanya maka ia syahid, siapa saja yang terbunuh karena membela jiwanya maka ia syahid,   siapa saja yang terbunuh karena membela hartanya maka ia syahid, dan siapa saja yang terbunuh karena membela kehormatan keluarganya maka ia syahid” (HR. Abu Daus, at-Tirmidzi, an-Nasaiy, Ibnu Majah)

Sifat syahid yang dilekatkan kepada orang yang terbunuh demi membela agama, jiwa, harta, dan kehormatannya menunjukan kebolehan melakukan pembelaan dan perlawanan meski harus membunuh sang pelaku.

Adapun dalil kebolehan melakukan pembelaan dan perlawanan demi harta, jiwa, dan kehormatan orang lain, adalah hadis riwayat Anas Ibnu Malik, bahwa Rasulullah Saw bersabda :

انصر أخاك ظالماً أو مظلوماً، قيل: كيف أنصره ظالماً؟ قال: تحجزه عن الظلم، فإن ذلك نصره (رواه البخاري وأحمد والترمذي)

Tolonglah saudaramu yang dzalim dan terdzalimi. Lalu ketika Anas bertanya: “bagaimana cara aku menolong orang yang dzalim.?”. Beliau menjawab: “kau cegah ia untuk melakukan kedzaliman itu, sesunggunya dengan itu kau telah menolongnya” (HR. Bukhari, Ahmad, dan at-Tirmidzi).

Dalam hadis lain Rasulullah Saw. bersabda:

من أذل عنده مؤمن، فلم ينصره، وهو يقدر على أن ينصره، أذله الله على رؤوس الأشهاد يوم القيامة (رواه أحمد)

 ”Siapa saja yang menyaksikan seorang mukmin dihinakan, lalu ia tidak menolongnya padahal ia mampu untuk melakukannya, niscaya Allah Saw. akan menghinakannya di hari kiamat di hadapan manusia” (HR. Ahmad)

Adapun status kedua hak di atas, yakni hak untuk membela jiwa, harta dan kehormatan diri sendiri, serta hak untuk membela jiwa, harta dan kehormatan orang lain, apakah merupakan hak yang sifatnya wajib (haqun wajib), ataukah sekedar boleh (haqun ja’iz),  maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha dalam aspek rinciannya.

Pembelaan atas diri/jiwa hukumnya mubah (boleh) menurut  madzhab al-hanabilah dan wajib menurut pandangan jumhur fuqoha (al-malikiyyah, al-hanafiyyah, dan as-syafiiyah). Hanya saja madzhab syafiiy memberikan taqyid (batasan) kewajiban tersebut, yakni jika pelakunya orang kafir, sementara jika yang melakukan penyerangan itu sesama muslim maka hukumnya boleh (tidak wajib), dengan dalil sabda Rosulullah Saw:

كن خير ابني آدم (رواه أبو داود)

jadilah sebaik-baiknya bani adam (Rawa Abu Daud).

Perintah untuk menjadi sebaik-baik bani Adam dalam hadis ini adalah isyarah pada kisah Qabil dan Habil, dimana Habil terbunuh tanpa melakukan perlawanan. Sikap seperti ini pula yang mashur ditengah-tengah para sahabat, tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya, sebagaimana kasus pembunuhan ‘Utsman Ibnu ‘Affan. Selain itu, dalil lain yang dijadikan dasar oleh madzhab as-Syafiiy adalah bahwa membela diri sendiri,  sama wajibnya dengan membela diri sesama muslim, karena ta’arudh (pertentangan) inilah mereka berpendapat bahwa hukum membela diri dalam kontek ini hukumnya hanya mubah. Sementara madzhab jumhur  yang lain berpegang pada firman Allah Swt:

{ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكة}

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan (QS. 2:195)

Dan firman Allah Swt:

{فقاتلوا التي تبغي حتى تفيء إلى أمر الله }

Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah, (QS. 49:9)

‘Alakullihal, melakukan pembelaan atas keselamatan diri dari pelaku kejahatan bukanlah perkara yang dilarang, meski ada perbedaan pendapat apakah hukumnya wajib atau sekedar boleh. Begitupun melakukan pembelaan atas harta hukumnya mubah menurut pandangan jumhur fuqaha (tidak wajib), meski pembelan itu harus dilakukan dengan cara membunuh pelaku, dengan ketentuan sebagaimana dijelaskan di atas, yakni keharusan tadarruj (bertahap) mulai dari cara yang lebih ringan dan mudah.  Adapun pembelaan atas kehormatan, yakni kehormatan perempuan-perempuan muslimah, para fuqaha sepakat bahwa hukumnya wajib, baik menyangkut kehormatan diri sendiri atau orang lain. Sebab pembiaran atas terenggutnya kehormatan seroang muslim merupakan perkara haram, (Lihat: (Lihat: Wahbah az-Zuhailiy, Fiqhul Islamiy Wa Adillatuha, 6/600-608).

Tidak Ada Sanksi

Para fuqha sepakat bahwa siapa saja yang membunuh pelaku kejahatan (as-shoil) demi melakukan pembelaan, maka tidak ada sanksi baginya, baik berupa qishash maupun diyat. Sebab, hal itu merupakan rukhsoh (keringanan) yang diberikan syara’ sebagaimana dijelaskan di  atas. Selain dalil-dalil yang menjadi dasar adanya rukhsoh tadi, juga terdapat dalil-dalil khusus terkait kehalalan darah para sang pelaku. Di antaranya sabda Rasulullah Saw:

من شهر سيفه ثم وضعه فدمه هدر (رواه الإمام الحاكم)

 ”siapa saja yang menghunus pedang kemudian memukulkannya (kepada orang lain) maka halal darahnya (HR. al-hakim)

Imam ad-Dzahabi memberikan ta’liq (komentar) dalam kitab at-Talkhis, bahwa hadis ini shohih berdasarkan kriteria Imam Bukhari dan Muslim, meski keduanya tidak men-takhrij hadis ini dalam kitab shahihnya.

Terkait orang yang membunuh karena membela hartanya, Abu Hurairah meriwayatkan sebuah hadis, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw. lalu bertanya:

يا رسول الله ، أرأيت إن جاء رجل يريد أخذ مالي؟ قال: فلا تعطه مالك، قال: أرأيت إن قاتلني؟ قال: قاتله، قال: أرأيت إن قتلني؟ قال: فأنت شهيد، قال: أرأيت إن قتلتُه؟ قال: هو في النار (رواه مسلم)

Wahai Rasulullah: “bagaimana menurutmu jika ada seseorang yang hendak mengambil hartaku.?”. Beliau menjawab: “jangan kau berikan”. Laki-laki itu bertanya lagi: “Bagaimana jika ia menyerangku”.?. Beliau menjawab: “Engkau lawan”. Ia bertanya lagi: “Bagaimana jika ia berhasil membunuhku.?”. Beliau menjawab: “kamu syahid”. Ia bertanya lagi: “Bagaimana jika aku yang berhasil membunuhnya..?”. Beliau menjawab: “Dia masuk neraka” (HR. Muslim).

Kebolehan membunuh pelaku yang ditegaskan Rasulullah Saw. menunjukan hilangnya sanksi bagi pembunuh karena membela hartanya itu. Sebab, sanksi tidak diterapkan dalam  perkara yang mubah. Begitupun pembelaan terhadap kehormatan, dalil-dalil di atas sudah cukup sebagai dasar dihilangkannya sanksi dari pembunuh dengan alasan membela kehormatan. Bahkan, ulama empat madzhab sepakat bahwa siapa saja yang mendapati istrinya berzina dengan laki-laki lain, lalu ia membunuh laki-laki tersebut, maka tidak ada qishash atau pun diyat baginya, (Lihat: Ibnu Quddamah, al-Mugni, 8/332).

Namun, pelaksanaan hukum ini tentu perlu dibuktikan dipengadilan, apakah benar bahwa seseorang itu membunuh karena membela diri, atau bukan. Jika terbukti bahwa ia membunuh karena membela diri, harta, dan kehormatannya maka ia terbebas dari hukuman qishash dan diyat, baik pembuktian tersebut melalui keberadaan dua orang saksi, pengakuan keluarga terbunuh, atau indikasi-indikasi lain yang menunjukan bahwa pelaku membunuh korban karena membela diri, seperti ancaman sang korban dimuka umum, atau ia terkenal di tengah-tengah masyarakat sebagai penjahat dan pelaku kriminal. Wallahu a’lam bi as-showab. (Abu Muhtadi/Lajnah Tsaqofiyah DPP HTI)


Filed under: Seni

Poligami dan Nikah Siri

$
0
0

Pengertian Poligami

Dari wikipedia dijelaskan bahwa Poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan). 

Poligami merupakan perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari satu wanita atau perkawinan yang banyak atau pemahaman tentang seorang laki-laki yang membagi kasih sayangnya atau cintanya dengan beberapa wanita dengan menyunting atau menikahi wanita lebih dari satu dan hal ini dapat mengundang persepsi setiap orang baik negatif atau positif tentang baik buruknya moral seseorang yang melakukan poligami.

 

Poligami sendiri berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan kata poli dan polus yang artinya banyak, dan kata gamein atau gamos, yang artinya kawin atau perkawinan. Maka, ketika kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak. 
Dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu, dengan batasan, umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita. Walaupun ada juga yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan lebih dari empat atau bahkan lebih dari sembilan istri. Poligami dengan batasan empat nampaknya lebih didukung oleh bukti sejarah. Karena Nabi melarang menikahi wanita lebih dari empat orang.

 

 
Sedangkan pengertian nikah siri atau nikah dibawah tangan dapat digolongkan menjadi 2, yaitu :

 

1. Pernikahan yang dilakukan tanpa wali.
2. Pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan terpenuhi syarat-syarat lainya tetapi tidak dicatat di KUA setempat.

 



Hukum Poligami Menurut Islam

Pada dasarnya hukum poligami dalam Islam adalah sunnah, karena Rasulullah Saw pun berpoligami, sebenarnya dimaksudkan untuk melindungi janda-janda miskin dan anak yatim. Dengan memberikan izin untuk praktik poligami, Islam berharap agar kehidupan janda-janda miskin dan anak-anak yatim tersebut bisa lebih baik. Selain itu, dengan dinikahi secara sah, keberadaan janda-janda tersebut bisa terhindar dari fitnah.

 
Konsekuensi dari izin ini adalah mendahulukan untuk menikahi janda yang paling lemah, paling miskin, dan yang paling tidak menarik secara fisik. Jangan lupa, masih ada persyaratan lain yang juga penting. Selain harus mampu secara ekonomi, seseorang yang akan melakukan poligami diharuskan bisa bersikap adil kepada istri-istrinya. Firman Allah SWT :

 

 

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilama kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” [An-Nisa : 3]

 
Namun hukum poligami dapat menjadi makruh bahkan haram jika poligami dimaksutkan hanya untuk menyakiti seseorang atau hanya untuk melampiaskan hasrat hawa nafsu tanpa mampu berbuat adil kepada istri – istri nya, anak – anaknya, serta tidak dapat adil pada dirinya sendiri, oleh sebab itu orang yang tidak mampu berpoligami dan takut kalau tidak dapat berlaku adil, maka hendaknya cukup kawin dengan satu istri saja, karena Allah berfirman :

 

 

“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”. [An-Nisa : 3]

 

 

Hukum Poligami Menurut UU Indonesia

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang menyatakan bahwa asas perkawinan adalah monogami, dan poligami diperbolehkan dengan alasan, syarat, dan prosedur tertentu tidak bertentangan dengan ajaran islam dan hak untuk membentuk keluarga, hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, dan hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
 
Beberapa pasal yang menyebutkan tentang UU Poligami :
 

UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Asas Monogami Relatif
Pasal 9

 

seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, tidak dapat kawin lagi kecuali hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan 4 UU ini.
Pasal 3 ayat (2):

 

Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari satu orang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan

 

 
Syarat Poligami

A. Syarat Alternatif (Pasal 4 ayat 2)

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
2. Istri mendapat cacat badan/atau penyakit yang tidak dapat disenbuhkan;
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

 

 
B. Syarat Komulatif (Pasal 5 ayat (1)

1. Persetujuan istri/istri-istri;

2. Mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak

 

3. Jaminan akan berlaku adil.
 
Syarat Khusus PNS PP No 10 Tahun 1983 jo PP 45 Tahun 1990Tentang Perceraian dan Perkawinan Bagi PNS :
 
Syarat Poligami harus ada izin atasan. Izin tdk diberikan dalam hal (Ps 10 PP 10/1983):n

 

1. Bertentangan dengan ajaran atau peraturan agama

 

2. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

 

3. Alasan tidak masuk akal
4. Ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas

 

Larangan bagi wanita PNS untuk menjadi istri kedua,ketiga, keempat (Pasal 4 ayat (2) PP 45/1990.
 

Pengertian Nikah Siri

Banyak sekali perbedaan pendapat mengenai pengertian nikah siri, namun pada dasarnya pengertian nikah siri digolongkan menjadi 2, yaitu :

 

1. Nikah Siri merupkan pernikahan yg dilakukan secara sembunyi–sembunyi tanpa wali dan saksi. Inilah pengertian yg pernah diungkap oleh Imam Syafi’i di dalam kitab Al Umm 5/ 23, dan dalam katagori nikah siri ini semua ulama sepakat bahwa pernikahn itu menjadi batal atau tidak sah dalam hokum islam

 
2. Nikah Siri merupakan pernikahan yg dihadiri oleh wali dan dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh menyebarkan berita pernikahan kepada masyarakat sekitar atau publik.

 

 

Hukum Nikah Siri Menurut Islam

 

Hukum nikah siri dalam Islam adalah sah sepanjang hal-hal yang menjadi dan rukun nikah terpenuhi, dimana rukun nikah dalam agama Islam adalah sebagai berikut :
  • Adanya calon mempelai pria dan wanita
  • Adanya wali dari calon mempelai wanita
  • Adanya dua orang saksi dari kedua belah pihak
  • Adanya ijab ; yaitu ucapan penyerahan mempelai wanita oleh wali kepada mempelai pria untuk dinikahi
  • Qabul; yaitu ucapan penerimaan pernikahan oleh mempelai pria (jawaban dari ijab)
Jika dalam pelaksanaan nikah siri rukun nikah yang tertera di atas terpenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat agama Islam, hanya saja tidak tercatat dalam buku catatan sipil. Dan proses nikah siri lainnya yang tidak memenuhi rukun-rukun diatas maka pernikahan tersebut tidak dianggap sah menurut syariat Islam, dalam hadits disebutkan :

 

“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.”
(HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557)

Hukum Nikah Siri Menurut Negara

Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 2 [2] disebutkan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dari sini, pencatatan disinggung secara lebih lanjut. Sedang dalam PP No 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan, pasal 3 disebutkan:
 
Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinannya dilangsungkan.
 
Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
 
Pengecualian dalam jangka tersebut dalam ayat 2 disebabkan sesuatu alasan yang penting diberikan oleh Camat (atas nama) Bupati Kepala Daerah.
 

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa negara dengan tegas melarang adanya nikah siri dan setiap upacara pernikahan harus memberitahukan kepada pegawai negara yang berwenang. Bahkan negara akan memberikan sanksi pidana kepada para pelaku nikah sirri dengan alasan pernikahan siri telah menimbulkan banyak korban dan Kementerian Agama mencatat, 48 persen dari 80 juta anak di Indonesia lahir dan proses perkawinan yang tidak tercatat. Artinya, 35 juta anak di Indonesia sulit mendapatkan surat lahir, kartu tanda penduduk, hak-hak hukum seperti hak waris, dan sebagainya. Selain itu, dari dua juta perkawinan per tahun, terdapat 200 ribu perceraian.

 
Data ini menunjukkan perkawinan tanpa pencatatan akan menimbulkan masalah panjang, khususnya bagi anak-anaknya. Belum lagi mengenai status istri hasil nikah tanpa pencatatan. Mereka tidak terlindungi secara hukum. Jika perkawinanya bermasalah, maka sang istri tidak akan bisa mendapatkan hak-haknya secara wajar. Hak waris, hak gono-gini, dan hak-hak perlindunga hukum lainnya. Karena nikah siri sering disalah gunakan oleh pelakunya.

 

 
Negara tidak mengizinkan nikah siri dengan niat untuk melindungi hak-hak sipil warga yang timbul akibat penyalahgunaan pernikahan. Negara berkewajiban menciptakan harmoni dan keteraturan sosial di tengah masyarakat.

 

 

 

Kesimpulan

 

 
  1. Poligami menurut pandangan Islam pada dasarnya adalah sunnah, karena hal itu dilakukan oleh Rasulullah Saw dan beberapa sahabat, namun dengan syarat-syarat tertentu yang tidak semua manusia awam dapat memenuhinya, dan hukum poligami pun bisa menjadi makruh bahkan haram apabila sang suami tidak dapat berlaku adil ataupun ada niat untuk menyakiti dan menelantarkan, sedangkan menurut UU negara, poligami pun diperbolehkan namun dengan syarat-syarat yang tertera pada UU Indonesia.
  2. Pada dasarnya hukum nikah siri menurut Islam adalah syah apabila memenuhi rukun – rukun nikah yang tertera pada ajaran Islam, sedangkan menurut UU Indonesia nikah siri adalah dilarang dikarenakan banyak menimbulkan kerugian pada pihak wanita dan juga banyaknya tindak penyelewengan oleh para pelakunya.
 
 

 

Dikutip dari Berbagai SUMBER

Filed under: Seni

Kemiskinan

$
0
0

Tulisan ini tidak dapat menyajikan petunjuk-petunjuk praktis operasional tentang pengentasan kemiskinan. Karena pada dasarnya Al-Quran (yang menjadi rujukan) adalah kitab petunjuk yang bersifat global. Sehingga jangankan persoalan kemasyarakatan, masalah-masalah yang berkaitan dengan misalkan rincian shalat dan haji sekalipun, hampir tidak ditemukan rincian operasionalnya kecuali dalam As-Sunnah. Sementara rincian petunjuk menyangkut segi kehidupan bermasyarakat, kalaupun ditemukan dari Sunnah Nabi, maka hal tersebut lebih banyak berkaitan dengan kondisi masyarakat yang beliau temui, sehingga masyarakat sesudahnya perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan kondisinya masing-masing, tanpa mengabaikan nilai-nilai Ilahi itu.

Kemiskinan dan pengentasannya termasuk persoalan kemasyarakatan, yang faktor penyebab dan tolok ukur kadarnya, dapat berbeda akibat perbedaan lokasi dan situasi. Karena itu Al-Quran tidak menetapkan kadarnya, dan tidak memberikan petunjuk operasional yang rinci untuk pengentasannya.

SIAPA YANG DISEBUT MISKIN DAN FAKIR

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “miskin” diartikan sebagai tidak berharta benda; serba kekurangan (berpenghasilan rendah). Sedangkan fakir diartikan sebagai orang yang sangat berkekurangan; atau sangat miskin.

Dari bahasa aslinya (Arab) kata miskin terambil dari kata sakana yang berarti diam atau tenang, sedang faqir dari kata faqr yang pada mulanya berarti tulang punggung. Faqir adalah orang yang patah tulang punggungnya, dalam arti bahwa beban yang dipikulnya sedemikian berat sehingga diibaratkan “mematahkan” tulang punggungnya.
Sebagai akibat dari tidak adanya definisi yang dikemukakan Al-Quran untuk kedua istilah tersebut, para pakar Islam berbeda pendapat dalam menetapkan tolok ukur kemiskinan dan kefakiran.

Sebagian mereka berpendapat bahwa fakir adalah orang yang berpenghasilan kurang dari setengah kebutuhan pokoknya, sedang miskin adalah yang berpenghasilan di atas itu, namun tidak cukup untuk menutupi kebutuhan pokoknya. Ada juga yang mendefinisikan sebaliknya, sehingga menurut mereka keadaan si fakir relatif lebih baik dari si miskin.
Al-Quran dan hadis tidak menetapkan angka tertentu lagi pasti sebagai ukuran kemiskinan, sehingga yang dikemukakan di atas dapat saja berubah. Namun yang pasti, Al-Quran menjadikan setiap orang yang memerlukan sesuatu sebagai fakir atau miskin yang harus dibantu.

Yusuf Qardhawi, seorang ulama kontemporer, menulis bahwa menurut pandangan Islam, tidak dapat dibenarkan seseorang yang hidup di tengah masyarakat Islam, sekalipun Ahl Al-Dzimmah (warga negara non-Muslim), menderita lapar, tidak berpakaian, menggelandang (tidak bertempat tinggal) dan membujang.

Di tempat lain, Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa biaya pengobatan dan pendidikan pun termasuk kebutuhan primer yang harus dipenuhi.

FAKTOR PENYEBAB KEMISKINAN

Memperhatikan akar kata “miskin” yang disebut di atas sebagai berarti diam atau tidak bergerak diperoleh kesan bahwa faktor utama penyebab kemiskinan adalah sikap berdiam diri, enggan, atau tidak dapat bergerak dan berusaha. Keengganan berusaha adalah penganiayaan terhadap diri sendiri, sedang ketidakmampuan berusaha antara lain disebabkan oleh penganiyaan manusia lain. Ketidakmampuan berusaha yang disebabkan oleh orang lain diistilahkan pula dengan kemiskinan struktural. Kesan ini lebih jelas lagi bila diperhatikan bahwa jaminan rezeki yang dijanjikan Tuhan, ditujukan kepada makhluk yang dinamainya dabbah, yang arti harfiahnya adalah yang bergerak.

Tidak ada satu dabbah pun di bumi kecuali Allah yang menjamin rezekinya (QS Hud [11]: 6).

Ayat ini “menjamin” siapa yang aktif bergerak mencari rezeki, bukan yang diam menanti.
Lebih tegas lagi dinyatakannya bahwa,

Allah telah menganugerahkan kepada kamu segala apa yang kamu minta (butuhkan dan inginkan). Jika kamu mengitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak mampu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia sangat aniaya lagi sangat kufur (QS. Ibrahim [14]: 34).

Pernyataan Al-Quran di atas dikemukakannya setelah menyebutkan aneka nikmat-Nya, seperti langit, bumi, hujan, laut, bulan, matahari, dan sebagainya.
Sumber daya alam yang disiapkan Allah untuk umat manusia tidak terhingga dan tidak terbatas. Seandainya sesuatu telah habis, maka ada alternatif lain yang disediakan Allah selama manusia berusaha. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk berkata bahwa sumber daya alam terbatas, tetapi sikap manusia terhadap pihak lain, dan sikapnya terhadap dirinya itulah yang menjadikan sebagian manusia tidak memperoleh sumber daya alam tersebut.

Kemiskinan terjadi akibat adanya ketidakseimbangan dalam perolehan atau penggunaan sumber daya alam itu, yang diistilahkan oleh ayat di atas dengan sikap aniaya, atau karena keengganan manusia menggali sumber daya alam itu untuk mengangkatoya ke permukaan, atau untuk menemukan alternatif pengganti. Dan kedua hal terakhir inilah yang diistilahkan oleh ayat di atas dengan sikap kufur.

PANDANGAN ISLAM TENTANG KEMISKINAN

Salah satu bentuk penganiayaan manusia terhadap dirinya yang melahirkan kemiskinan adalah pandangannya yang keliru tentang kemiskinan. Karena itu langkah pertama yang dilaksanakan Al-Quran adalah meluruskan persepsi yang keliru itu.

Seperti kita ketahui, sementara orang berpandangan bahwa kemiskinan adalah sarana penyucian diri, pandangan ini bahkan masih dianut oleh sebagian masyarakat hingga kini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia antara lain ditemukan penjelasan tentang arti kata “fakir” sebagai orang pang sengaja membuat dirinya menderita kekurangan untuk mencapai kesempurnaan batin.
Dalam konteks penjelasan pandangan Al-Quran tentang kemiskinan ditemukan sekian banyak ayat-ayat Al-Quran yang memuji kecukupan, bahkan Al-Quran menganjurkan untuk memperoleh kelebihan.

Apabila telah selesai shalat (Jumat) maka bertebaranlah di bumi dan carilah fadhl (kelebihan) dan Allah (QS Al-Jum’ah [62]: 10)

Sejak dini pula Kitab Suci ini mengingatkan Nabi Muhammad saw tentang betapa besar anugerah Allah kepada beliau, yang antara lain menjadikannya berkecukupan (kaya) setelah sebelumnya papa.

Bukankah Allah telah mendapatimu miskin kemudian Dia menganugerahkan kepadamu kecukupan? (QS Al-Dhuha [93]: 8)

Seandainya kecukupan atau kekayaan tidak terpuji, niscaya ia tidak dikemukakan oleh ayat di atas dalam konteks pemaparan anugerah llahi.
Berupaya untuk memperoleh kelebihan, bahkan dibenarkan oleh Allah walau pada musim ibadah haji sekalipun.

Tidak ada dosa bagi kamu untuk mencari fadhl (kelebihan) dari Allah (di musim haji) (QS Al-Baqarah [2]: 198).
Di sisi lain, Al-Quran mengecam mereka yang mengharamkan hiasan duniawi yang diciptakan Allah bagi umat manusia (QS Al-A’raf [7]: 32), dan menyatakan bahwa Allah menjanjikan ampunan dan anugerah yang berlebih, sedang setan menjanjikan kefakiran (QS Al-Baqarah [2]: 268).

Nabi saw sering berdoa: “Ya Allah, Aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran, kefakiran” (HR Abu Dawd). “Ya Allah, Aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, kekurangan dan kehinaan, dan Aku berlindung pula dari menganiaya dan dianinya”. (HR Ibnu Majah dan Al-Hakim).

Meskipun demikian, Islam tidak menjadikan banyaknya harta sebagai tolok ukur kekayaan, karena kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati dan kepuasannya. Sebuah lingkaran betapa pun kecilnya adalah sama dengan 360 derajat, tetapi betapapun besarnya, bila tidak bulat, maka ia pasti kurang dari angka tersebut. Karena itu, Islam mengajarkan apa yang dinamai qann’ah, namun itu bukan berarti nrimo (menerima apa adanya), karena seseorang tidak dapat menyandang sifat qana’ah kecuali setelah melalui lima tahap:

a. Menginginkan kepemilikan sesuatu.
b. Berusaha sehingga memiliki sesuatu itu, dan mampu menggunakan apa yang diinginkannya itu.
c. Mengabaikan yang telah dimiliki dan diinginkan itu secara suka rela dan senang hati
d. Menyerahkannya kepada orang lain, dan merasa puas dengan apa yang dimiliki sebelumnya.

BAGAIMANA CARA MENGENTASKAN KEMISKINAN

Dalam rangka mengentaskan kemiskinan, Al-Quran menganjurkan banyak cara yang harus ditempuh, yang secara garis besar dapat dibagi pada tiga hal pokok.
1. Kewajiban setiap individu.
2. Kewajiban orang lain/masyarakat.
3. Kewajiban pemerintah.

1. Kewajiban setiap individu

Kewajiban terhadap setiap individu tercermin dalam kewajiban bekerja dan berusaha.
Kerja dan usaha merupakan cara pertama dan utama yang ditekankan oleh Kitab Suci Al-Quran, karena hal inilah yang sejalan dengan naluri manusia, sekaligus juga merupakan kehormatan dan harga dirinya.

Dijadikan indah dalam (pandangan) manusia kesenangan kepada syahwat, berupa wanita (lawan seks), harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup duniawi. dan di sisi Allah tempat kecuali yang baik (QS Ali ‘Imran: 14).

Ayat ini secara tegas menggarisbawahi dua naluri manusia, yaitu naluri seksual yang dilukiskan sebagai “kesenangan kepada syahwat manusia” (lawan seks), dan naluri kepemilikan yang dipahami dari ungkapan (kesenangan kepada) “harta yang banyak”.
Sementara pakar menyatakan bahwa seakan-akan Al-Quran menjadikan kedua naluri itu sebagai naluri pokok manusia. Bukankah teks ayat tersebut membatasi (hashr) kesenangan hidup duniawi pada hasil penggunaan kedua naluri itu?.

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya, menjelaskan bagaimana naluri kepemilikan itu kemudian mendorong manusia bekerja dan berusaha. Hasil kerja tersebut apabila mencukupi kebutuhannya –dalam istilah agama– disebut rizki (rezeki), dan bila melebihinya disebut kasb (hasil usaha).
Kalau demikian kerja dan usaha merupakan dasar utama dalam memperoleh kecukupan dan kelebihan. Sedang mengharapkan usaha orang lain untuk keperluan itu, lahir dari adat kebiasaan dan di luar naluri manusia. Memang, lanjut Ibnu Khaldun, kebiasaan dapat membawa manusia jauh dari hakikat kemanusiaannya.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa jalan pertama dan utama yang diajarkan Al-Quran untuk pengentasan kemiskinan adalah kerja dan usaha yang diwajibkannya atas setiap individu yang mampu. Puluhan ayat yang memerintahkan dan mengisyaratkan kemuliaan bekerja. Segala pekerjaan dan usaha halal dipujinya, sedangkan segala bentuk pengangguran dikecam dan dicelanya.

Apabila engkau telah menyelesaikan satu pekerjaan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (pekerjaan yang lain, agar jangan menganggu), dan hanya kepada Tuhanmu sajalah hendaknya kamu mengharap (QS Alam Nasyrah [94]: 7-8).

Rasulullah saw juga pernah bersabda: “Salah seorang di antara kamu mengambil tali, kemudian membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya lalu dijualnya, sehingga ditutup Allah air mukanya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang, baik ia diberi maupun ditolak”. (HR Bukhari).

Kalau di tempat seseorang berdomisili, tidak ditemukan lapangan pekerjaan. Al-Quran menganjurkan kepada orang tersebut untuk berhijrah mencari tempat lain, dan ketika itu pasti dia bertemu di bumi ini, tempat perlindungan yang banyak dan keluasan,

Barangsiapa berhijrah di jalan Allah niscaya mereka mendapat di muka bumi tempat yang luas lagi rezeki yang banyak (QS Al-Nisa’ [4]: 100).

2. Kewajiban orang lain/masyarakat

Kewajiban kepada orang lain tercermin pada jaminan satu rumpun keluarga, dan jaminan sosial dalam bentuk zakat dan sedekah wajib.
Sebelum menguraikan cara kedua ini, perlu terlebih dahulu digarisbawahi bahwa menggantungkan penanggulangan problem kemiskinan semata-mata kepada sumbangan sukarela dan keinsafan pribadi, tidak dapat diandalkan. Teori ini telah dipraktekkan berabad-abad lamanya, namun hasilnya tidak pernah memuaskan.

Sementara orang sering kali tidak merasa bahwa mereka mempunyai tanggung jawab sosial, walaupun ia telah memiliki kelebihan harta kekayaan. Karena itu diperlukan adanya penetapan hak dan kewajiban agar tanggung jawab keadilan sosial dapat terlaksana dengan baik.
Dalam hal ini, Al-Quran walaupun menganjurkan sumbangan sukarela dan menekankan keinsafan pribadi, namun dalam beberapa hal Kitab Suci ini menekankan hak dan kewajiban, baik melalui kewajiban zakat, yang merupakan hak delapan kelompok yang ditetapkan (QS Al-Tawbah [9]: 60) maupun melalui sedekah wajib yang merupakan hak bagi yang meminta atau yang tidak, namun membutuhkan bantuan:

Dalam harta mereka ada hak untuk (orang miskin yang meminta) dan yang tidak berkecukupan (walaupun tidak meminta) (QS Al-Dzariyat [51]: 19).

Hak dan kewajiban tersebut mempunyai kekuatan tersendiri, karena keduanya dapat melahirkan “paksaan” kepada yang berkewajiban untuk melaksanakannya. Bukan hanya paksaan dan lubuk hatinya, tetapi juga atas dasar bahwa pemerintah dapat tampil memaksakan pelaksanaan kewajiban tersebut untuk diserahkan kepada pemilik haknya.
Dalam konteks inilah Al-Quran menetapkan kewajiban membantu keluarga oleh rumpun keluarganya, dan kewajiban setiap individu untuk membantu anggota masyarakatnya.

2.a. Jaminan satu rumpun keluarga

Boleh jadi karena satu dan lain hal seseorang tidak mampu memperoleh kecukupan untuk kebutuhan pokoknya, maka dalam hal ini Al-Quran datang dengan konsep kewajiban memberi nafkah kepada keluarga, atau dengan istilah lain jaminan antar satu rumpun keluarga sehingga setiap keluarga harus saling menjamin dan mencukupi.

Orang-orang yang berhubungan kerabat itu sebagian lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) (QS Al-Anfal [8]: 75).
Dan berikanlah kepada keluarga dekat haknya, juga kepada orang miskin, dan orang yang berada dalam perjalanan…(QS Al-Isra’ [17]: 26).

Ayat ini menggarisbawahi adanya hak bagi keluarga yang tidak mampu terhadap yang mampu. Dalam mazhab Abu Hanifah memberi nafkah kepada anak dan cucu, atau ayah dan datuk merupakan. Kewajiban walaupun mereka bukan muslim.
Para ahli hukum menetapkan bahwa yang dimaksud dengan nafkah mencakup sandang, pangan, papan dan perabotnya, pelayan (bagi yang memerlukannya), mengawinkan anak bila tiba saatnya, serta belanja untuk istri dan siapa saja yang menjadi tanggungannya.

Hendaklah orang-orang yang mempunyai kelapangan, memberi nafkah sesuai dengan kelapangannya, dan barang siapa sempit rezekinya maka hendaklah ia memberi nafkah sesuai apa yang diberi Allah kepadanya (QS Al-Thalaq [65]: 7).

2.b. Zakat

Dari sekumpulan ayat-ayat Al-Quran dapat disimpulkan bahwa kewajiban zakat dan kewajiban-kewajiban keuangan lainnya, ditetapkan Allah berdasarkan pemilikan-Nya yang mutlak atas segala sesuatu, dan juga berdasarkan istikhlaf (penugasan manusia sebagai khalifah) dan persaudaraan semasyarakat, sebangsa, dan sekemanusiaan.

Apa yang berada dalam genggaman tangan seseorang atau sekelompok orang, pada hakikatnya adalah milik Allah. Manusia diwajibkan menyerahkan kadar tertentu dari kekayaannya untuk kepentingan saudara-saudara mereka. Bukankah hasil-hasil produksi, apa pun bentuknya, pada hakikatnya merupakan pemanfaatan materi-materi yang telah diciptakan dan dimiliki Tuhan? Bukankah manusia dalam berproduksi hanya mengadakan perubahan, penyesuaian, atau perakitan satu bahan dengan bahan lain yang sebelumnya telah diciptakan Allah? Seorang petani berhasil dalam pertaniannya karena adanya irigasi, alat-alat (walaupun sederhana), makanan, pakaian, stabilitas keamanan, yang kesemuanya tidak mungkin dapat diwujudkan kecuali oleh kebersamaan pribadi-pribadi tersebut, dengan kata lain “masyarakat”. Pedagang demikian pula halnya.

Siapa yang menjual dan siapa pula yang membeli kalau bukan orang lain?
Jelas sudah bahwa keberhasilan orang kaya adalah atas keterlibatan banyak pihak, termasuk para fakir miskin:
Kalian mendapat kemenangan dan kecukupan berkat orang-orang lemah di antara kalian. Demikian Nabi saw bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud melalui Abu Ad-Darda’.

Kalau demikian, wajar jika Allah SWT sebagai pemilik segala sesuatu, mewajibkan kepada yang berkelebihan agar menyisihkan sebagian harta mereka untuk orang yang memerlukan.

Apabila kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan kepada kamu ganjaran, dan Dia tidak meminta harta bendamu (seluruhnya). Jika Tuhan meminta harta bendamu (sebagai zakat dan sumbangan wajib) dan Dia mendesakmu (agar engkau memberikan semuanya) niscaya kamu akan kikir, (karenanya Dia hanya meminta sebagian dan ketika itu bila kamu tetap kikir maka) Dia akan menampakkan kedengkian (kecemburuan sosial) antara kamu (QS Muhammad [47]: 36-37).

Bukan di sini tempatnya menguraikan macam-macam zakat dan rinciannya, namun yang perlu digarisbawahi bahwa dalam pandangan hukum Islam, zakat harta yang diberikan kepada fakir miskin hendaknya dapat memenuhi kebutuhannya selama setahun, bahkan seumur hidup.
Menutupi kebutuhan tersebut dapat berupa modal kerja sesuai dengan keahlian dan keterampilan masing-masing, yang ditopang oleh peningkatan kualitasnya. Hal lain yang perlu juga dicatat adalah bahwa pakar-pakar hukum Islam menetapkan kebutuhan pokok dimaksud mencakup kebutuhan sandang, pangan, papan, seks, pendidikan, dan kesehatan.

3. Kewajiban Pemerintah

Pemerintah juga berkewajiban mencukupi setiap kebutuhan warga negara, melalui sumber-sumber dana yang sah. Yang terpenting di antaranya adalah pajak, baik dalam bentuk pajak perorangan, tanah, atau perdagangan, maupun pajak tambahan lainnya yang ditetapkan pemerintah bila sumber-sumber tersebut di atas belum mencukupi.

Al-Quran mewajibkan kepada setiap Muslim untuk berpartisipasi menanggulangi kemiskinan sesuai dengan kemampuannya. Bagi yang tidak memiliki kemampuan material, maka paling sedikit partisipasinya diharapkan dalam bentuk merasakan, memikirkan, dan mendorong pihak lain untuk berpartisipasi aktif.
Secara tegas Al-Quran mencap mereka yang enggan berpartisipasi (walau dalam bentuk minimal) sebagai orang yang telah mendustakan agama dan hari kemudian.

Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin (QS Al-Ma’un [107]: 1-3).

Semoga kita terhindar dari segala macam bencana demikian itu.

Referensi
  • Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Penerbit Mizan, Bandung, 1997.
  • Dr. Syauqi Abu Khalil, Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur’an secara Akurat disertai Peta dan Foto, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
  • Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy, MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, MA.
  • Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para Utusan Allah, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
  • Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs. A. Faruq Nasution), Al-Quran Terjemah Indonesia, Penerbit PT. Sari Agung, Jakarta, 2004
  • Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Quran, Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata, Syaamil International, 2007.
  • alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, Al-Quran web, PT. Gilland Ganesha, 2008.
  • Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Mutiara Hadist Shahih Bukhari Muslim, PT. Bina Ilmu, 1979.
  • Al-Hafizh Zaki Al-Din ‘Abd Al-’Azhum Al Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2008.
  • M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
  • Al-Bayan, Shahih Bukhari Muslim, Jabal, Bandung, 2008.
  • Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 1999.

Sumber: http://al-quran.bahagia.us/_q.php?_q=sihab&dft=&dfa=&dfi=&dfq=1&u2=&ui=1&nba=26


Filed under: Religi

Keotentikan Al-Quran

$
0
0

Al-Quran Al-Karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu di antaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara. Inna nahnu nazzalna al-dzikra wa inna lahu lahafizhun (Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Quran dan Kamilah Pemelihara-pemelihara-Nya) (QS 15:9).

Demikianlah Allah menjamin keotentikan Al-Quran, jaminan yang diberikan atas dasar Kemahakuasaan dan Kemahatahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh makhluk-makhluk-Nya, terutama oleh manusia. Dengan jaminan ayat di atas, setiap Muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai Al-Quran tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah saw., dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat Nabi saw.

Tetapi, dapatkah kepercayaan itu didukung oleh bukti-bukti lain? Dan, dapatkah bukti-bukti itu meyakinkan manusia, termasuk mereka yang tidak percaya akan jaminan Allah di atas? Tanpa ragu kita mengiyakan pertanyaan di atas, karena seperti yang ditulis oleh almarhum ‘Abdul-Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar: “Para orientalis yang dari saat ke saat berusaha menunjukkan kelemahan Al-Quran, tidak mendapatkan celah untuk meragukan keotentikannya.” Hal ini disebabkan oleh bukti-bukti kesejarahan yang mengantarkan mereka kepada kesimpulan tersebut.

Bukti-bukti dari Al-Quran Sendiri

Sebelum menguraikan bukti-bukti kesejarahan, ada baiknya saya kutipkan pendapat seorang ulama besar Syi’ah kontemporer, Muhammad Husain Al-Thabathaba’iy, yang menyatakan bahwa sejarah Al-Quran demikian jelas dan terbuka, sejak turunnya sampai masa kini. Ia dibaca oleh kaum Muslim sejak dahulu sampai sekarang, sehingga pada hakikatnya Al-Quran tidak membutuhkan sejarah untuk membuktikan keotentikannya. Kitab Suci tersebut lanjut Thabathaba’iy memperkenalkan dirinya sebagai Firman-firman Allah dan membuktikan hal tersebut dengan menantang siapa pun untuk menyusun seperti keadaannya. Ini sudah cukup menjadi bukti, walaupun tanpa bukti-bukti kesejarahan. Salah satu bukti bahwa Al-Quran yang berada di tangan kita sekarang adalah Al-Quran yang turun kepada Nabi saw. tanpa pergantian atau perubahan –tulis Thabathaba’iy lebih jauh– adalah berkaitan dengan sifat dan ciri-ciri yang diperkenalkannya menyangkut dirinya, yang tetap dapat ditemui sebagaimana keadaannya dahulu.

Dr. Mustafa Mahmud, mengutip pendapat Rasyad Khalifah, juga mengemukakan bahwa dalam Al-Quran sendiri terdapat bukti-bukti sekaligus jaminan akan keotentikannya.

Huruf-huruf hija’iyah yang terdapat pada awal beberapa surah dalam Al-Quran adalah jaminan keutuhan Al-Quran sebagaimana diterima oleh Rasulullah saw. Tidak berlebih dan atau berkurang satu huruf pun dari kata-kata yang digunakan oleh Al-Quran. Kesemuanya habis terbagi 19, sesuai dengan jumlah huruf-huruf B(i)sm Ali(a)h Al-R(a)hm(a)n Al-R(a)him. (Huruf a dan i dalam kurung tidak tertulis dalam aksara bahasa Arab).

Huruf (qaf) yang merupakan awal dari surah ke-50, ditemukan terulang sebanyak 57 kali atau 3 X 19.

Huruf-huruf kaf, ha’, ya’, ‘ayn, shad, dalam surah Maryam, ditemukan sebanyak 798 kali atau 42 X 19.

Huruf (nun) yang memulai surah Al-Qalam, ditemukan sebanyak 133 atau 7 X 19. Kedua, huruf (ya’) dan (sin) pada surah Yasin masing-masing ditemukan sebanyak 285 atau 15 X 19. Kedua huruf (tha’) dan (ha’) pada surah Thaha masing-masing berulang sebanyak 342 kali, sama dengan 19 X 18.

Huruf-huruf (ha’) dan (mim) yang terdapat pada keseluruhan surah yang dimulai dengan kedua huruf ini, ha’ mim, kesemuanya merupakan perkalian dari 114 X 19, yakni masing-masing berjumlah 2.166.

Bilangan-bilangan ini, yang dapat ditemukan langsung dari celah ayat Al-Quran, oleh Rasyad Khalifah, dijadikan sebagai bukti keotentikan Al-Quran. Karena, seandainya ada ayat yang berkurang atau berlebih atau ditukar kata dan kalimatnya dengan kata atau kalimat yang lain, maka tentu perkalian-perkalian tersebut akan menjadi kacau.

Angka 19 di atas, yang merupakan perkalian dari jumlah-jumlah yang disebut itu, diambil dari pernyataan Al-Quran sendiri, yakni yang termuat dalam surah Al-Muddatstsir ayat 30 yang turun dalam konteks ancaman terhadap seorang yang meragukan kebenaran Al-Quran.

Demikianlah sebagian bukti keotentikan yang terdapat di celah-celah Kitab Suci tersebut.

Bukti-bukti Kesejarahan

Al-Quran Al-Karim turun dalam masa sekitar 22 tahun atau tepatnya, menurut sementara ulama, dua puluh dua tahun, dua bulan dan dua puluh dua hari.

Ada beberapa faktor yang terlebih dahulu harus dikemukakan dalam rangka pembicaraan kita ini, yang merupakan faktor-faktor pendukung bagi pembuktian otentisitas Al-Quran.

  1. Masyarakat Arab, yang hidup pada masa turunnya Al-Quran, adalah masyarakat yang tidak mengenal baca tulis. Karena itu, satu-satunya andalan mereka adalah hafalan. Dalam hal hafalan, orang Arab –bahkan sampai kini– dikenal sangat kuat.
  2. Masyarakat Arab –khususnya pada masa turunnya Al-Quran– dikenal sebagai masyarakat sederhana dan bersahaja: Kesederhanaan ini, menjadikan mereka memiliki waktu luang yang cukup, disamping menambah ketajaman pikiran dan hafalan.
  3. Masyarakat Arab sangat gandrung lagi membanggakan kesusastraan; mereka bahkan melakukan perlombaan-perlombaan dalam bidang ini pada waktu-waktu tertentu.
  4. Al-Quran mencapai tingkat tertinggi dari segi keindahan bahasanya dan sangat mengagumkan bukan saja bagi orang-orang mukmin, tetapi juga orang kafir. Berbagai riwayat menyatakan bahwa tokoh-tokoh kaum musyrik seringkali secara sembunyi-sembunyi berupaya mendengarkan ayat-ayat Al-Quran yang dibaca oleh kaum Muslim. Kaum Muslim, disamping mengagumi keindahan bahasa Al-Quran, juga mengagumi kandungannya, serta meyakini bahwa ayat-ayat Al-Quran adalah petunjuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
  5. Al-Quran, demikian pula Rasul saw., menganjurkan kepada kaum Muslim untuk memperbanyak membaca dan mempelajari Al-Quran dan anjuran tersebut mendapat sambutan yang hangat.
  6. Ayat-ayat Al-Quran turun berdialog dengan mereka, mengomentari keadaan dan peristiwa-peristiwa yang mereka alami, bahkan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Disamping itu, ayat-ayat Al-Quran turun sedikit demi sedikit. Hal itu lebih mempermudah pencernaan maknanya dan proses penghafalannya.
  7. Dalam Al-Quran, demikian pula hadis-hadis Nabi, ditemukan petunjuk-petunjuk yang mendorong para sahabatnya untuk selalu bersikap teliti dan hati-hati dalam menyampaikan berita –lebih-lebih kalau berita tersebut merupakan Firman-firman Allah atau sabda Rasul-Nya.

Faktor-faktor di atas menjadi penunjang terpelihara dan dihafalkannya ayat-ayat Al-Quran. Itulah sebabnya, banyak riwayat sejarah yang menginformasikan bahwa terdapat ratusan sahabat Nabi saw. yang menghafalkan Al-Quran. Bahkan dalam peperangan Yamamah, yang terjadi beberapa saat setelah wafatnya Rasul saw., telah gugur tidak kurang dari tujuh puluh orang penghafal Al-Quran.

Walaupun Nabi saw. dan para sahabat menghafal ayat-ayat Al-Quran, namun guna menjamin terpeliharanya wahyu-wahyu Ilahi itu, beliau tidak hanya mengandalkan hafalan, tetapi juga tulisan. Sejarah menginformasikan bahwa setiap ada ayat yang turun, Nabi saw. lalu memanggil sahabat-sahabat yang dikenal pandai menulis, untuk menuliskan ayat-ayat yang baru saja diterimanya, sambil menyampaikan tempat dan urutan setiap ayat dalam surahnya. Ayat-ayat tersebut mereka tulis dalam pelepah kurma, batu, kulit-kulit atau tulang-tulang binatang. Sebagian sahabat ada juga yang menuliskan ayat-ayat tersebut secara pribadi, namun karena keterbatasan alat tulis dan kemampuan maka tidak banyak yang melakukannya disamping kemungkinan besar tidak mencakup seluruh ayat Al-Quran. Kepingan naskah tulisan yang diperintahkan oleh Rasul itu, baru dihimpun dalam bentuk “kitab” pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar r.a.

Penulisan Mushhaf

Dalam uraian sebelumnya dikemukakan bahwa ketika terjadi peperangan Yamamah, terdapat puluhan penghafal Al-Quran yang gugur. Hal ini menjadikan ‘Umar ibn Al-Khaththab menjadi risau tentang “masa depan Al-Quran”. Karena itu, beliau mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar mengumpulkan tulisan-tulisan yang pernah ditulis pada masa Rasul. Walaupun pada mulanya Abu Bakar ragu menerima usul tersebut –dengan alasan bahwa pengumpulan semacam itu tidak dilakukan oleh Rasul saw.– namun pada akhirnya ‘Umar r.a. dapat meyakinkannya. Dan keduanya sepakat membentuk suatu tim yang diketuai oleh Zaid ibn Tsabit dalam rangka melaksanakan tugas suci dan besar itu.

Zaid pun pada mulanya merasa sangat berat untuk menerima tugas tersebut, tetapi akhirnya ia dapat diyakinkan –apalagi beliau termasuk salah seorang yang ditugaskan oleh Rasul pada masa hidup beliau untuk menuliskan wahyu Al-Quran. Dengan dibantu oleh beberapa orang sahabat Nabi, Zaid pun memulai tugasnya. Abu Bakar r.a. memerintahkan kepada seluruh kaum Muslim untuk membawa naskah tulisan ayat Al-Quran yang mereka miliki ke Masjid Nabawi untuk kemudian diteliti oleh Zaid dan timnya. Dalam hal ini, Abu Bakar r.a. memberi petunjuk agar tim tersebut tidak menerima satu naskah kecuali yang memenuhi dua syarat:

Pertama, harus sesuai dengan hafalan para sahabat lain.

Kedua, tulisan tersebut benar-benar adalah yang ditulis atas perintah dan di hadapan Nabi saw. Karena, seperti yang dikemukakan di atas, sebagian sahabat ada yang menulis atas inisiatif sendiri.

Untuk membuktikan syarat kedua tersebut, diharuskan adanya dua orang saksi mata.

Sejarah mencatat bahwa Zaid ketika itu menemukan kesulitan karena beliau dan sekian banyak sahabat menghafal ayat Laqad ja’akum Rasul min anfusikum ‘aziz ‘alayh ma ‘anittun harish ‘alaykum bi almu’minina Ra’uf al-rahim (QS 9:128). Tetapi, naskah yang ditulis di hadapan Nabi saw. tidak ditemukan. Syukurlah pada akhirnya naskah tersebut ditemukan juga di tangan seorang sahabat yang bernama Abi Khuzaimah Al-Anshari. Demikianlah, terlihat betapa Zaid menggabungkan antara hafalan sekian banyak sahabat dan naskah yang ditulis di hadapan Nabi saw., dalam rangka memelihara keotentikan Al-Quran. Dengan demikian, dapat dibuktikan dari tata kerja dan data-data sejarah bahwa Al-Quran yang kita baca sekarang ini adalah otentik dan tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang diterima dan dibaca oleh Rasulullah saw., lima belas abad yang lalu.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, perlu dikemukakan bahwa Rasyad Khalifah, yang menemukan rahasia angka 19 yang dikemukakan di atas, mendapat kesulitan ketika menemukan bahwa masing-masing kata yang menghimpun Bismillahirrahmanirrahim, kesemuanya habis terbagi 19, kecuali Al-Rahim. Kata Ism terulang sebanyak 19 kali, Allah sebanyak 2.698 kali, sama dengan 142 X 19, sedangkan kata Al-Rahman sebanyak 57 kali atau sama dengan 3 X 19, dan Al-Rahim sebanyak 115 kali. Di sini, ia menemukan kejanggalan, yang konon mengantarnya mencurigai adanya satu ayat yang menggunakan kata rahim, yang pada hakikatnya bukan ayat Al-Quran. Ketika itu, pandangannya tertuju kepada surah Al-Tawbah ayat 128, yang pada mulanya tidak ditemukan oleh Zaid. Karena, sebagaimana terbaca di atas, ayat tersebut diakhiri dengan kata rahim.

Sebenarnya, kejanggalan yang ditemukannya akan sirna, seandainya ia menyadari bahwa kata rahim pada ayat Al-Tawbah di atas, bukannya menunjuk kepada sifat Tuhan, tetapi sifat Nabi Muhammad saw. Sehingga ide yang ditemukannya dapat saja benar tanpa meragukan satu ayat dalam Al-Quran, bila dinyatakan bahwa kata rahim dalam Al-Quran yang menunjuk sifat Allah jumlahnya 114 dan merupakan perkalian dari 6 X 19.

Penutup

Demikianlah sekelumit pembicaraan dan bukti-bukti yang dikemukakan para ulama dan pakar, menyangkut keotentikan ayat-ayat Al-Quran. Terlihat bagaimana Allah menjamin terpeliharanya Kitab Suci ini, antara lain berkat upaya kaum beriman.

Referensi
  • Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Penerbit Mizan, Bandung, 1992.
  • Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs. A. Faruq Nasution), Al-Quran Terjemah Indonesia, Penerbit PT. Sari Agung, Jakarta, 2004
  • Dr. Syauqi Abu Khalil, Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur’an secara Akurat disertai Peta dan Foto, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
  • Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy, MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, MA.
  • Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para Utusan Allah, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
  • Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Penerbit Mizan, Bandung, 1997.
  • Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Quran, Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata, Syaamil International, 2007.
  • alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, Al-Quran web, PT. Gilland Ganesha, 2008.
  • Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Mutiara Hadist Shahih Bukhari Muslim, PT. Bina Ilmu, 1979.
  • Al-Hafizh Zaki Al-Din ‘Abd Al-’Azhum Al Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2008.
  • M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
  • Al-Bayan, Shahih Bukhari Muslim, Jabal, Bandung, 2008.
  • Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 1999.

Sumber: http://al-quran.bahagia.us/_q.php?_q=sihab&dft=&dfa=&dfi=&dfq=1&u2=&nba=34


Filed under: Religi

Istilah Dien Islam

$
0
0

Makna Dien Islam

Din atau dien berasal dari Bahasa Arab (Ad Diin).

Secara bahasa, dien berarti tradisi, perilaku, perhitungan, kekuasaan, hukum, ketaatan, balasan, peraturan. Secara istilah umum dien dapat juga diartikan sebagai agama. Dien Islam berarti peraturan – peraturan Allah untuk mengatur umat manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

Dilihat dari arti bahasa, dapat disimpulkan dien itu adalah suatu sistem kehidupan yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya dan tidak dapat dipisahkan. Berarti dien Islam adalah suatu sistem kehidupan Islam yang diridhoi oleh Allah untuk mengatur kehidupan manusia. Sedangkan kehidupan manusia itu tidak hanya menyangkut hubungan seorang hamba kepada Tuhannya tetapi aspek kehidupan lainnya seperti idiologi, hukum, perundang-undangan, keuangan, politik dan lain sebagainya.

Jika kita hanya mengartikan dien itu sebagai agama Islam, ditakutkan akan mengkerdilkan arti dari dien Islam itu sendiri. Padahal dien Islam itu lebih besar dari itu. Karena dien Islam berarti suatu sistem Islam untuk mengatur segala aspek kehidupan manusia baik muslim maupun non-muslim.

[3.83] Maka apakah mereka mencari dien yang lain dari dien Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.

[2.208] Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.

[2.209] Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran, maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

[2.256] Tidak ada paksaan untuk (memasuki) dien (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Penegakan Dien Islam Dari Masa Dulu Sampai Sekarang

Dien Allah diturunkan melalui para utusan-Nya dari nabi Adams as sampai dengan nabi Muhammad SAW. Mereka membawa ajaran yang sama yaitu dien Islam tetapi hanya saja syariatnya saja yang berbeda-beda. Berbeda dengan rasul-rasul sebelumnya yang diutus untuk kaumnya masing-masing, maka Rasullullah adalah nabi terakhir yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, hingga akhir zaman. Dien Allah yang diturunkan kepada Rasulullah telah sempurna. Misi yang diemban setiap nabi Allah pun tetap sama yaitu penegakan Dien Islam dimuka bumi ini. Misi ini pun tidak ada yang terputus dari dulu sampai sekarang. Walaupun Nabi Muhammad SAW telah wafat, tetapi misi ini tidaklah terputus sampai dengan saat ini.

[2.132] Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih dien ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk dien Islam”.

Tambahan dari Kompasiana

Pengertian Dien al-Islam

Dienul Islam merupakan tatanan hidup (syariah = aturan, jalan hidup) ciptaan Allah untuk mengatur segenap aktivitas manusia di dunia, baik aktivitas lahir maupun aktivitas batin. Aturan Allah yang terkandung dalam al-Islam ini bersifat absolut. Selanjutnya, aturan Allah dibagi dua, yakni : Pertama, aturan tentang tata keyakinan disebut Aqidah. Kedua adalah aturan tentang tatacara beribadah, yang disebut syariah ibadah,Ada satu lagi yang disebut Akhlaq, yakni aturan tentang tatacara menjalin hubungan dengan Allah, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitar. Akhlaq ini, sebenarnya, adalah syariah ibadah juga, hanya saja dilihatnya dari persepktif layak dan tidaknya suatu perbuatan dilakukan, bukan sekadar wajib dan haram. Aqidah, syariah dan akhlaq ini dalam terminology lain adalah Imam, Islam dan Ihsan.

Seorang mukmin memiliki keterikatan (commited) dengan al-Islam yakni :

(1). Meyakini kebenaran aturan al-Islam sebagai kebenaran yang absolut.

(2). Mengamalkan seluruh aturan Islam yang absolut itu secara kaffah (menyeluruh).

(3). Mendakwahkan al-Islam melalui hikmah (pendalaman keilmuan), mauidlah (nasihat-nasihat) jadilhim billati hiya ahsan (diskusi, seminar, dialog interaktif yang menarik ), yang ditujukan kepada ke segenap manusia di dunia ini tanpa kecuali.

Esensi Dienul Islam
Din berasal dari kata dana yadinu dinan berarti tatanan, sistem atau tatacara hidup. Jadi Din al-Islam berarti tatacara hidup Islam.

Tidak tepat apabila din diterjemahkan sebagai agama, sebab istilah agama (religion, religie) hanyalah merupakan alih bahasa saja yang tidak mengandung makna substantif dan essensil. Lebih dari itu apabila din diterjemahkan sebagai agama maka maknanya menjadi sempit. Di Indonesia misalnya, agama yang diakui hanya ada enam , yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kunghuchu padahal di Indonesia terdapat ratusan bahkan mungkin ribuan tatacara hidup.

Dengan memaknai din sebagai tatan hidup, maka yang dimaksud dengan istilah muslim adalah orang yang ber-din al-Islam.

Din al-Islam sebagai tatanan hidup meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan, dari mulai masalah ritual sampai kepada masalah muamalah termasuk masalah sosial budaya, sosial ekonomi, sosial politik, bahkan sampai kepada masalah kenegaraan. Seseorang yang mengaku muslim atau menganut din al-Islam harus mengikuti tatanan hidup Islam secara kaffah, Apabila ia menolaknya, maka ia pasti akan terpental di akhirat sebagaimana diterangkan di dalam QS. 3 : 19 dan ayat 85 :

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ اْلإِسْلاَم (ال عمران : 19 ) وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِين (ال عمران : 85)

Sesungguhnya din atau tatanan hidup (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam (QS. 3 : 19 ) Barangsiapa mencari tatanan hidup selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (din itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.(QS. 3 : 85).

Din terbagi dua yang sangat jelas bedanya, yakni din al-haq dan din al-Bathil . Yang dimaksud dengan din al-haq ialah din yang berisi aturan Allah yang telah didesain sedemikian rupa sehingga sesuai dengan fitrah manusia. Aturan ini kemudian dituangkan di dalam kitab undang-undang Allah, yakni Al-Qur’an. Sedangkan di luar din al-Islam adalah din yang berisi aturan manusia sebagai produk akal, hasil angan-angan, imajinasi, hawa nafsu serta merupakan hasil kajian falsafahnya.

Berdasarkan pengelompokkan din ini, maka manusia sebagai pemilih din, otomatis hanya terbagi menjadi dua kelompok yang jelas-jelas berbeda (furqan), yakni kelompok Huda dan kelompok Dhallin

Kelompok Huda adalah kelompok yang memilih din Islam sebagai tatanan hidupnya. Ini berarti bahwa mereka telah mengikuti jalan yang haq sehingga Allah akan menghapuskan segala kesalahannya. Sedangkan kelompok Dhalalah adalah orang-orang yang memilih din selain Islam.  sebagaimana ditegaskan oleh Allah di dalam Al-Qur?an surat 7 : 30 dan surat 47 : 1,2,3

فَرِيقًا هَدَى وَفَرِيقًا حَقَّ عَلَيْهِمُ الضَّلاَلَةُ إِنَّهُمُ اتَّخَذُوا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ(30)

Sebahagian diberi-Nya petunjuk dan sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.

الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ أَضَلَّ أَعْمَالَهُمْ(1) وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَءَامَنُوا بِمَا نُزِّلَ عَلَى مُحَمَّدٍ وَهُوَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ كَفَّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَأَصْلَحَ بَالَهُمْ(2)ذَلِكَ بِأَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا اتَّبَعُوا الْبَاطِلَ وَأَنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّبَعُوا الْحَقَّ مِنْ رَبِّهِمْ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ لِلنَّاسِ أَمْثَالَهُمْ(3)

Orang-orang yang kafir dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, Allah menghapus perbuatan-perbuatan mereka. Dan orang-orang yang beriman (kepada Allah) dan mengerjakan amal-amal yang saleh serta beriman (pula) kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang hak dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka. Yang demikian adalah karena sesungguhnya orang-orang kafir mengikuti yang batil dan sesungguhnya orang-orang yang beriman mengikuti yang hak dari Tuhan mereka. Demikianlah Allah membuat untuk manusia perbandingan-perbandingan bagi mereka. QS. 47 : 1,2,3.

Dalam pandangan Al-Qur’an, din al-Islam adalah satu-satunya din ciptaan Allah, din yang satu ini adalah aturan untuk seluruh umat manusia tanpa kecuali

Sementara itu, din-din hasil ciptaan manusia berdasarkan akal, imajinasi dan falsafah sebagaimana telah dikemukakan di atas telah melahirkan banyak din dan isme-isme lainnya, antara lain Materalisme, Kapitalisme, Liberalisme, Markisme, Komunisme, Nasionalisme, dan Kolonialisme.

Tambahan dari : Wikipedia

Din atau dien berasal dari kata bahasa arab دان – يدين – دينا (daana yadiinu diinan)

Makna secara bahasa

Berdasarkan kamus munjid, Din terbagi ke dalam beberapa masdar kata :

1. Al-Jaza wal mukafa = pahala, balasan (1:4), dll

2. Al-Qodo = peraturan

3. At-Thathbir = pengelolaan

4. Al-Hisab = perhitungan

5. Al-Malik/ Al-Mulk wal sulthan = kerajaan, raja, wilayah kekuasaan

Sehingga berdasarkan masdar kata tersebut maka dapat disimpulan bahwa Dien bermakna organisasi, partai, himpunan, sistem atau sistem hidup.

Makna secara istilah

Secara istilah umum, din dapat diartikan sebagai agama.

Secara istilah khusus, din Islam dapat didefinisikan sebagai peraturan Allah yang membawa orang-orang berakal ke arah kebahagiaan dunia dan akhirat, yang mencakup masalah aqidah dan amal. Ia adalah suatu sistem yang mencakup peraturan-peraturan yang menyeluruh, serta merupakan “undang-undang” yang lengkap dalam semua urusan hidup manusia untuk kita terima dan mengamalkannya secara total.

Segala yang ada di alam semesta juga ber-agama, yaitu agama Allah, sesuai dengan ayat dalam Al-Quran:

3:83: Maka apakah mereka mencari ‘agama’ yang lain dari ‘agama’ Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri (aslama) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah saja mereka dikembalikan.

Mengacu kepada terjemahan yang kita lihat di atas, maka ‘diinillah’ diartikan sebagai ‘agama Allah’.

Agama Allah diturunkan dari langit (agama samawi) melalui para utusan-Nya, seperti nabi Adam, nabi Ibrahim, nabi Musa, nabi Isa dan nabi Muhammad (shollallahu ‘alaihi wa sallam), agama yang diturunkan adalah agama yang sama, hanya saja syariat-nya yang berbeda-beda.

Maka untuk mencari referensi apa itu ad diin kita lihat dari ayat-ayat lain mengenai ad diin:

24:2: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah (diinullah), jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
12:76: Maka mulailah Yusuf (memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung saudaranya sendiri, kemudian dia mengeluarkan piala raja itu dari karung saudaranya. Demikianlah Kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf. Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja (dinul malik), kecuali Allah menghendaki-Nya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.

Apa yang diperjuangkan para Nabi dan Rasul sejak zaman Adam, Nuh, Ibrahim, Musa , Isa hingga Muhammad adalah penegakkan Dien yaitu Dien yang berlaku di alam semesta yang disebut dengan Islam, yaitu berserah diri kepada ketentuan Allah sebagai Rabb (Pencipta, Pemelihara, Penghancur).

Penegakkan Dien Allah dari masa ke masa

Karena yang diperjuangkan adalah sistem atau aturan yang tidak menghendaki pencampuran dengan aturan selain Din Allah, sehingga mayoritas para Rasul yang diutus selalu berlawanan dengan kekuasaan yang berlaku saat itu, mari kita lihat contohnya

Adam      X  Iblis 
Nuh       X  Kanaan 
Ibrahim   X  Nimrod 
Musa      X  Firaun (Ramses II)
Isa       X  Herodes 
Muhammad  X  Musyrik/Kafir/Munafik

Perjuangan Para Rasul Dilaksanakan Tanpa Menggunakan Kekerasan

Bertujuan mengubah paradigma masyarakat yang menggunakan hukum/isme selain dari Allah agar kembali menggunakan hukum/isme/aturan Allah. Ini dilaksanakan sebagaimana halnya Musa (alaihissalam) berdakwah di Mesir, perjuangan da’wah Isa/Yesus (alaihissalam) dan dua belas murid di Palestina serta da’wah Muhammad (shallallahu alaihi wa sallam) di Makkah.

Adapun peperangan terjadi ketika suatu negara yang dipimpin Rasul diserang oleh kekuatan yang berniat menghancurkan Din yang sudah diimplementasikan dalam bentuk kedaulatan / negara.

Agama Adalah Produk Sejarah

Agama yang berkembang saat ini adalah produk sejarah yang berasal dari pertentangan politik (schism) di antara pengikut-pengikutnya sesuai dengan Al-Baqarah:213

Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.

Setelah terjadi perselisihan kemudian Allah mengirimkan para rasul (utusan) untuk memperbaiki keadaan perpecahan tersebut (untuk kembali kepada DIN yang benar: DIN Islam). Secara konsep ,islam sudah sempurna akan tetapi kesempernan islam akan terpenuhi jika secara konsep dan secara aktual terwujudkan yaitu adanya Daulah yang menggunakan hukum Allah sebagai landasannya bukan hukum produk buatan manusia dan adanya kholifah atau pemimpin daulah sebagi wakil Allah di muka bumi serta adanya umat yang taat pada hukum atau UU Allah maka itulah ciri-ciri DIN Allah.

Tambahan 1:

Dienul Islam

Ad-Din menurut bahasa, memiliki beberapa arti. Hal pertama yang perlu digarisbawahi adalah penerjemahan kata ad-dîn dengan agama, memang benar, salah satu maknanya adalah agama, tetapi tidak semua kata ad-dîn berarti agama. Firman-Nya “Mâlik yaum addîn”tidak diterjemjahkan dengan “Pemilik hari agama”, tetapi “Pemilik hari  pembalasan”. Makna kata Dîn yang lain adalah ketaatan

(Sumber : Shihab, M. Quraish. Ayat -Ayat Fitna : Sekelumit Keadaban Islam di Tengah Purbasangka, Tangerang : Lentera Hati, 2008)

Arti dari ad-din adalah (dalam konteks Dinul Islam) :

- Ajaran untuk mengatur kehidupan, dan mempunyai cara - cara tertentu.

- Undang – undang, konstitusi untuk mengatur kehidupan manusia.

Islam artinya tunduk, patuh, menyerah (kepada aturan Allah dan Rasul-Nya). Al Islam, Islam adalah : Menampakkan ketundukan, patuh dan memperlihatkan syari’ah, juga ltijam (selalu berpegang teguh), pada syari’at.

Apabila dikatakan: ”Si Fulan Muslim”, maksudnya adalah muslim yang menyerahkan  segala urusannya hanya pada Allah semata.dan Ikhlas lillahi ta’ala semata.

Contoh kata: ”sallama Assyaia lifulaanin”, maksudnya “Ia menyerahkan perihal itu kepada seseorang”, maksudnya adalah ia telah mengikhlaskan apa yang diberikannya itu pada si Fulan tadi.

Jadi, pengertian Dienul Islam adalah : Sistem dan undang – undang hidup yang berasaskan dua hal :

1. Ketundukan dan ketaatan secara mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya dengan   mengamalkan seluruh syariat-Nya dan Sunnahnya.

2.   Berlepas diri dari kemusyrikan, dari orang – orang musyrik berikut tata cara kehidupannya.

Ad-Din ada dua :

A. Dienullah : ad-din yang turun dari Allah SWT.

B. Diennas : Aturan yang berasal dari pemikiran manusia; contoh: sistem komunis, demokrasi, kerajaan (monarki), oligarki dll.

Dinul Islam memiliki dua pokok :

1. Aqidah

2. Syariat

Syari’at menurut bahasanya orang Arab adalah :” Jalan timbulnya air”, dimana disana tempat manusia minum dan menimba air darinya. Jadi, pengertian syari’at ini sangat sesuai dengan bahasa, karena sudah kita lihat dalam nash-nash bangsa arab, bahwasanya apabila si Fulan MUSLIM, berarti ia ikhlas, dan tunduk, ridha dengan hukum Allah, dan iltijam (kuat kemauannya) untuk menegakkan syari’at, sementara syari’at itu mencakup ketauhidan dan segala hukum-hukum (Allah)

Untuk memudahkan, ada tujuh jenis syariat.

1. Syariat yang mengatur ubudiyah (ibadah), contoh ; tata cara shalat, tata cara puasa, tata cara zakat, haji, dzikir, berdoa dst.

2. Syariat yang mengatur munakahah (pernikahan dan keluarga), contoh; cara melamar, akad nikah, walimah, kewajiban suami, kewajiban istri, hak suami, hak istri, kewajiban orangtua,  dst

3. Syariat yang mengatur jinayah (hukum kejahatan), kriminalitas. Hukum mencuri,  hukum minum khamr, hukum berzina, membunuh muslim, membunuh kafir dll

4. Syariat yang mengatur muamalah (perniagaan / ekonomi). contoh; jual-beli, berserikat, tidak boleh  riba, dilarang melebihkan atau mengurangi takaran dll

5. Syariat yang mengatur ahlak / adab. misal; adab manusia kepada Allah, manusia   kepada manusia, ahlak terhadap orangtua, guru, rakyat dst.

6. Syariat yang mengatur siyasah (politik), contoh; tidak boleh menipu, harus jujur, kalau berjanji  harus ditepati, tidak boleh mengangkat wanita sebagai pemimpin, tidak boleh mengangkat orang kafir sebagai pemimpin, mengangkat khalifah dll.

7. Syariat yang mengatur asykari (angkatan perang). contoh; membentuk pasukan, kewajiban jihad, tata cara berperang,  larangan dalam berperang dll.

Kita sering mendengar kaedah :”Al Islam Ya’lu, wala Yu’laa ‘alaihi” maksudnya adalah : Islam itu tinggi, tidak ada yang lebih tinggi dari Islam. Pada prakteknya keempat madzhab fiqih mengambil kaedah ini sebagai sebab untuk hukum-hukum syari’at.

Berikut ini rujukan dari Abu A’la Maududi untuk pembanding tema ad-din dan syariah :

Ketika membahas mengenai Islam, kita sering mendengar dan menggunakan dua kata berikut: din dan syari’ah.

Namun sangat sedikit yang memahami makna yang benar dari kedua kata tersebut. Bukan hanya orang buta huruf, bahkan yang cukup terpelajar dan sarjana – sarjana agama pun tidak benar – benar menyadari perbedaan penting antara konsep din dan syariah. Disebabkan ketidaktahuan ini, din dan syariah sering dirancukan dengan lainnya, sampai – sampai membikin tidak enak badan.

Makna Din

Kata “din” digunakan untuk beberapa arti.

Makna yang pertama adalah kedaulatan, kekuasaan, kerajaan, kekaisaran atau kepenguasaan.

Makna yang kedua adalah lawannya, yaitu ketundukan, kepatuhan, pengabdian dan pelayanan.

Sedangkan makna yang ketiga adalah mempertimbangkan, menghakimi, memberi pahala atau hukuman atas suatu perbuatan. Penggunaan ketiga makna din tersebut dapat ditemukan dalam Al-Quran.

Sesungguhnya din (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran [3]: 19)

Di sini din berarti way of life (falsafah hidup), di mana kita hanya mengenal Allah semata sebagai pemilik segala kekuasaan dan keagungan dan ketundukan kita kepada-Nya. Kita tidak boleh menundukkan diri kepada siapa pun selain kepada-Nya. Kita harus menganggap bahwa hanya Allah saja sebagai Tuan, Raja dan Baginda, serta kita tidak boleh menjadi abdi dan mengabdi kepada siapa pun selain Dia. Kita harus menganggap hanya Allah raja yang memberikan pahala dan hukuman. Kita tidak mengharapkan pahala atau takut atas siksaan, selain pahala dan siksaan-Nya. Islam adalah nama dari Din ini.

Din yang salah muncul saat kita menganggap kekuasaan yang sesungguhnya adalah milik seseorang di samping Allah, saat kita menjadikan seseorang sebagai penguasa dan tuan selain Allah, sebagai ‘pemberi’ pahala dan siksa yang sesungguhnya, saat kita menundukkan kepala untuk merendahkan hati kepadanya, saat kita menjadi abdinya dan mematuhi segala perintahnya, saat kita mengharap imbalan dan hukumannya lebih dari Allah. Jenis din yang ini tidak diterima Allah karena bertentangan dengan yang sebenarnya.

Tidak ada mahluk di dunia ini kecuali Tuhan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan, juga kerajaan dan kekaisaran. Kita tidak diciptakan untuk mengabdi dan melayani seseorang atau apa pun. Tidak ada juga mahluk lain kecuali Tuhan yang memiliki hak untuk memberikan pahala atau hukuman. Di beberapa ayat Al-Quran dijelaskan pada QS. Ali Imran [3]: 85

Dengan demikian, siapa pun yang mengabaikan kedaulatan dan kekuasaan Tuhan, mengakui orang lain sebagai tuan dan penguasa, menjadi pengabdi dan pelayannya, dan menganggap seseorang memiliki hak memberikan pahala atau siksa, jelas din  dan kepemimpinannya tidak akan diterima Allah [QS. Al-Bayyinah [98]: 5] ket: Lurus berarti jauh dari syirik  (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.

Tuhan tidak menciptakan manusia untuk mengabdi kepada selain diri-Nya. Oleh karena itu wajib bagi manusia untuk mencampakkan tuhan – tuhan palsu dan mengingkari mereka, meninggalkan din yang lain, untuk menyembah Allah semata. Manusia harus mencurahkan diri semata – mata untuk mengabdi dan bertanggung jawab kepada-Nya. [QS. Ali Imran [3] : 83] bagaimana manusia bisa cenderung menghamba dan mematuhi yang lain selain Tuhan, sementara segala sesuatu yang lain, baik di langit maupun di bumi, menjadi abdi dan hamba yang patuh kepada Tuhan semata, dan mempertanggungjawabkan perbuatan mereka hanya kepada Tuhan?

Apakah manusia ingin menggunakan cara-cara yang menyimpang bagi dirinya, berbagai bentuk eksistensi yang independen dan otonom, dengan menentang hukum alam? (QS. At-Taubah [9]: 33)

Allah telah mengirimkan Rasul-Nya dengan membawa din yang benar dengan tujuan mengakhiri kekuasaan semua tuhan – tuhan palsu dan mengkaruniai kita kebebasan yang luas sehingga kita menjadi abdi hanya bagi Tuhan semesta alam, betapa pun para penyembah tuhan – tuhan lain tidak suka atau bahkan menentangnya.

(QS. Al-Anfal [8] : 39)

Pesan yang terkandung dalam ayat ini jelas. Kita harus berperang sampai kekuasaan segala mahluk selain kekuasaan Tuhan berakhir, sampai hanya hukum dan peraturan – peraturan Tuhan yang berlaku di dunia ini, sampai hanya kedaulatan Tuhan semata yang diakui, sampai kita mengabdi hanya kepada-Nya.

Dengan demikian, tiga makna din adalah:

1. Mengakui Allah sebagai Tuhan, Raja dan Penguasa.

2. Mematuhi dan mengabdi kepada-Nya

3. Bertanggung-jawab kepada-Nya, hanya takut kepada siksa-Nya dan hanya mengharap pahala dari-Nya.

Din juga mencakup kepatuhan kepada Rasulullah. Karena ajaran – ajaran Tuhan  disampaikan kepada umat manusia melalui kitab – kitab suci-Nya dan para Rasul-Nya.  (QS. Al-A’raf [7]: 35)

Tidak seorang pun yang menerima ajaran – ajaran Allah secara langsung (pelaku tasawuf ada yang berani mengaku demikian!). Siapa pun yang mengakui Allah sebagai penguasa hanya dapat diterima sebagai patuh kepada-Nya jika dia mematuhi para Rasul-Nya dan hidup di bawah tuntunan yang disampaikan melalui mereka.

Makna Syariah

Arti “syari’ah” adalah jalan dan cara. Kita memasuki din jika kita menerima Tuhan sebagai Raja kita, hidup untuk mengabdi kepada-Nya, menganggap bahwa Rasul memegang otoritas atas nama Tuhan, mengakui bahwa Kitab Suci diturunkan dari-Nya. Cara – cara yang dengannya kita harus mengabdi kepada Tuhan dan jalan yang harus kita lalui untuk mematuhi-Nya disebut “syari’ah”.

“Cara” atau “jalan” ini disampaikan oleh Tuhan kepada umat manusia melalui Rasul-Nya. Rasul lah yang menuntun kita bagaimana menyembah Tuhan. Bagaimana membuat tubuh dan hati kita bersih, apa itu kebenaran dan kebaikan, bagimana memenuhi hak, bagaimana melakukan transaksi dan berhubungan dengan sesama manusia, bagaimana mengarahkan hidup dan lain – lain.

Dasar – dasar perbedaan

Perbedaan pokok antara din dan syari’ah adalah: sementara din sejak dulunya sama dan satu, sedangkan syariah beragam. Ada perubahan atau pencabutan pada syar’iah terkemudian terhadap syari’ah terdahulu, namun tidak mengubah din-Nya. Din Nabi Nuh sama dengan din Nabi Ibrahim a.s., Nabi Musa a.s. Nabi Isa a.s., Syu’ain a.s., Hud a.s., Shalih a.s. dan Muhammad saw.  Tetapi syari’ah yang diturunkan kepada mereka (bisa saja) berlainan satu dengan yang lain.

(Sumber : al-Maududi, Abul A’la . Let Us Be Muslims / Menjadi Muslim Sejati, Jogjakarta : Mitra Pustaka, 1998)

Sesuatu disebut dien (agama, apabila memenuhi setidaknya empat unsur :

1.      Ada satu atau lebih yang ditaati, dipatuhi, ditakuti dan atau dicintai

2.      Ada ketaatan, kepatuhan bagi pemeluknya kepada yang ditaati, dipatuhi, ditakuti dan atau dicintai

3.      Ada kegiatan – kegiatan / aktivitas dari pemeluknya yang tata caranya diserahkan kepada yang ditaati, dipatuhi, ditakuti dan atau dicintai.

4.      Ada balasan dari yang ditaati, dipatuhi, ditakuti dan atau dicintai kepada para pengikutnya.

Contoh Dienul Islam:

1.      Yang ditaati, dipatuhi, ditakuti dan dicintai hanyalah Allah SWT

2.      Ada ketaatan, kepatuhan kepada Allah karena adanya nikmat Iman dan Islam.

3.      Ada kegiatan – kegiatan / aktivitas dari pemeluknya yang tata caranya diserahkan kepada yang ditaati, dipatuhi, ditakuti dan atau dicintai. Yang bersumber Al-Quran dan as-sunnah. Yakni kegiatan ibadah dalam arti khusus dan dalam arti luas

4.      Ada balasan baik disegerakan, maupun diakhirkan dari Allah SWT kepada umatnya.

Contoh Demokrasi sebagai din buatan manusia:

1.      Mereka yang memperoleh suara terbanyak maka dijadikan sesembahan. Sebagaimana Nasrani menjadikan orang-orang alim dan pendetanya sebagai sesembahan selain Allah (Tafsir QS At-Taubah : 31).

2.      Adanya ketaatan dan kepatuhan dalam menjadikan hukum buatan manusia sebagai sumber hukum tertinggi atau sebagai sumber dari segala sumber hukum.

3.      Adanya kegiatan-kegiatan penjaminan kebebasan dari sesembahan bagi para penganutnya untuk memuaskan hawa nafsunya masing – masing.

4.      Ada balasan berupa materi, kedudukan tinggi dsb bagi yang dinilai berjasa besar mendudukan para  sesembahan di posisinya sekarang dan balasan berupa ancaman, siksaan dan pembunuhan bagi yang menentang kekuasaan mereka.

Semua Nabi hanya membawa Islam saja. Lalu bagaimana dengan Yahudi atau Nasrani, bukankah agama tersebut dibawa oleh anak cucu Nabi Ibrahim a.s. yakni Nabi Musa a.s dan Nabi Isa a.s.? Anggapan tersebut adalah anggapan salah dan batil!

Perhatikan firman Allah yang artinya : “ataukah kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakqub dan anak cucunya, adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani? Katakanlah: “Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih lalim daripada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada padanya?”… (QS. Al-Baqarah : 140)

Maka din selain Islam adalah din buatan manusia, termasuk Nasrani, Yahudi dan juga Demokrasi.

Dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan Al Hakim dengan sanad yang shahih: “Orang-orang Quraisy datang kepada Rasul: “Hai Muhammad, kambing mati siapa yang membunuhnya?”, beliau berkata: Allah yang mematikannya, lalu mereka berkata: “Kambing yang kalian sembelih kalian katakan halal, sedangkan kambing yang disembelih Allah dengan Tangan-Nya yang mulia dengan pisau dari emas (maksudnya bangkai) kalian katakan haram ! berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah”.

Dan perhatikan firman Allah SWT yang artinya :

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. (QS. Al An’am : 121)

Dan ucapan ini adalah bisikan atau wahyu syaitan kepada mereka dan ketahuilah: “Jika kalian mentaati mereka (ikut setuju dengan hukum dan aturan mereka yang bertentangan dengan hukum dan aturan Allah) maka kalian ini orang-orang musyrik”. Dalam hal ini ketika orang mengikuti hukum yang bertentangan dengan aturan hukum Allah disebut musyrik, padahal hanya dalam satu hal saja, yaitu penghalalan bangkai. Sedangkan orang yang membuat hukumnya disebut syaitan, dan hukum tersebut pada dasarnya adalah wahyu syaitan atau bisikan syaitan, kemudian digulirkan oleh wali-wali syaitan dari kalangan manusia, dan orang yang mengikuti hukum-hukum tersebut disebut sebagai orang musyrik…!

Berlepas diri dari kemusyrikan, dari orang – orang musyrik berikut tata cara  kehidupannya dalilnya adalah firman Allah yang artinya…

“…telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS. Al Mumtahanah : 4)

Wallahu a’lam

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Wirawan

Diolah dari berbagai sumber.


Filed under: Seni

Makna Syahadatain

$
0
0

Maka ketahuilah sesungguhnya tidak ada illah melainkan Allah….. (QS47:19)

Jumlah umat Islam kini sangat banyak. Sebagian besar mereka terkategorikan sebagai Islam keturunan atau kebetulan terlahir sebagai muslim dari orang tua. Kenyataan akan jumlah yang banyak tidak berkorelasi dengan pemahamannya kepada Islam secara benar, orisinil dan utuh.

Hakikat memahami Islam dimulai dari memahami inti sari ajarannya yaitu dua kalimat syahadah (syahadatain). Kalimat tersebut terdiri dari Laa Ilaaha Illallah dan Muhammadun Rasulullah. Memahami keduanya sangat penting dan mendasar. Karena jika kita tak memahami hakikat kalimat syahadah, kita dapat terjerembab ke dalam penyakit kebodohan dan kemusyrikan.

Syahadatain merupakan fondasi atau asas dari bangunan keislaman seorang muslim. Jika fondasinya tidak kuat maka rumahnya pun tidak akan kuat bertahan. Ayat di atas, menjelaskan bahwa umat Islam tidak dibenarkan hanya sekedar mengucapkan atau melafalkan dua kalimat syahadah, tetapi seharusnya betul-betul memahaminya. Kata fa’lam berarti “maka ketahuilah, ilmuilah….” Artinya Allah memerintahkan untuk mengilmui atau memahami kalimat Laa Ilaaha Illallah bukan sekedar mengucapkannya, tetapi dengan yang pada gilirannya akan membentuk keyakinan (i’tiqod) dalam hati.

Pentingnya Syahadatain

Kalimat syahadah sangat penting dipahami karena beberapa hal:

1. Pintu gerbang masuk ke dalam Islam (madkholu ilal Islam)

Islam ibarat rumah atau bangunan atau sistem hidup yang menyeluruh, dan Allah memerintahkan setiap muslim untuk masuk secara kaaffah ( Qs 2:208 ). Untuk memasukinya akan melalui sebuah pintu gerbang, yaitu syahadatain.

Hal ini berlaku baik bagi kaum muslimin atau non muslim. Artinya, pemahaman Islam yang benar dimulai dari pemahaman kalimat itu. Pemahaman yang benar atas kedua kalimat ini mengantarkan manusia ke pemahaman akan hakikat ketuhanan (rububiyyah) yang benar juga. Mengimani bahwa Allah-lah Robb semesta alam.

2. Intisari doktrin Islam (Khulasoh ta’aliimil Islam)

Intisari ajaran Islam terdapat terdapat dalam dua kalimat syahadah. Asyhadu anlaa ilaaha illallah (Aku bersaksi: sesungguhnya tidak ada Ilaah selain Allah) dan asyhadu anna muhammadan rasulullah (Aku bersaksi: sesungguhnya Muhammad Rasul Allah). Pertama, kalimat syahadatain merupakan pernyataan proklamasi kemerdekaan seorang hamba bahwa ibadah itu hanya milik dan untuk Allah semata (Laa ma’buda illallah), baik secara pribadi maupun kolektif (berjamaah).

Kemerdekaan yang bermakna membebaskan dari segala bentuk kemusyrikan, kekafiran dan api neraka. Kita tidak mengabdi kepada bangsa, negara, wanita, harta, perut, melainkan Allah-lah yang disembah (al-ma’bud). Para ulama menyimpulkan kalimat ini dengan istilah Laa ilaaha illallah ‘alaiha nahnu; “di atas prinsip kalimat laa ilaaha illallah itulah kita hidup, kita mati dan akan dibangkitkan”. Rasulullah juga bersabda “Sebaik-baik perkataan, aku dan Nabi-nabi sebelumku adalah Laa ilaaha illallah” (al-Hadist).

Maka sering mengulang kalimat ini sebagai dzikir yang diresapi dengan pemahaman yang benar – bukan hanya melisankan – adalah sebuah keutamaan yang dapat meningkatkan keimanan. Keimanan yang kuat, membuat hamba menyikapi semua perintah Allah dengan mudah. Sebaliknya, perintah Allah akan selalu terasa berat di saat iman kita melemah.

Kalimat syahadatain juga akan membuat keimanan menjadi bersih dan murni, ibarat air yang suci. Allah akan memberikan dua keuntungan bagi mereka yang beriman dengan bersih, yaitu hidup aman atau tentram dan mendapat petunjuk dari Allah. Sebagaimana Dia berfirman dalam al-Qur’an:

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk” (QS 6:82).

Kedua, kita bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, berarti kita seharusnya meneladani Rasulullah dalam beribadah kepada Allah. Karena beliau adalah orang yang paling mengerti cara (kaifiyat) beribadah kepada-Nya. Sebagaimana disabdakan Nabi SAW: “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat…”. Selanjutnya hal ini berlaku untuk semua aspek ibadah di dalam Islam.

3. Dasar-dasar Perubahan (Asasul inqilaab)

Perubahan yang dimaksud adalah perubahan mendasar dalam kehidupan manusia, yaitu perubahan dari kegelapan (jahiliyah) menuju cahaya (Islam); minazzuluumati ilannuur. Perubahan yang dimaksud mencakup aspek keyakinan, pemikiran, dan hidupnya secara keseluruhan, baik secara individu maupun masyarakat.

Secara individu, berubah dari ahli maksiat menjadi ahli ibadah yang taqwa; dari bodoh menjadi pandai; dari kufur menjadi beriman, dst. Secara masyarakat, di bidang ibadah, merubah penyembahan komunal berbagai berhala menjadi menyembah kepada Allah saja.

Dalam bidang ekonomi, merubah perekonomian riba menjadi sistem Islam tanpa riba, dan begitu seterusnya di semua bidang. Syahadatain mampu merubah manusia, sebagaimana ia telah merubah masyarakat di masa Rasulullah dan para shahabat terdahulu. Diawali dengan memahami syahadatain dengan benar dan mengajak manusia meninggalkan kejahiliyahan dalam semua aspeknya kepada nilai-nilai Islam yang utuh.

4. Hakikat Da’wah para Rasul (Haqiqotud Da’watir Rasul)

Para nabi, sejak Adam AS sampai Muhammad SAW, berda’wah dengan misi yang sama, mengajak manusia pada doktrin dan ajaran yang sama yaitu untuk beribadah kepada Allah saja dan meninggalkan Thogut. Itu merupakan inti yang sama dengan kalimat syahadatain, bahwa tiada Ilaah selain Allah semata. Seperti difirmankan Allah SWT: Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhi thogut itu” (QS 16:36)

5. Keutamaan yang Besar (Fadhooilul ‘Azhim)

Kalimat syahadatain, jika diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, menjanjikan keutamaan yang besar. Keutamaan itu dapat berupa moral maupun material; kebahagiaan di dunia juga di akhirat; mendapatkan jaminan syurga serta dihindarkan dari panasnya neraka.

Makna Syahadah

Arti Syahadah Pertama adalah : “ Aku bersaksi, mengakui, berjanji, bersumpah, serta menyatakan ( mengikrarkan ) bahwa tiada Illah yang berhaq diibadahi dengan sebenar-benarnya kecuali Alloh.

Arti Syahadah kedua adalah merupakan pengakuan terhadap kerasulan Muhammad : Aku bersaksi, mengakui, berjanji, bersumpah, serta menyatakan bahwa Muhammad itu Utusan Alloh.

Syahadat dalam makna Haqiqi

Makna haqiqi Syahadah adalah kecintaan / kecenderungan ( Mahabah ) Qs. 6:162-164 dan keridloan kepada :

=> Alloh sebagai Robb Qs. 6:162-164 / 26:164

=> Islam sebagai Din ( System Hidup ) Qs. 5:3

=> Rasul sebagai Uswah Hasanah Qs. 33:21

Syahadah dalam Makna Taklifi

Artinya awal seseorang dibebani tanggung Jawab untuk melaksanakan Hukum-hukum Alloh.

Kandungan Syahadah :

1. Laa-Mathluubaillalloh

Tiada yang dicari dan diusahakan kecuali Rahmat dari Alloh
Tiada yang dicari dan diusahakan kecuali Pemimpin pembawa amanah Alloh
Tiada yang dicari dan diusahakan kecuali Daulah Kurnia Alloh

2. Laa-Ma’buudaillalloh

Tiada yang disembah dan diibadahi kecuali Alloh
Tiada yang ditaati dan disetiai kecuali Pemimpin pembawa amanah Alloh
Tiada yang dijunjung tinggi kecuali DINULLOH ( Negara Islam )

3. Laa-Maqshuudaillalloh

Tiada sesuatu maksud yang dituju, melainkan hanya melaksanakan tugas illahy ; memperjuangkan DINULLOH ( Negara Islam )
Tiada sesuatu maksud yang dituju kecuali Idharnya Pemimpin pembawa amanah Alloh.
Tiada sesuatu maksud yang dituju kecuali Idharnya DINULLOH ( Negara Islam )

4. Laa-Maujuudaillalloh

Tiada wujud mutlak dan hakiki kecuali Alloh
Tiada yang diakui wujud kecuali Pemimpin pembawa amanah Alloh
Tiada yang diakui wujud kecuali DINULLOH ( Negara Islam )

Syarat Syah Syahadah

1. Pernyataan / Ikrar ( 63 :1 / 3 ; 81,3 : 52 )

Seorang yang bersyahadah berarti dia Harus berikrar atau menyatakan, bukan hanya mengucapkan kesaksian yang tumbuh dari dalam hati bahwa Tidak Ada Ilaah Selain Allah.

2. Bersumpah ( 24 : 6 )

Seseorang yang bersyahadah berarti juga bersumpah, kesediaan yang siap menerima akibat dan resiko apapun bahwa tiada Ilaah selain Allah saja dan Muhammad adalah utusan Allah.

3. Pernyataan Iman untuk dipersaksikan ( 36 ; 25 )

Seseorang Yang bersyahadah menyatakan imannya dengan sungguh-sungguh dengan tidak ragu-ragu lagi dan dipersaksikan oleh waliulloh. ( 17 : 71 )

4. Ada Saksi / Disaksikan ( 85 : 3 )

Seseorang yang bersyahadah dengan dipersaksikan, maka yang menyaksikan itu akan jadi saksi keimanan seseorang tersebut didunia atau akhirat. ( 17 : 71 )

5. Dicatat / Tercatat ( 5 : 83 / 3 :53 )

Seseorang yang sudah bersyahadah akan tercatat didalam naungan Konstitusi Islam, ia akan menjadi rakyatnya / ummatnya .

Syahadah muslim yang dinyatakan dengan kesungguhan, yang merupakan janji suci, sekaligus sumpah kepada Allah SWT; merupakan ruh keimanan. Iman adalah keyakinan tanpa keraguan, penerimaan tanpa keberatan, kepercayaan terhadap semua keputusan Allah (QS 49:15).

Hakikat Iman

Keimanan itu bukanlah angan-angan, tetapi mencakup 3 hal:

1. Dikatakan dengan lisan (al-Qoul)

Syahadah diucapkan dengan lisan dengan penuh keyakinan. Semua perkataan yang keluar dari lisan mu’min senantiasa baik dan mengandung hikmah.

2. Dibenarkan dengan hati (at-tashdiiq)

Hati adalah lahan menyemai benih-benih keimanan. Semua yang keluar dari lisan digerakkan oleh hati. Apa yang ada dalam hati akan dicerminkan dalam perkataan dan perbuatan. Dalam hadist Bukhori digambar oleh Nabi SAW bahwa: “Ilmu (hidayah) yang Aku bawa ibarat air hujan, ada jenis tanah yang subur menumbuhkan tanaman, ada tanah yang tidak menumbuhkan hanya menampung air, ada jenis tanah yang gersang, tidak menumbuhkan juga tidak menampung”.

Allah, dalam al-Qur’an, membagi hati manusia menjadi tiga, yaitu -hati orang mu’min (QS 26: 89), -hati orang kafir (QS 2: 7) dan -hati orang munafiq (QS 2: 10). Hati orang kafir yang tertutup dan hati munafik yang berpenyakit takkan mampu membenarkan keimanan (at-tashdiiqu bil qolb). Sedangkan hati orang mu’min itulah yang dimaksud Rasulullah SAW sebagai tanah yang subur yang dapat menumbuhkan pohon keimanan yang baik. Akar keyakinannya menjulang kuat ke tanah, serta buah nilai-nilai ihsannya dapat bermanfaat untuk manusia yang lain.

3. Perbuatan (al-‘Amal)

Perbuatan (amal) digerakkan atau termotivasi dari hati yang ikhlas dan pembenaran iman dalam hati. Seseorang yang hanya bisa mengucapkan dan mengamalkan tanpa membenarkan di hati, tidak akan diterima amalnya. Sifat seperti itu dikategorikan sebagai orang munafik, yang selalu bicara dengan lisannya bukan dengan hatinya. Karena munafik memiliki tiga tanda: bila berbicara ia berdusta, bila berjanji ia ingkar, bila diberi amanah ia berkhianat.

Perkataan, pembenaran di hati dan amal perbuatan adalah satu kesatuan yang utuh. Ketiganya akan melahirkan sifat istiqomah, tetap, teguh dan konsisten. Sebagaimana dijelaskan dalam QS 41:30, sikap istiqomah merupakan proses yang terus berjalan bersama keimanan. Mu’min mustaqim akan mendapatkan karunia dari Allah berupa:

=> Keberanian (asy-Syajaa’ah), yang lahir dari keyakinan kepada Allah. Berani menghadapi resiko tantangan hidup, siap berjuang meskipun akan mendapatkan siksaan. Lawan keberaniaan adalah sifat pengecut.

=> Ketenangan (al-Ithmi’naan), yang lahir dari keyakinan bahwa Allah akan selalu membela hamba-Nya yang mustaqim secara lahir bathin. Lawannya adalah sifat bersedih hati.

=> Optimis (at-Tafaa’ul), lahir dari keyakinan terhadap perlindungan Allah dan ganjaran Allah yang Maha sempurna. Orang yang optimis akan tentram akan kemenangan hakiki, yaitu mendapatkan keridhoan Allah (mardhotillah).

Ketiga karunia Allah kepada orang mustaqim akan dilengkapi Allah dengan anugerah kebahagiaan hidup (as-Sa’aadah), baik di dunia dan akhirat. Inilah pemahaman terhadap konsep syahadah. Tidak mudah dalam pelaksanaannya, karena kita berharap agar Allah memberikan kesabaran dalam memahaminya serta melaksanakannya.

Abu Dzar Berlari berlari dalam dadaku,
singgah disetiap kota.
Hanya sekadar berkata :

” HIDUPLAH DENGAN SYAHADAT “

Lalu diantara ribuan jiwa yang tengadah, menentang.
Merasa setiap jiwa berkuasa terhadap jiwa yang lain.
Mereka berteriak :

“Adalah ribuan abad kami membangun peradaban,
Maka engkau muncul dari entah hanya fatamorgana
bagi kami !!”

Abu Dzar tersenyum dalam dadaku,
Langkahnya mantap.Masih dengan kata :
” HIDUPLAH DENGAN SYAHADAT ”

Referensi :
Agenda Muslim Iqra’
Ust. Tizar zein & Adi
iqraku.blogspot.com


Filed under: Seni

KISAH TELADAN KEPADA ORANG TUA

$
0
0

Sahabat Abu Hurairah sempat gelisah karena ibunya masih dalam jeratan kekufuran. Dalam shahih Muslim disebutkan, dari Abu Hurairah, ia bercerita. Aku mendakwahi ibuku agar masuk Islam. Suatu hari aku mengajaknya untuk masuk Islam, tetapi dia malah mengeluarkan pernyataan tentang Nabi yang aku benci. Aku (pun) menemui Rasulullah dalam keadaan menangis. Aku mengadu. “Wahai Rasulullah, aku telah membujuk ibuku untuk masuk Islam, namun dia menolakku. Hari ini, dia berkomentar tentang dirimu yang aku benci. Mohonlah kepada Allah supaya memberi hidayah ibu Abu Hurairah”. Rasulullah bersabda : “Ya, Allah. Tunjukilah ibu Abu Hurairah”. Aku keluar dengan hati riang karena do’a Nabi. Ketika aku pulang dan mendekati pintu, maka ternyata pintu terbuka. Ibuku mendengar kakiku dan berkata : “Tetap di situ Abu Hurairah”. Aku mendengar kucuran air. Ibu-ku sedang mandi dan kemudian mengenakan pakaiannya serta menutup wajahnya, dan kemudian membuka pintu. Dan ia berkata : “Wahai, Abu Hurairah ! Asyhadu an Laa Ilaaha Illa Allah wa Asyhadu Anna Muhammadan Abduhu wa Rasuluhu”. Aku kembali ke tempat Rasulullah dengan menangis gembira. Aku berkata, “Wahai, Rasulullah, Bergembiralah. Allah telah mengabulkan do’amu dan menunjuki ibuku”. Maka beliau memuji Allah dan menyanjungNya serta berkomentar baik” [Hadits Riwayat Muslim] Ibnu Umar pernah melihat lelaki menggendong ibunya dalam thawaf. Ia bertanya : “Apakah ini sudah melunasi jasanya (padaku) wahai Ibnu Umar?” Beliau menjawab : “Tidak, meski hanya satu jeritan kesakitan (saat persalinan)”. Zainal Abidin, adalah seorang yang terkenal baktinya kepada ibu. Orang-orang keheranan kepadanya (dan berkata) : “Engkau adalah orang yang paling berbakti kepada ibu. Mengapa kami tidak pernah melihatmu makan berdua dengannya dalam satu talam”? Ia menjawab,”Aku khawatir tanganku mengambil sesuatu yang dilirik matanya, sehingga aku durhaka kepadanya”. Sebelumnya, kisah yang lebih mengharukan terjadi pada diri Uwais Al-Qarni, orang yang sudah beriman pada masa Nabi, sudah berangan-angan untuk berhijrah ke Madinah untuk bertemu dengan Nabi. Namun perhatiannya kepada ibunya telah menunda tekadnya berhijrah. Ia ingin bisa meraih surga dan berteman dengan Nabi dengan baktinya kepada ibu, kendatipun harus kehilangan kemuliaan menjadi sahabat Beliau di dunia. Dalam shahih Muslim, dari Usair bin Jabir, ia berkata : Bila rombongan dari Yaman datang, Umar bin Khaththab bertanya kepada mereka : “Apakah Uwais bin Amir bersama kalian ?” sampai akhirnya menemui Uwais. Umar bertanya, “Engkau Uwais bin Amir?” Ia menjawa,”Benar”. Umar bertanya, “Engkau dari Murad kemudian beralih ke Qarn?” Ia menjawab, “Benar”. Umar bertanya, “Engkau punya ibu?”. Ia menjawab, “Benar”. Umar (pun) mulai bercerita, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Akan datang pada kalian Uwais bin Amir bersama rombongan penduduk Yaman yang berasal dari Murad dan kemudian dari Qarn. Ia pernah tertimpa lepra dan sembuh total, kecuali kulit yang sebesar logam dirham. Ia mempunyai ibu yang sangat dihormatinya. Seandainya ia bersumpah atas nama Allah, niscaya aku hormati sumpahnya. Mintalah ia beristighfar untukmu jika bertemu”. (Umar berkata), “Tolong mintakan ampun (kepada Allah) untukku”. Maka ia memohonkan ampunan untukku. Umar bertanya, “Kemana engkau akan pergi?”. Ia menjawab, “Kufah”. Umar berkata, “Maukah engkau jika aku menulis (rekomendasi) untukmu ke gubernurnya (Kufah)?” Ia menjawab, “Aku lebih suka bersama orang yang tidak dikenal”. Kisah lainnya tentang bakti kepada ibu, yaitu Abdullah bin Aun pernah memanggil ibunya dengan suara keras, maka ia memerdekakan dua budak sebagai tanda penyesalannya. Wassalam…..( Galuh Rossie )….c2m2 [Diadaptasi dari Idatush Shabirin, oleh Abdullah bin Ibrahim Al-Qa’rawi dan Ilzam Rijlaha Fatsamma Al-Jannah, oleh Shalihj bin Rasyid Al-Huwaimil]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1425/2005M. Penerbiit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,


Filed under: Seni

Dahsyarnya Padang Mahsyar

$
0
0

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan: “Allah l akan mengumpulkan seluruh manusia setelah mereka bangkit dari kuburnya. Mereka berjalan menuju mahsyar, sebuah tempat di mana Allah l akan kumpulkan makhluk yang pertama hingga yang terakhir. Mahsyar adalah sebuah tempat yang rata. Tidak ada tempat yang tinggi, tidak pula ada gunung maupun bukit. Tempat yang rata, semua makhluk akan berkumpul di sana.” (Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 201) Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Sahl bin Sa’d z, Rasulullah n bersabda: يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى أَرْضٍ بَيْضَاءَ عَفْرَاءَ كَقُرْصَةِ نَقِيٍّ. قَالَ سَهْلٌ أَوْ غَيْرُهُ: لَيْسَ فِيهَا مَعْلَمٌ لِأَحَدٍ “Umat manusia akan digiring pada hari kiamat ke (mahsyar). Sebuah medan yang luas. Tanahnya berwarna putih seperti bundaran roti yang bersih.” Sahl z dan selainnya berkata: “Tidak ada di sana tanda (tempat keberadaan) bagi seorangpun.” (HR. Al-Bukhari no. 6521 dan Muslim no. 790) Matahari didekatkan kepada makhluk Matahari diakan didekatkan terhadap kepala makhluk, sehingga semakin memberatkan dan menakutkan mereka. Itulah di antara peristiwa yang amat dahsyat di padang mahsyar. Maka, keluarlah keringat mereka yang akan menyiksa pemiliknya sesuai dosa-dosa mereka ketika hidup di dunia. Sebagaimana sabda Rasulullah n: تُدْنَى الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ حَتَّى تَكُونَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيلٍ -قَالَ سُلَيْمُ بْنُ عَامِرٍ: فَوَاللهِ، مَا أَدْرِي مَا يَعْنِي بِالْمِيلِ، أَمَسَافَةَ الْأَرْضِ أَمِ الْمِيلَ الَّذِي تُكْتَحَلُ بِهِ الْعَيْنُ- قَالَ: فَيَكُونُ النَّاسُ عَلَى قَدْرِ أَعْمَالِهِمْ فِي الْعَرَقِ، فَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى كَعْبَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى حَقْوَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ الْعَرَقُ إِلْجَامًا. -قَالَ: وَأَشَارَ رَسُولُ اللهِ n بِيَدِهِ إِلَى فِيهِ “Pada hari kiamat, matahari didekatkan jaraknya terhadap makhluk hingga tinggal sejauh satu mil.” –Sulaim bin Amir (perawi hadits ini) berkata: “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang dimaksud dengan mil. Apakah ukuran jarak perjalanan, atau alat yang dipakai untuk bercelak mata.”– Beliau n bersabda: “Maka manusia tersiksa dalam keringatnya sesuai dengan kadar amal-amalnya (yakni dosa-dosanya).[1] Maka, di antara mereka ada yang keringatnya sampai kedua mata kakinya. Ada yang sampai kedua betisnya. Adapula yang sampai pinggangnya. Ada juga yang keringatnya sungguh-sungguh menyiksanya.” –Perawi berkata: “Rasulullah n menunjuk dengan tangannya ke mulutnya.” (HR. Muslim no. 2864) Juga hadits dari Abu Hurairah z, bahwa Rasulullah n bersabda: إِنَّ الْعَرَقَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيَذْهَبُ فِي الْأَرْضِ سَبْعِينَ بَاعًا وَإِنَّهُ لَيَبْلُغُ إِلَى أَفْوَاهِ النَّاسِ أَوْ إِلَى آذَانِهِمْ -يَشُكُّ ثَوْرٌ أَيَّهُمَا قَالَ “Sesungguhnya keringat manusia itu pada hari kiamat akan membanjiri bumi selebar tujuhpuluh depa, dan sungguh akan membanjiri sampai setinggi mulut atau telinga mereka.” –Tsaur, salah seorang perawi ragu mana lafadz yang tepat– (HR. Muslim) Seandainya ada yang bertanya, kalau di dunia maka bila matahari mendekat sedikit saja dari garis edarnya, wajarnya bumi akan terbakar. Maka, bagaimana mungkin hal ini akan terjadi dengan jarak sedemikian dekat namun tidak membakar makhluk? Jawabannya, kata Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t, manusia akan dibangkitkan lalu digiring ke padang mahsyar pada hari kiamat bukan dengan kekuatan yang ada pada mereka ketika hidup di dunia. Bahkan mereka lebih kuat dan lebih mampu. Bila manusia sekarang ini berdiri selama 50 hari di bawah terik matahari, tidak berteduh, tidak makan dan tidak minum, mereka tidak mungkin mampu melakukannya. Mereka akan binasa. Namun pada hari kiamat, mereka mampu bediri selama 50 tahun tanpa makan dan minum ataupun berteduh, kecuali beberapa golongan yang Allah l naungi. Mereka mampu menyaksikan kegerian-kengerian yang terjadi. Perhatikanlah keadaan penghuni neraka yang disiksa, mereka tidak binasa karenanya. “Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain…” (An-Nisa’: 56) [Syarh Al-'Aqidah Al-Wasithiyyah, 2/135] Oleh karena itulah, Rasulullah memberikan contoh kepdaa umatnya untuk senantiasa meminta perlindungan kepada Allah l dari berbagai kesempitan dan kengerian yang akan terjadi pada hari kiamat. Sebagaimana dalam hadits Aisyah x: كان رسول الله n يَتَعَوَّذُ بِاللهِ مِنْ ضِيقِ الْمَقَامِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Adalah Rasulullah n senantiasa meminta perlindungan kepada Allah l dari kesempitan-kesempitan di mahsyat pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah) Golongan yang akan mendapatkan naungan Allah l Allah l dengan rahmat dan keutamaan-Nya akana memberikan naungan kepada sebagian hamba-Nya, pada hari yang sangat panas. Tidak ada naungan pada hari itu kecuali naungan-Nya, yaitu di padang mahsyar tatkala mereka menghadap Allah l. Beberapa golongan yang akan mendapatkan naungan-Nya, yaitu naungan Arsy-Nya, adalah sebagaimana yang Rasulullah n sebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah z. Beliau n bersabda: سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ؛ الْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ “Ada tujuh golongan yang Allah l akan menaungi mereka di bawah naungan Arsy-Nya, pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan Arsy-Nya. Mereka adalah (1) imam (pemimpin) yang adil, (2) pemuda yang tumbuh dalam peribadahan kepada Rabbnya, (3) orang yang hatinya terkait di masjid, (4) orang yang saling mencintai karena Allah, berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya, (5) seorang lelaki yang diajak (berzina) oleh seorang wanita yang berkedudukan lagi cantik, namun dia berkata: ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’, (6) orang yang bersedekah namuan merahasiakannya, sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan (7) orang yang mengingat Allah dalam keadaan sendirian hingga berlinang air matanya.” (Muttafaqun ‘alaih) Dalam riwayat yang lain, Rasulullah n bersabda: سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللهُ فِي ظِلِّ عَرْشِهِ “Ada tujuh golongan yang Allah k akan menaungi mereka dalam naungan Arsy-Nya….” (HR. Sa’id bin Manshur, dihasankan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 2/144, juga oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’) Maka, riwayat ini menjelaskan bahwa yang dimaksud naungan-Nya adalah naungan Arsy-Nya, bukan naungan Dzat-Nya, karena hal ini tidak sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya. Golongan lain yang juga akan mendapatkan naungan Arsy-Nya adalah: مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ لَهُ أَظَلَّهُ اللهُ فِي ظِلِّهِ “Barangsiapa yang memberi kelonggaran kepada orang yang sedang kesulitan (membayar hutang) atau membebaskan (hutang tersebut) darinya, niscaya Allah l akan menaunginya dalam Arsy-Nya.” (HR. Muslim no. 3006) Semoga Allah l menjadikan kita semua termasuk golongan mereka. [1] Sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Ahmad dan Ath-Thabarani dari Abu Umamah z, Rasulullah n bersabda: يَعْرَقُونَ فِيهَا عَلَى قَدْرِ خَطَايَاهُمْ “Mereka berkeringat padanya sesuai kadar dosa-dosa mereka.”


Filed under: Seni

Doa Rezeki dari Segala Penjuru

$
0
0
Allahumma Shalli ala
sayyidina muhammadin adada
anwa’ ir- rizqi wal futuhat . Ya basithal ladzi yabsuthur -rizqa
limay yasya ‘u bighairi hisab ,ubsuth ‘ alayya rizqan katsiram min kulli jihatim min khaza ini ini rizqika bighairi minnatim ma makhluqim bifadhilika wakaramika wa ala alihi washahbihi wasallam.

” Ya Allah limpahkan rahmat atas junjungan kami Nabi
Muhammad sebanyak aneka rupa rezeki . Wahai Zat yang meluaskan rezeki kepada orang yang dihendaki tanpa hisab. Luaskan dan banyaklah rezeki-MU tanpa pemberian dari makhluk , berkat kemurahanMU juga, dan limpahkanlah pula rahmat dan salam atas keluarga dan para sahabat beliau. “

Aamiin Allahumma Aamiin..
Filed under: Seni

Hasbunallah wa Ni’mal Wakiil

$
0
0
Alhamdulillah, wash sholaatu was salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi.

Kalimat ini termasuk dzikir sederhana, namun mengandung makna yang luar biasa. Dzikir ini menandakan bahwa seorang hamba hanya pasrah pada Allah dan menjadikan-Nya sebagai tempat bersandar.

Allah Ta’ala menceritakan mengenai Rasul dan sahabatnya dalam firman-Nya,

الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. ” (QS. Ali ‘Imron: 173)

Kata sahabat Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa “hasbunallah wa ni’mal wakiil” adalah perkataan Nabi ‘Ibrahim ‘alaihis salaam ketika beliau ingin dilempar di api. Sedangkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kalimat tersebut dalam ayat,

إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

“Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,” maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. (HR. Bukhari no. 4563)

 

Renungkanlah Maknanya!

Ibnul Jauzi dalam Zaadul Masiir berkata bahwa maksud “hasbunallah” ialah Allah-lah yang mencukupi segala urusan mereka. Sedangkan “al wakiil“, kata Al Faro’ berarti orang yang mencukupi. Demikian pula kata Ibnul Qosim. Sedangkan Ibnu Qutaibah berkata bahwa makna “al wakiil” adalah yang bertanggung jawab (yang menjamin). Al Khottobi berkata bahwa “al wakiil” adalah yang bertanggung jawab memberi rizki dan berbagai maslahat bagi hamba.

Dalam tafsir Al Jalalain disebutkan makna dzikir di atas ialah Allah-lah yang mencukupi urusan mereka dan Allah-lah sebaik-baik tempat bersandar dalam segala urusan.

Syaikh As Sa’di dalam kitab tafsirnya memaparkan, “Maksud ‘hasbunallah‘ adalah Allah-lah yang mencukupi urusan mereka dan ‘ni’mal wakiil’ adalah Allah-lah sebaik-baik tempat bersandar segala urusan hamba dan yang mendatangkan maslahat.”

Syaikh Al Imam Al ‘Arif rahimahullah berkata bahwa dalam hadits di atas adalah isyarat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada para sahabatnya agar mereka rujuk (kembali) pada Allah Ta’ala, bersandar pada-Nya, sadar bahwa tidak ada daya dan kekuatan melainkan dari-Nya. … Kalimat “hasbunallah” adalah tanda bahwa hamba benar-benar butuh pada Allah dan itu sudah amat pasti. Lalu tidak ada keselamatan kecuali dari dan dengan pertolongan Allah. Tidak ada tempat berlari kecuali pada Allah. Allah Ta’ala berfirman,

فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ مُبِينٌ

Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu. ” (QS. Adz Dzariyat: 50) (Bahrul Fawaid karya Al Kalabadzi)

 

Allah-lah Yang Mencukupi

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 3). Al Qurtubhi rahimahullah menjelaskan pula tentang surat Ath Tholaq ayat 3 dengan mengatakan, “Barangsiapa yang menyandarkan dirinya pada Allah, maka Allah akan beri kecukupan pada urusannya.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ

Barangsiapa menyandarkan diri pada sesuatu, maka hatinya akan dipasrahkan padanya” (HR. Tirmidzi no. 2072, hadits ini hasan kata Syaikh Al Albani). Artinya di sini, barangsiapa yang menjadikan makhluk sebagai sandaran hatinya, maka Allah akan membuat makhluk tersebut jadi sandarannya. Maksudnya, urusannya akan sulit dijalani. Hati seharusnya bergantung pada Allah, bukan pada makhluk. Jika Allah menjadi sandaran hati, tentu urusan akan semakin mudah.

 

Ya Allah … Engkau-lah yang mencukupi segala urusan kami, tahu manakah yang maslahat dan yang mengatur segala rizki kami.

Hasbunallah wa ni’mal wakiil.

 

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.

 

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 21 Dzulqo’dah 1432 H (19/10/2011)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

Dari artikel ‘Hasbunallah wa Ni’mal Wakiil — Muslim.Or.Id


Filed under: Seni

Cara Tidur Rasul Terbukti Sehat Dalam Penjelasan Medis

$
0
0

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab : 21).

Sebagai suri teladan yang baik, Rasulullah Muhammad saw telah banyak memberikan contoh bagaimana tata cara tidur yang baik menurut islam. Seperti hadist berikut ini:

Berbaringlah di atas rusuk sebelah kananmu.” (HR. Al-Bukhari no. 247 dan Muslim no. 2710)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila tidur meletakkan tangan kanannya di bawah pipi kanannya.” (HR. Abu Dawud no. 5045, At Tirmidzi No. 3395, Ibnu Majah No. 3877 dan Ibnu Hibban No. 2350)

Sesungguhnya (posisi tidur tengkurap) itu adalah posisi tidur yang dimurkai Allah Azza Wa Jalla.” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shohih)

Dan posisi tidur dengan menghadap kearah kanan telah terbukti sehat dan banyak manfaatnya dalam hal medis. Berikut manfaat tidur menghadap ke kanan:

1. Mengistirahatkan otak sebelah kiri
Umumnya kita menggunakan organ tubuh bagian kanan sebagai anggota tubuh yang dominan dalam beraktifitas seperti makan, memegang dan lainnya. Dengan tidur pada posisi sebelah kanan, maka otak bagian kiri yang mempersarafi segala aktiftas organ tubuh bagian kanan akan terhindar dari bahaya yang timbul akibat sirkulasi yang melambat saat tidur/diam. Bahaya tersebut meliputi pengendapan bekuan darah, lemak , asam sisa oksidasi, dan peningkatan kecepatan atherosclerosis atau penyempitan pembuluh darah.

2. Mengurangi beban jantung
Dampak posisi ini adalah denyut jantung menjadi lebih lambat, tekanan darah juga akan menurun. Kondisi ini akan membantu kualitas tidur. Tidur miring ke kanan membuat jantung tidak tertimpa organ lainnya. Hal ini disebabkan karena posisi jantung yang lebih condong berada di sebelah kiri.

 

3. Mengistirahatkan lambung
Lambung manusia berbentuk seperti tabung berbentuk koma dengan ujung katup keluaran menuju usus menghadap kearah kanan bawah. Jika seorang tidur kesebelah kiri maka proses pengeluaran chime ( makanan yang telah dicerna oleh lambung dan bercampur asam lambung ) akan sedikit terganggu, hal ini akan memperlambat proses pengosongan lambung.

4. Meningkatkan pengosongan kandung empedu, pankreas
Adanya aliran chime yang lancar akan menyebabkan keluaran cairan empedu juga meningkat, hal ini akan mencegah pembentukan batu kandung empedu. Keluaran getah pancreas juga akan meningkat dengan posisi miring ke kanan.

5. Meningkatkan waktu penyerapan zat gizi
Saat tidur pergerakan usus meningkat. Dengan posisi sebelah kanan, maka perjalanan makanan yang telah tercerna dan siap di serap akan menjadi lebih lama, hal ini disebabkan posisi usus halus hingga usus besar ada dibawah. Waktu yang lama selama tidur memungkinkan penyerapan bisa optimal.

6. Merangsang buang air besar (BAB)
Dengan tidur miring ke sebelah kanan , proses pengisian usus besar sigmoid ( sebelum anus ) akan lebih cepat penuh, jika sudah penuh akan merangsang gerak usus besar diikuti relaksasi dari otot anus sehingga mudah buang air Besar.

7. Mengisitirahatkan kaki kiri
Pada orang dengan pergerakan kanan, secara ergonomis guna menyeimbangkan posisi saat beraktifitas cenderung menggunakan kaki kiri sebagai pusat pembebanan. Sehingga kaki kiri biasanya cenderung lebih merasa pegal dari kanan, apalagi kaki posisi paling bawah dimana aliran darah balik cenderung lebih lambat. Jika tidur miring kanan , maka pengosongan vena kaki kiri akan lebih cepat sehingga rasa pegal lebih cepat hilang.

8. Menjaga kesehatan paru-paru
Paru-paru kiri lebih kecil dibandingkan dengan paru-paru kanan. Jika tidur miring ke sebelah kanan, jantung akan condong ke sebelah kanan. Hal ini tidak menjadi masalah karena paru-paru kanan lebih besar. Lain halnya jika bertumpu pada sebelah kiri, jantung akan menekan paru-paru kiri yang berukuran kecil, tentu ini sangat tidak baik.

9. Menjaga saluran pernafasan
Tidur miring mencegah jatuhnya lidah ke pangkal yang dapat mengganggu saluran pernafasan. Tidur dengan posisi telentang, mengakibatkan saluran pernafasan terhalang oleh lidah. Yang juga mengakibatkan seseorang mendengkur. Orang yang mendengkur saat tidur menyebabkan tubuh kekurangan oksigen. Bahkan terkadang dapat mengakibatkan terhentinya nafas untuk beberapa detik yang akan membangunkannya dari tidur. Orang tersebut biasanya akan bangun dengan keadaan pusing karena kurangnya oksigen yang masuk ke otak. Tentunya ini sangat mengganggu kualitas tidur.

Tata Cara Tidur yang Baik Menurut Islam

“Seandainya manusia tidak mendapatkan nikmat tidur, boleh jadi manusia akan menjadi makhluk yang paling buruk dan menderita di dunia”, benarkah demikian?

Salah satu cara untuk mensyukuri nikmat tidur yaitu dengan cara menunaikannya dengan baik dan benar. Rasulullah Muhammad saw telah memberikan banyak keterangan yang jelas mengenai bagaimanakah seharusnya umat muslim memperlakukan nikmat tidur yang telah dianugerahkan Allah swt kepadanya. Rasulullah Muhammad saw senantiasa memperlakukan tidur dengan etika yang baik. Rasulullah Muhammad saw tidak pernah tidur, keduali dengan disertai etika tidur yang baik.

Berikut beberapa etika tidur yang sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana yang terdapat di dalam hadits-hadits Rasulullah Muhammad saw:

1. Berwudhu ketika akan tidur

Apabila engkau hendak mendatangi pembaringan (tidur), maka hendaklah berwudhu terlebih dahulu sebagaimana wudhumu untuk melakukan sholat.” (HR. Al-Bukhari No. 247 dan Muslim No. 2710)

2. Membaca doa akan tidur

Rasulullah Muhammad saw jika mau tidur berdoa, “Bismika Allahumma Amut wa Ahyaa” (Dengan nama-Mu ya Allah aku mati dan hidup). Bila bangun tidur berdoa, “Alhamdulillahillaji ahyana ba’da maa ama tanaa wa ilayhinnusur.” (Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah kami mati, dan kepada-Nya kami kembali.” (HR. Muslim)

Al-Bara’ bin ‘Azib ra. berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Muhammad saw bila berbaring di tempat tidurnya, beliau letakkan telapak tangannya yang kanan di bawah pipinya yang kanan, seraya berdoa: Robbi qinii ‘adzaabaka yawma tab’atsu ‘ibaadaka (Ya Robbi, peliharalah aku dari azab-Mu pada hari Kau bangkitkan seluruh hamba-Mu).” (HR. At Tarmidzi)

3. Miring ke sebelah kanan

Dari al-Barra` bin Azib, Rasulullah Muhammad saw pernah bersabda, “Apabila kamu hendak tidur,maka berwudhulah (dengan sempurna) seperti kamu berwudhu untuk shalat, kemudian berbaringlah di atas sisi tubuhmu yang kanan“.

4. Meletakkan tangan di bawah pipi sebelah kanan

Rasulullah Muhammad saw apabila tidur meletakkan tangan kanannya di bawah pipi kanannya.” (HR. Abu Dawud no. 5045, At Tirmidzi No. 3395, Ibnu Majah No. 3877 dan Ibnu Hibban No. 2350)

5. Membaca surat surat Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Naas

 

Aisyah ra. berkata: “Bila Rasulullah Muhammad saw berbaring di tempat tidurnya, beliau kumpulkan kedua telapak tangannya, lalu meniup keduanya dan dibaca pada keduanya surat Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Naas. Kemudian disapunya seluruh badan yang dapat disapunya dengan kedua tangannya. Beliau mulai dari kepalanya, mukanya dan bagian depan dari badannya. Beliau lakukan hal ini sebanyak tiga kali.” (HR. At Tarmidzi)

6. Tidurlah di awal malam

Beliau saw tidur di awal malam dan menghidupkan akhir malam.” (Mutafaq ’Alaih)

Bahwasanya Rasulullah Muhammad saw membenci tidur malam sebelum (sholat Isya) dan berbincang-bincang (yang tidak bermanfaat) setelahnya.” (Hadist Riwayat Al-Bukhari No. 568 dan Muslim No. 647 (235))

7. Tidak tidur dengan posisi telungkup (tengkurap)

Sesungguhnya (posisi tidur tengkurap) itu adalah posisi tidur yang dimurkai Allah Azza Wa Jalla.” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shohih)

8. Berdoa ketika bangun tidur

“Rasulullah Muhammad saw jika mau tidur berdoa, “Bismika Allahumma Amut wa Ahyaa” (Dengan nama-Mu ya Allah aku mati dan hidup) Bila bangun tidur berdoa, “Alhamdulillahillaji ahyana ba’da maa ama tanaa wa ilayhinnusur.” (Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah kami mati, dan kepada-Nya kami kembali.” (HR. Muslim)

9. Mengusap Bekas tidur

Maka bangunlah Rasulullah Muhammad saw dari tidurnya kemudian duduk sambil mengusap wajah dengan tangannya” (HR. Muslim No. 763 (182)

10. Beristinsyaq, beristintsaar dan bersiwak ketika bangun tidur
Beristinsyaq dan beristintsaar adalah menghirup kemudian mengeluarkan atau menyemburkan kembali air dari hidung.

Apabila Rasulullah Muhammad saw bangun malam membersihkan mulutnya dengan bersiwak.” (HR. Al Bukhari No. 245 dan Muslim No. 255)

Demikianlah Rasulullah Muhammad saw menunaikan hak-hak tidur yang telah diberikan Allah swt kepadanya. Dan sebagai umat Islam yang beriman kepada Allah swt dan Rasulullah Muhammad saw, maka sudah sepatutnya umat muslim menunaikan nikmat tidur tersebut sebagaimana yang telah dicontohkan dan diajarkan oleh Rasulullah Muhammad saw.


Filed under: Seni

Makanan yang Mencegah Bau Mulut Saat Puasa

$
0
0

Bau mulut atau halitosis merupakan masalah umum yang dialami banyak orang saat berpuasa. Penyebabnya bisa jadi karena kebersihan gigi buruk serta saluran pencernaan yang kurang baik. Dengan makan makanan berprotein, karbohidrat dan terutama berserat munculnya bau mulut bisa dikurangi.

Berikut ini sejumlah makanan yang baik untuk mencegah bau mulut :

Rempah-rempah
Ketumbar, daun mint, tarragon, kayu putih, rosemary, dan kapulaga sangat baik untuk memerangi bau mulut. Cobalah untuk mengunyah rempah-rempah segar atau diseduh dalam air panas (dijadikan teh), saat selesai berbuka dan sahur. Tidak hanya bikin napas segar, tetapi juga baik untuk pencernaan.

Yogurt

 

Seporsi yogurt setiap hari bisa mengurangi tingkat hidrogen sulfida dan jumlah bakteri pada mulut yang menyebabkan bau tak sedap. Pilih yoghurt berkualitas baik, dan usahakan yang tawar tanpa perasa dan pemanis buatan agar mendapatkan hasil yang maksimal.

Buah dan Sayur
Makan buah dan sayuran berserat seperti apel, wortel, dan seledri bisa meningkatkan produksi air liur yang menjaga mulut tetap lembap dan baik untuk melawan halitosis. Menguyah sebutir apel setelah makan buka atau sahur bisa membantu membersihkan mulut. Gigi bersih dan bau mulut pun lenyap.

Permen tanpa gula
Permen tanpa gula atau permen mint (yang banyak dijual di pasaran) bisa membantu menyegarkan nafas dan mencegah bau mulut. Mengisap permen juga meningkatkan produksi air liur untuk mengurangi plak dan bakteri. Carilah jenis permen tanpa gula. Sebab, gula bisa membentuk plak pada gigi.

Vitamin C
Makanan yang kaya akan vitamin C seperti berry, jeruk, dan melon akan membuat menghambat pertumbuhan bakteri. Carilah asupan vitamin C dari makanan dan bukan suplemen. Sebab, pada sebagian orang, suplemen bisa menyebabkan gangguan pencernaan dan memperparah bau mulut.

Source: DetikFood


Filed under: Seni

Kesederhanaan Jose

$
0
0
Pemimpin negara berkembang umumnya memiliki sifat korup dan bekerja tidak sepenuh hati memperbaiki kondisi warganya. Gambaran ini tidak berlaku untuk Presiden Uruguay, José Mujica.Ia menyumbangkan 90% gaji bulanannya (120 juta rupiah) untuk kepentingan warga miskin dan usaha kecil. Ia memilih hidup sederhana di rumah dan lahan pertaniannya yang kecil. Istrinya meskipun anggota senat, masih menanam bunga untuk dijual ke pasar setempat.

Ketika diwawancarai setelah terpilih sebagai presiden, ia hanya memiliki uang cash sedikit, tidak pernah memiliki rekening bank terlebih kartu kredit. Kendaraannya hanya sebuah VW Beetle tua.

Orang-orang menyebutnya sebagai presiden termiskin di dunia saat ini. Tapi ia berkata, “Saya tidak merasa miskin. Orang miskin adalah mereka yang bekerja hanya untuk menjaga gaya hidup mewahnya dan selalu ingin lebih dan lebih.”

José Mujica mungkin salah satu presiden terbaik saat ini, petani, mantan pemimpin gerilya dan seorang atheis/agnostik.

Pemimpin negara berkembang umumnya memiliki sifat korup dan bekerja tidak sepenuh hati memperbaiki kondisi warganya. Gambaran ini tidak berlaku untuk Presiden Uruguay, José Mujica.</p><br />
<p>Ia menyumbangkan 90%  gaji bulanannya (120 juta rupiah) untuk kepentingan warga miskin dan usaha kecil. Ia memilih hidup sederhana di rumah dan lahan pertaniannya yang kecil. Istrinya meskipun anggota senat, masih menanam bunga untuk dijual ke pasar setempat.</p><br />
<p>Ketika diwawancarai setelah terpilih sebagai presiden, ia hanya memiliki uang cash sedikit, tidak pernah memiliki rekening bank terlebih kartu kredit. Kendaraannya hanya sebuah VW Beetle tua.</p><br />
<p>Orang-orang menyebutnya sebagai presiden termiskin di dunia saat ini. Tapi ia berkata, “Saya tidak merasa miskin. Orang miskin adalah mereka yang bekerja hanya untuk menjaga gaya hidup mewahnya dan selalu ingin lebih dan lebih." </p><br />
<p>José Mujica mungkin salah satu presiden terbaik saat ini, petani, mantan pemimpin gerilya dan seorang atheis/agnostik.” src=”<a href=http://sphotos-f.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-frc1/999660_256222264517304_763351_n.jpg&#8221; width=”369″ height=”255″ />

José Alberto Mujica Cordano (pengucapan bahasa Spanyol: [xoˈse alˈβerto muˈxika korˈðano], dikenal juga sebagai El Pepe (lahir di Montevideo, Uruguay, 20 Mei 1935; umur 78 tahun) adalah Presiden Uruguay saat ini. Ia mulai menjabat sebagai Presiden Uruguay dari tanggal 1 Maret 2010.

Montevideo – Tak banyak para pemimpin di dunia ini yang bersedia memilih bergaya hidup sederhana. Salah satu dari yang tak banyak itu adalah Presiden Uruguay, Jose Mujica (77). Kendati mengambil gaji sebagai presiden, namun dia menyumbangkan 90 persen gajinya untuk beramal. Ini membuatnya dijuluki ‘Presiden Termiskin di Dunia’.

Jose Alberto Mujica Cordano, demikian nama lengkapnya, menjadi Presiden Uruguay sejak tahun 2010. Sebelumnya, mantan gerilyawan sayap kiri ini menjadi Menteri Pertanian, Peternakan dan Perikanan dari tahun 2005-2008, kemudian menjadi Senator.

Gaya hidup sederhananya menjadi sorotan dan perhatian dunia. Gaji Mujica sebagai presiden per bulan adalah US$ 12 ribu atau Rp 116 juta. Mujica mengambilnya, namun menyumbangkan 90-an persen penghasilannya untuk beramal kepada warga yang miskin dan membutuhkan. Mujica hanya menyisakan US$ 800 atau Rp 7,7 juta gajinya, nyaris seperti rata-rata pendapatan per kapita Uruguay, US$ 775 atau Rp 7,5 juta, demikian dilansir dari New York Times dan BBC.

Nah, gaya hidup seperti apa yang Mujica lakoni dari gaji yang disisakan ‘hanya’ US$ 800 per bulan di Uruguay?

Mujica tinggal di rumah peternakan milik istrinya di pinggiran Montevideo. Alih-alih seperti Istana, rumah peternakan ini bisa dibilang bertipe ‘RSS’ alias rumah sangat-sangat sederhana. Cucian tampak tergantung di luar rumahnya, tampak sumur di halaman rumahnya yang ditumbuhi rumput liar. Dari sumur itu sumber air rumah tangga Mujica terpenuhi.

Jangan bayangkan pula ada sekompi Paspampres berjaga ketat. Rumah Mujica hanya dijaga 2 orang polisi serta beberapa anjing milik Mujica, salah satunya Manuela yang berkaki tiga. Jangan bayangkan pula ada kepala pelayan atau kepala rumah tangga yang bisa melayani dan memasak apa saja seperti layaknya rumah kepala negara.

Mujica dan istrinya bekerja sendiri memenuhi kebutuhan mereka. Termasuk menggarap tanah pertanian mereka dengan bercocok tanam bunga krisan untuk dijual. Maklum, profesi asli Mujica adalah petani.

Pada tahun 2010, saat menjadi presiden, Mujica wajib melaporkan harta kekayaannya, semacam Laporan Hasil Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) di Indonesia. Ternyata, diketahui kekayaannya berjumlah US$ 1.800 atau Rp 17,4 juta, itu pun ‘hanya’ nilai dari mobil VW Kodok lawas tahun 1987 miliknya.

Tahun 2012, Mujica menambahkan aset-aset milik istrinya, Lucia Topolansky, yang juga mantan gerilyawati yang sekarang menjadi Senator. Penambahan aset itu berupa tanah, traktor dan rumah hingga kekayaannya menjadi US$ 215 ribu atau Rp 208 juta.

Kekayaan ini hanya dua per tiga dari kekayaan wakilnya Danilo Astori dan sepertiga kekayaan presiden sebelumnya Tabare Vasquez.

“Saya mungkin terlihat sebagai manusia tua yang eksentrik. Namun ini adalah pilihan bebas. Saya telah hidup seperti ini di sebagian besar hidup saya. Saya bisa hidup dengan baik dengan apa yang sudah saya punya,” kata Mujica seperti dilansir dari BBC.

Saat menjadi gerilyawan, Mujica memang akrab dengan lingkungan yang keras, tertembak 6 kali dan dipenjara 14 tahun. Sebagai tahanan politik, dia kemudian dibebaskan pada 1985. Tempaan hidup yang keras ini membantu membentuk pandangan dan cara hidupnya.

“Saya dijuluki ‘presiden termiskin’, tapi saya tidak merasa miskin. Orang miskin itu adalah mereka yang hanya bekerja untuk memenuhi gaya hidup yang mahal, dan selalu ingin lebih dan lebih. Ini hanyalah masalah kebebasan, jika Anda tak memiliki banyak keinginan, Anda tak perlu bekerja seumur hidup seperti budak untuk memenuhinya. Dan dengan begitu Anda memiliki lebih banyak waktu untuk diri sendiri,” tutur Mujica.

Mujica juga seorang vegetarian, dan dia sangat mendukung kebijakan penggunaan energi terbarukan seperti tenaga angin dan biomassa. Namun ada juga kebijakannya yang kontroversial seperti legalisasi ganja dan aborsi.

Di balik kebijakannya yang kontroversial itu, sekali lagi Mujica menegaskan bahwa gaya hidup seperti ini adalah pilihan hidupnya. “Ini adalah suatu pilihan bebas,” tutur pria kelahiran 20 Mei 1935 ini.

 

MONTEVIDEO, KOMPAS.com — Sebagian besar politisi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, biasanya memiliki gaya hidup yang berbeda 180 derajat dengan rakyat pemilihnya. Tinggal di rumah mewah, pakaian mahal, mobil mewah, dan gaji besar. Namun, semua hal itu tidak berlaku bagi Presiden Uruguay, Jose Mujica. Sejak dilantik menjadi presiden pada 2010 lalu, politisi berusia 77 tahun ini layak mendapat gelar presiden termiskin di dunia.

Bagaimana tidak, pria bernama lengkap José Alberto Mujica Cordano ini mendonasikan 90 persen gajinya setiap bulan, yaitu 12.000 dollar AS atau hampir Rp 120 juta, untuk berbagai kegiatan amal. Tak hanya itu, pria yang oleh kawan-kawannya dipanggil Pepe ini juga menolak tinggal di kediaman resmi kepresidenan di ibu kota, Montevideo. Mujica lebih memilih tinggal di tanah pertanian di luar ibu kota. Bahkan, jalan menuju kediaman Mujica belum dilapisi aspal.

Tak ada penjagaan ketat pasukan elite kepresidenan. Hanya dua polisi dan anjingnya yang hanya memiliki tiga kaki, Manuela, yang terlihat mengawasi di pintu masuk pertaniannya. Di pertaniannya, Mujica dan istrinya bahkan menanam sendiri bunga-bunga yang menjadi pemasukan baginya. Apa alasan Mujica memilih hidup sederhana meski jabatannya adalah seorang presiden?

Saya disebut presiden termiskin di dunia, tetapi saya tak merasa miskin. Orang miskin adalah mereka yang bekerja hanya untuk menjaga gaya hidup mewahnya dan selalu menginginkan lebih.
– Jose Mujica

“Hampir seluruh hidup saya habiskan dengan cara seperti ini. Saya bisa hidup baik dengan apa yang saya miliki saat ini,” kata Mujica sambil duduk di sebuah kursi tua di kebunnya.

Dengan mendonasikan sebagian besar gajinya sebagai presiden untuk rakyat miskin dan pengusaha kecil, maka setiap bulan Mujica hanya menerima kurang dari Rp 800.000.

Pada 2010, ketika kekayaan pribadinya diumumkan—yang merupakan kewajiban pejabat publik Uruguay, saat itu total kekayaan Mujica hanya 1.000 dollar AS atau kurang dari Rp 10 juta. Uang sebanyak itu hanya bisa digunakan untuk membeli sebuah mobil VW Beetle keluaran 1987.

Setelah dua tahun menjadi presiden, kekayaan Mujica memang bertambah. Itu pun setelah dia menambahkan aset milik istrinya berupa tanah, beberapa traktor, dan sebuah rumah. Kekayaannya mencapai 215.000 dollar AS atau sekitar Rp 2 miliar, masih terbilang miskin untuk seorang kepala negara. Bahkan, kekayaan Wapres Daniel Astori dua pertiga kali lebih besar ketimbang orang nomor satu di negeri juara dunia sepak bola pertama kali itu.

Bekas pemberontak

Apa penyebab Mujica begitu miskin? Ternyata, selama 1960-an sampai 1970-an, dia adalah anggota pemberontak Tupamaros, kelompok bersenjata berhaluan kiri yang terinspirasi revolusi Kuba. Dia pernah enam kali tertembak dan mendekam 14 tahun di  penjara. Sebagian besar masa penahanannya dilalui dalam kondisi yang sangat buruk dan dalam sel isolasi. Namun, masa-masa dia dalam penjara itulah yang menurut Mujica membentuk kepribadian dan pandangan hidupnya.

“Saya disebut presiden termiskin di dunia, tetapi saya tak merasa miskin. Orang miskin adalah mereka yang bekerja hanya untuk menjaga gaya hidup mewahnya dan selalu menginginkan lebih,” ujarnya berfilosofi.

“Ini adalah masalah kebebasan. Jika Anda tak memiliki banyak barang maka Anda tak perlu bekerja keras untuk mempertahankannya dan bekerja seumur hidup layaknya budak. Dengan cara seperti ini, Anda memiliki lebih banyak waktu untuk diri sendiri,” tambah dia.

“Banyak yang mengatakan saya orang tua gila atau eksentrik, tapi ini adalah masalah pilihan,” lanjut dia.

Meski banyak mengundang pujian, tetap saja banyak yang mengkritik. Kelompok oposisi mengatakan, pemerintahan Mujica tak bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memperbaiki pelayanan publik, khususnya kesehatan dan pendidikan. Akibatnya, popularitas Mujica menurun hingga 50 persen saat ini.

Namun, Mujica tak perlu khawatir soal popularitas. Undang-undang Uruguay membatasi masa jabatan presiden hanya satu kali. Itu berarti, pada 2014 mendatang Mujica akan pensiun dan menghabiskan waktunya menanam bunga ditemani istrinya dan Manuela, si anjing berkaki tiga.


Filed under: Seni

Ringkasan Penjelasan Tentang Puasa

$
0
0
Asal kata shaum adalah صام – يصوم -صوما صياما  yang artinya menahan diri dari sesuatu.
Ramadan (bahasa arab: رمضان‎ Ramaḍān, pengucapan bahasa arab: [rɑmɑˈdˤɑːn]) (juga dikenal dengan sebutan Ramadhan, Ramadan, Ramazan) adalah bulan kesembilan dari kalender Islam, yang berlangsung 29 sampai 30 hari. Kata Ramadhan berasal dari akar bahasa arab ر م ﺿ, seperti dalam kata-kata “ramiḍha” atau “ar-ramaḍh” yang berarti panas yang menyengat. Sebelum Islam, nama untuk bulan Ramadhan adalah Natiq dan jatuh pada musim yang hangat. Kata demikian dipilih, baik karena mewakili iklim asli pada bulan tersebut dan atau juga karena kondisi fisiologis yang dialami saat berpuasa.
Ditulis oleh Abu Ibrahim ‘Abdullah al-Jakarty
Puasa adalah ibadah yang sangat agung yang mempunyai tuntunan syar’i maka wajib bagi seorang muslim  untuk mempelajari  hukum yang berkaitan dengan puasa sehingga puasanya sesuai dengan apa yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan.

Berkata Asy-Syaikh Al ‘Allamah Shaleh Al Fauzan Hafidazhullah: “Demikanlah seharusnya seorang muslim untuk mempelajari hukum shaum (puasa), dan berbuka, waktu dan sifatnya. Sehingga dapat melaksanakan puasa sesuai dengan apa yang disyariatkan, sesuai dengan sunnah RasulullahShalallahu ‘Alaihi Wassalam, sehingga puasanya benar dan diterima disisi Allah, maka yang demikian itu (mempelajari puasa –pent) termasuk perkara yang penting sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرا

”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang berharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah ”(Ahdzab : 21) (Al Mulakhos Al Fiqhi : 306)

Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat untuk memahami hukum yang berkaitan dengan puasa sehingga puasa kita sesuai dengan tuntutan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.

Pengertian Shaum (puasa)

Puasa secara bahasa adalah الإمساك (menahan)

Adapun secara syar’i:

الإمساك عن المفطرات مع النية، من طلوع الفجر إلى غروب الشمس

Menahan dari segala  yang membatalkan puasa dengan disertai niat mulai dari masuknya waktu fajar hingga terbenamnya matahari. (Taisiirul Alaam Syarhu Umdatil Ahkaam, Syaikh Abdullah Al Bassam)

Hukum Puasa Ramadhan

Kewajiban   puasa ramadhan adalah perkara yang ma’ruf  diketahui  oleh kaum muslimin, berdasarkan Al Qur’an, sunnah dan ijma’, barangsiapa yang mengingkari kewajibannya maka dia  telah murtad dari agama islam.

Allah Ta’ala berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

”Wahai orang – orang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas  orang – orang sebelum kamu agar kamu bertakwa “ (Al Baqarah : 183)

Dalam sebuah hadist, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

”Islam itu dibangun diatas lima perkara, syahadat (persaksian) Laa Ilaha Illallah Muhammadarrasulullah (tidak ada Ilah/sesembahan yang haq kecuali Allah da Muhammad utusan Allah), mendirikan shalat, menunaikan zakat, pergi haji dan puasa Ramdhan” (HR. Bukhari danMuslim)

Berkata Asy-Syaikh Al ‘Allaamah Shalih Al Fauzan Hafidzahullah: ”Kaum muslimin sepakat atas wajibnya puasa ramadhan, barangsiapa yang mengingkari kewajibannya maka dia telah kafir “ (Al Mulakhos Al Fiqhi, hlm 178)

Adapun jika meyakini kewajiban puasa dibulan ramadhan, tetapi dia tidak mengerjakannya maka hal itu merupakan dosa yang sangat besar. Sebagaimana dalam sebuah hadist yang diriwayatkan dari Abu Umamah Al Bahili Radiyallahu ‘Anhu berkata Rasulullah shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :

بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِى رَجُلاَنِ فَأَخَذَا بِضَبْعَىَّ فَأَتَيَا بِى جَبَلاً وَعْرًا فَقَالاَ لِىَ : اصْعَدْ فَقُلْتُ : إِنِّى لاَ أُطِيقُهُ فَقَالاَ : إِنَّا سَنُسَهِّلُهُ لَكَ فَصَعِدْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِى سَوَاءِ الْجَبَلِ إِذَا أَنَا بَأَصْوَاتٍ شَدِيدَةٍ فَقُلْتُ : مَا هَذِهِ الأَصْوَاتُ قَالُوا : هَذَا عُوَاءُ أَهْلِ النَّارِ ، ثُمَّ انْطُلِقَ بِى فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِينَ بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةٌ أَشْدَاقُهُمْ تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا قَالَ قُلْتُ : مَنْ هَؤُلاَءِ قَالَ : هَؤُلاَءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ

Ketika aku tidur datang kepadaku dua orang laki-laki, mereka berdua mengambil kedua lenganku, mereka membawaku kegunung dengan jalan kasar (tidak rata), mereka berkata kepadaku mendakilah, maka aku berkata: saya tidak mampu mendakinya, mereka berkata kami akan memudahkanmu, maka aku mendakinya ketika sampai dipuncak gunung aku mendengar suara yang sangat kencang dan aku bertanya: suara apa ini? mereka berkata ini teriakan penduduk neraka, kemudian mereka membawaku ketempat yang lain, kemudian aku  melihat sebuah kaum yang tergantung dengan kaki diatas, serta mulut mereka terbelah dan mengalir darinya darah, aku berkata siapa mereka, mereka menjawab mereka adalah orang – orang yang berbuka sebelum waktu berbuka ” (HR. an-Nasa’i no 3273-, Ibnu Hibban no 7491 dan Hakim no 1568, dishahihkan oleh syaikh Muqbil di al-Jamius Shahih)

Keutamaan Bulan Ramadhan

Keutamaan bulan ramadhan sangatlah banyak diantaranya adalah:

Pertama : Bulan disyariatkannya puasa sebulan penuh

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

”Wahai orang – orang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas  orang – orang sebelum kamu agar kamu bertakwa “ (Al Baqarah : 183)

Kedua : Di buka pintu – pintu surga dan ditutup pintu – pintu neraka

Didalam sebuah hadist, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ

”Apabila datang ramadhan di buka pintu – pintu surga, ditutup pintu – pintu neraka dan dibelenggu syaithan. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘Anhu)

Ketiga : Bulan yang penuh barakah, didalamnya terdapat malam lailatul qadar. Malam yang lebih baik dari seribu bulan

Allah Ta’ala berfirman

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْر

”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemulian dan tahukah apakah malam kemulian itu ? malam kemulian itu lebih baik dari seribu bulan“ (Al Qadr : 1 – 3)

Syarat di wajibkan berpuasa

  1. Islam : Tidak sah orang kafir berpuasa sampai masuk islam.
  2. Berakal : Tidak sah orang gila sampai berakal
  3. Baligh. Anak kecil belum ada kewajiban berpuasa.
  4. Mampu untuk berpuasa. Orang sakit yang tidak mampu berpuasa tidak wajib berpuasa, begitupun bagi orang yang lanjut usia yang sudah tidak mampu berpuasa.
  5. Mukim. Tidak wajib berpuasa bagi musafir.
  6. Tidak lagi haid dan nifas : Tidak sah orang yang sedang haid dan nifas sampai bersih dari haid dan nifas.
  7. Niat dimalam hari setiap hari pada puasa wajib: Tidak sah jika tanpa niat dan niat tempatnya dihati.

Rukun Puasa

  1. Menahan dari segala sesuatu yang membatalkan puasa dari makan, minum dan jima’ serta yang lainnya
  2. Zaman (waktu) yaitu siang hari di bulan ramadhan, yaitu dari masuknya waktu fajar hingga terbenamnya matahari. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

”Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar “(AlBaqarah : 187)

Yang membatalkan Puasa

Pertama: Makan dan minum dengan sengaja, adapun kalau lupa tidaklah membatalkan puasa, sebagaimana dalam sebuah hadist dari Abu Hurairah Radiyallallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

مَنْ نَسِىَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ

”Barangsiapa yang lupa makan dan minum padahal dia sedang berpuasa maka sempurnakanlah puasanya, bahwasannya Allah telah memberinya makan dan minum ” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua: Keluar mani dengan sebab, mencium, sentuhan atau onani adapun jika dikarenakan mimpi tidaklah membatalkan puasa.

Berkata asy-Syaikh Al ‘Allamah Shalih Al Fauzan Hafidzahullah: “Orang yang tidur apabila bermimpi dan keluar mani, maka tidak mengapa, puasanya shahih (benar/sah-ed) dikarenakan yang demikian terjadi tanpa usahanya, tetapi wajib atasnya mandi dari janabah “ (Al Mulakhos Al Fiqhi : 182)

Ketiga: Jima’ disiang hari di bulan ramadhan

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radiyallahu ‘Anhu berkata : “Kami duduk disisi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tiba - tiba  datang seseorang laki - laki dan berkata : Wahai Rasulullah, celakalah aku, berkata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam apa yang membuat kamu celaka? aku menjimai istriku sedang aku dalam keadaan berpuasa, (dalam riwayat lain aku menjimai istriku di bulan ramadhan) Berkata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam apakah kamu mempunyai budak untuk dibebaskan? Berkata laki-laki tersebut tidak, berkata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam apakah kamu bisa berpuasa dua bulan berturut – turut, berkata laki-laki tersebut, Tidak. Berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: apakah kamu bisa memberi makan kepada 60 orang miskin, berkata laki-laki tersebut tidak, Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, diam, diantara kamipun seperti itu juga (diam -pent). Sesaat kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diberi satu keranjang bersisi kurma, berkata  Rasulullah: dimana orang yang bertanya tadi ? berkata orang tersebut : saya, berkata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ambilah ini shadaqahkanlah dengannya, maka berkatalah laki – laki tersebut, apakah saya menshadaqahkan kepada orang yang lebih faqir daripadaku, demi Allah adakah diantara dua bukit ini penghuni rumahnya yang lebih faqir dari penghuni rumahku! maka Rasulullah tertawa, sampai terlihat gigi geraham (bagian yang depan), kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: beri makanlah dengannya keluargamu (HR. Bukhari dan Muslim)

Keempat: Haid dan Nifas

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا

”Bukakankah jika haid dia tidak shalat dan tiadak berpuasa? maka kami berkata, benar. inilah bentuk kekurangan pada agamanya“ (HR. Muslim)

Kelima: Muntah dengan sengaja

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :

مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

”Barangsiapa yang muntah dengan tanpa disengaja dan dia dalam keadaan puasa –pent tidak ada qada baginya dan apabila disengaja untuk muntah maka wajib baginya qada’ “ (HR. Abu Dawuddishahihkan oleh Syaikh al-AlBani di Shahih Sunan Abu Dawud no 2083)

Keenam: Murtad

Allah Ta’ala berfirman

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

”Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu“ (Az Zummar:65)

Orang – orang yang dibolehkan berbuka di bulan ramadhan dan Kewajiban yang harus mereka lakukan.

Disebutkan oleh Ibnu Qudamah Rahimahullah: “Di bolehkan seseorang untuk tidak berpuasa pada 4 macam keadaan:

1.   Orang sakit yang jika berpuasa akan membahayakan dirinya dan musafir yang boleh menqasar shalat, berbuka bagi keduanya lebih utama, wajib bagi keduanya menqada (mengganti puasa di hari yang lain), jika keduanya berpuasa maka puasanya sah

2.   Wanita yang sedang haid dan nifas, maka wajib baginya untuk meninggalkan puasa dan membayar qada’,  jika keduanya berpuasa maka tidak sah puasanya.

3.   Wanita hamil dan menyusui, jika khawatir akan keselamatan dirinya maka bagi keduanya boleh berbuka dan wajib qada (mengganti dengan puasa dihari lain –pent), jika keduanya khawatir atas anaknya maka boleh berbuka dan wajib qada serta memberi makan setiap hari kepada orang miskin.

4.   Orang yang tidak mampu puasa, seperti orang tua atau orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, maka baginya memberi makan setiap hari kepada orang miskin. (Umdatul Fiqih Ibnu Qudamah : 47 – 48)

Alhamdulillah itulah penjelasan ringkas yang terkait dengan puasa ramadhan, semoga bermanfaat untuk kita semua. Wallahu a’alam bish shawwab.


Filed under: Seni

Merajut Rumah Tangga yang Sakinah Mawadah Warahmah

$
0
0

Pernikahan artinya menjalin kecintaan dan kerjasama, mendahulukan kepentingan orang lain dan pengorbanan, ketentraman dan mawaddah, hubungan rohani yang mulia dan keterikatan jasad yang disyari’atkan.

Pernikahan artinya rumah yang tiangnya adalah Adam dan Hawwa, dan dari keduanya terbentuk keluarga-keluarga dan keturunan-keturunan, lalu rumah-rumah, lalu komunitas, lalu muncul berbagai bangsa dan negara. Dalam hal ini, Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah.” (al-Furqan:54).

Mushaharah yaitu hubungan kekeluargaan yang disebabkan oleh ikatan perkawinan, seperti menantu, mertua, ipar, dan sebagainya.

Pernikahan adalah benteng yang dapat menekan kejalangan nafsu seksual seseorang, mendorong keinginan syahwatnya, menjaga kemaluan dan kehormatannya serta menghalanginya dari keterjerumusan ke dalam lubang-lubang maksiat dan sarang-sarang perbuatan keji.

Kita melihat bagaimana al-Qur’an membangkitkan pada diri masing-masing pasangan suami-istri suatu perasaan bahwa masing-masing mereka saling membutuhkan satu sama lain dan saling menyempurnakan kekurangan.

Sesungguhnya wanita adalah ran ting dari laki-laki dan laki-laki adalah akar bagi wanita. Karena itu, akar selalu membutuhkan ranting dan ran ting selalu membutuhkan akar.” Mengenai hal ini, Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya.” (al-A’raf:189).

Yang dimaksud dengan diri yang satu adalah Adam dan yang dimaksud istrinya adalah Hawwa. Karena itu, pernikahan menurut Islam bukan hanya sekedar menjaga keutuhan jenis manusia saja, tetapi lebih dari itu adalah menjalankan perintah Allah subhanahu wata’ala sebagaimana dalam firman-Nya, artinya,
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.”(an-Nisa`:3)

Di bawah naungan ajaran Islam, kedua pasangan suami istri menjalani hidup mereka dalam kesenyawaan dan kesatuan dalam segala hal; kesatuan perasaan, kesatuan hati dan dorongan, kesatuan cita-cita dan tujuan akhir hidup dan lain-lain.

Di antara keagungan al-Qur’an dan kesempurnaannya, kita melihat semua makna tersebut, baik yang sempat terhitung atau pun tidak, tercermin pada satu ayat al-Qur’an, yaitu:
“Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (al-Baqarah:187)

Makna Sakinah, Mawaddah dan Rahmah

Al-Qur’an telah menggambarkan hubungan insting dan perasaan di antara kedua pasangan suami-istri sebagai salah satu dari tanda-tanda kebesaran Allah dan nikmat yang tidak terhingga dari-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (ar-Rum:21)

Kecenderungan dan rasa tentram suami kepada istri dan kelengketan istri dengan suaminya merupakan hal yang bersifat fitrah dan sesuai dengan instingnya. Ayat ini merupakan pondasi kehidupan yang diliputi suasana perasaan yang demikian sejuk. Isteri ibarat tempat suami bernaung, setelah perjuangannya seharian demi mendapatkan sesuap nasi, dan mencari penghiburnya setelah dihinggapi rasa letih dan penat. Dan, pada putaran akhirnya, semua keletihannya itu ditumpahkan ke tempat bernaung ini. Ya, kepada sang istri yang harus menerimanya dengan penuh rasa suka, wajah yang ceria dan senyum. Ketika itulah, sang suami mendapatkan darinya telinga yang mendengar dengan baik, hati yang welas asih dan tutur kata yang lembut.

Profil wanita shalihah ditegaskan melalui tujuan ia diciptakan, yaitu menjadi ketentraman bagi laki-laki dengan semua makna yang tercakup dalam kata “Ketentraman (sakinah) itu. Dan, agar suatu ketentraman dikatakan layak, maka ia (wanita) harus memiliki beberapa kriteria, di antara yang terpenting; Pemiliknya merasa suka bila melihat padanya; Mampu menjaga keluarga dan hartanya; Tidak membiarkan orang yang menentang nya tinggal bersamanya.

Terkait dengan surat ar-Rûm, ayat 21 di atas, ada beberapa renungan:

Renungan Pertama. Abu al-Hasan al-Mawardy berkata mengenai makna, “Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (ar-Rum:21). Di dalam ayat ini terdapat empat pendapat:
Pertama, bahwa arti Mawaddah (rasa kasih) adalah al-Mahabbah (kecintaan) sedangkan arti Rahmah (rasa sayang) adalah asy-Syafaqah (rasa kasihan).
Ke-dua, bahwa arti Mawaddah adalah al-Jimâ’ (hubungan badan) dan Rahmah adalah al-Walad (anak).
Ke-tiga, bahwa arti Mawaddah adalah mencintai orang besar (yang lebih tua) dan Rahmah adalah welas asih terhadap anak kecil (yang lebih muda).
Ke-empat, bahwa arti keduanya adalah saling berkasih sayang di antara pasangan suami-isteri. (al-Mawardy: an-Nukat Wa al-’Uyûn)

Ibn Katsir berkata, “Di antara tanda kebesaran-Nya yang menunjukkan keagungan dan kesempurnaan kekuasaan-Nya, Dia menciptakan wanita yang menjadi pasangan kamu berasal dari jenis kamu sendiri sehingga kamu cenderung dan tenteram kepadanya. Andaikata Dia menjadikan semua Bani Adam (manusia) itu laki-laki dan menjadikan wanita dari jenis lain selain mereka, seperti bila berasal dari bangsa jin atau hewan, maka tentu tidak akan terjadi kesatuan hati di antara mereka dan pasangan (istri) mereka, bahkan sebaliknya membuat lari, bila pasangan tersebut berasal dari lain jenis. Kemudian, di antara kesempurnaan rahmat-Nya kepada Bani Adam, Dia menjadikan pasangan mereka dari jenis mereka sendiri dan menjadikan di antara sesama mereka rasa kasih (mawaddah), yakni cinta dan rasa sayang (rahmah), rasa kasihan. Sebab, bisa jadi seorang laki-laki mengikat wanita karena rasa cinta atau kasih terhadapnya hingga mendapat kan keturunan darinya atau ia (si wanita) butuh kepadanya dalam hal nafkah atau agar terjadi kedekatan hati di antara keduanya, dan lain sebagainya” (Tafsir Ibn Katsir)

Renungan ke Dua. Mari kita renungi sejenak firman-Nya, “dari jenismu sendiri.” Istri adalah manusia yang mulia di mana terjadi persamaan jenis antara dirinya dan suami, sedangkan laki-laki memiliki tingkatan Qiwâmah (kepempimpinan) atas wanita (baca: al-Baqarah:228).

Kepemimpinan suami bukan artinya bertindak otoriter dengan membungkam pendapat orang lain (istri,red). Kepemimpinannya itu ibarat rambu lalu lintas yang mengatur perjalanan tetapi tidak untuk memberhentikannya. Karena itu, kepemimpinan laki-laki tidak berarti menghilangkan peran wanita dalam berpendapat dan bantuannya di dalam membina keluarga.

Renungan ke Tiga. Rasa aman, ketenteraman dan kemantapan dapat membawa keselamatan bagi anak-anak dari setiap hal yang mengancam eksistensi mereka dan membuat mereka menyimpang serta jauh dari jalan yang lurus, sebab mereka tumbuh di dalam suatu ‘lembaga’ yang bersih, tidak terdapat kecurangan maupun campur tangan, di dalamnya telah jelas hak-hak dan arah kehidupan, masing-masing individu melakukan kewajiban nya sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.”

Kepemimpinan sudah ditentukan dan masing-masing individu sudah rela terhadap yang lainnya dengan tidak melakukan hal yang melampaui batas. Inilah makna firman-Nya dalam surat an-Nisâ`, ayat 34.

Renungan ke Empat. Masing-masing pasangan suami-isteri harus saling menghormati pendapat yang lainnya. Harus ada diskusi yang didasari oleh rasa kasih sayang tetapi sebaiknya tidak terlalu panjang dan sampai pada taraf berdebat. Sebaiknya pula salah satu mengalah terhadap pendapat yang lain apalagi bila tampak kekuatan salah satu pendapat, sebab diskusi obyektif yang diasah dengan tetesan embun rasa kasih dan cinta akan mengalahkan semua bencana demi menjaga kehidupan rumah tangga yang bahagia.

Renungan ke Lima. Rasa kasih dan sayang yang tertanam sebagai fitrah Allah subhanahu wata’ala di antara pasangan suami-isteri akan bertambah seiring dengan bertambahnya kebaikan pada keduanya. Sebaliknya, akan berkurang seiring menurunnya kebaikan pada keduanya sebab secara alamiah, jiwa mencintai orang yang memperlaku kanya dengan lembut dan selalu berbuat kebaikan untuknya. Nah, apalagi bila orang itu adalah suami atau isteri yang di antara keduanya terdapat rasa kasih dari Allah subhanahu wata’ala, tentu rasa kasih itu akan semakin bertambah dan menguat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dunia itu adalah kesenangan dan sebaik-baik kesenangannya adalah wanita shalihah.”

Renungan ke Enam. Kesan terbaik yang didapat dari rumah tangga Nabawi adalah terjaganya hak dalam hubungan suami-isteri baik semasa hidup maupun setelah mati. Hal ini dapat terlihat dari ucapan istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tercinta, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang begitu cemburu terhadap Khadijah radhiyallahu ‘anha, istri pertama beliau padahal ia sudah wafat dan belum pernah dilihatnya. Hal itu semata karena beliau sering mengingat kebaikan dan jasanya.

Semoga Allah subhanahu wata’ala menjadikan rumah tangga kaum Muslimin rumah tangga yang selalu diliputi sakinah, mawaddah dan rahmah. Dan hal ini bisa terealisasi, manakala kaum Muslimin kembali kepada ajaran Rasul mereka dan mencontoh kehidupan rumah tangga beliau.

Sumber: Tsulâtsiyyah al-Hayâh az-Zawjiyyah: as-Sakan, al-Mawaddah, ar-Rahmah karya Dr.Zaid bin Muhammad ar-Rummany. (Abu Hafshah)

 

Tambahan:

Sakiinah artinya tenang, tentram
Mawaddah artinya cinta, harapan
Rahmah artinya kasih sayang dan satu kata sambung wa yang artinya dan

Tiga kata utama tersebut sejatinya merupakan istilah khas Arab-Islam yang dirujuk dari QS. Ar-Rum ayat 21.
“Di antara tanda-tanda (kemahaan-Nya) adalah Dia telah menciptakan dari jenismu (manusia) pasangan-pasangan agar kamu memperoleh sakiinah disisinya, dan dijadikannya di antara kamu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya dalam hal yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kemahaan-Nya) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum:21)

Dalam perkembangannya, kata sakiinah diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia dengan ejaan yang disesuaikan menjadi sakinah yang berarti kedamaian, ketentraman, ketenangan, kebahagiaan.
Kata mawaddah juga sudah diadopsi ke Bahasa Indonesia menjadi mawadah yang b erarti kasih sayang. Mawaddah mengandung pengertian filosofis –> adanya dorongan batin yang kuat dalam diri sang pencinta untuk senantiasa berharap dan berusaha menghindarkan orang yang dicintainya dari segala hal yang buruk, dibenci dan menyakitinya. Mawaddah adalah kelapangan dada dan kehendak jiwa dari kehendak buruk.

Adapun kata rahmah, setelah diadopsi dalam Bahasa Indonesia ejaannya disesuaikan menjadi rahmat yang berarti kelembutanhati dan perasaan empati yang mendorong seseorang melakukan kebaikan kepada pihak lain yang patut dikasihi dan disayangi.

Karena itu, kedamaian dan kesejukan berumah tangga akan terbina dengan baik, harmonis serta penuh cinta kasih dan semangat berkorban bagi yang lain. Pada saat bersamaan jiwa dan ruh rahmah tersebut akan membingkainya dengan dekap kasih dan sapaan lembut sang Khalik.


Filed under: Seni

Tafsir Surat al-’Ashr (Wal ‘Ashri)

$
0
0

Demi masa,[1]. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,[2]. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.”[3]

Surat ini diturunkan di kota Mekkah dan ayatnya berjumlah 3 ayat

Ath-Thabarany meriwayatkan di dalam al-Mu’jam al-Awsath (no.5097) dengan sanadnya dari ‘Abdullah bin Hishn, dia berkata, “Ada dua orang shahabat Rasulullah SAW., yang bila saling bertemu, tidak berpisah kecuali salah satunya membacakan kepada yang lainnya surat al-‘Ashr hingga selesai, kemudian masing-masing saling memberi salam.”
Imam asy-Syâfi’iy berkata, “Andaikata manusia hanya mentadabburi (merenungi) surat ini saja, tentu sudah cukup bagi mereka.”

Kosa Kata

Kata وَالْعَصْرِ : Huruf Wâw tersebut adalah Wâw al-Qasam (huruf yang bermuatan sumpah)
Sedangkan kata al-‘Ashr artinya masa dimana terjadinya gerak-gerik manusia.

Kata اْلإِنسَان : maksudnya adalah semua individu manusia

Kalimat إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ :
Allah Ta’ala menjelaskan bahwa semua manusia berada dalam kerugian total kecuali orang yang memiliki empat kualifikasi yaitu iman, amal shalih, nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.

Jadi mereka mengoleksi antara pembenaran dan iman terhadap hal yang diperintahkan Allah agar beriman dengannya. Namun, iman tidak akan dapat terealisasi tanpa keberadaan ilmu yang merupakan cabang darinya dimana hanya bisa terlengkapi dengannya.

Sedangkan amal shalih mencakup semua perbuatan baik, yang zhahir maupun bathin, wajib maupun Mustahabb (dianjurkan) yang terkait dengan hak-hak Allah dan hak makhluk-Nya.

Kalimat وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ : mereka saling nasehat-menasehati, berjanji, mewasiatkan satu sama lain, menggalakkan dan mensugesti untuk selalu beriman dan beramal shalih.

Kalimat وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ : mereka saling berwasiat satu sama lain agar bersabar berikut dengan semua jenis-jenisnya, yaitu: sabar di dalam berbuat keta’atan kepada Allah, sabar untuk tidak berbuat maksiat kepada-Nya dan sabar terhadap takdir-takdir Allah yang tidak mengenakkannya.

Di dalam surat yang agung ini jelaslah bahwa semua manusia berada dalam kerugian kecuali orang yang memiliki empat kualifikasi, yaitu iman, amal shalih, nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.

Dengan dua hal pertama (iman dan amal shalih), seorang hamba dapat melengkapi dirinya sendiri sedangkan dengan dua hal berikutnya dia dapat melengkapi orang lain dan dengan melengkapi keempat-empatnya, maka jadilah seorang hamba orang yang terhindar dari kerugian dengan meraih keuntungan yang besar. Inilah yang tentunya akan selalu diupayakan oleh seorang insan yang berakal di dalam kehidupannya.

Pesan Moral Surat Ini

1. Bahwa Allah berhak untuk bersumpah dengan makhluk-Nya mana saja yang dikehendaki-Nya sedangkan seorang hamba tidak boleh bersumpah selain dengan (atas nama) Khaliqnya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW., “Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah melakukan kekufuran atau berbuat kesyirikan.”

2. Semua manusia berada dalam kerugian kecuali orang yang memiliki empat kualifikasi, yaitu iman, amal shalih, nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.

3. Iman semata yang hampa dari amal, tidak akan berguna bagi pemiliknya.

4. Keutamaan berdakwah kepada Allah Ta’ala dan saling nasehat-menasehati.

5. Keutamaan sabar dengan semua jenis-jenisnya, khususnya terhadap hal yang dialami oleh seorang Muslim sebagai resiko yang harus dihadapinya di dalam berdakwah kepada Rabbnya, baik berupa perkataan, tindakan secara fisik, terhadap hartanya ataupun anaknya.

(SUMBER: Silsilah Manâhij Dawrât asy-Syar’iyyah- at-Tafsîr- Fi`ah an-Nâsyi`ah oleh Dr.Ibrâhim al-Huwaimil, h.47-49)


Filed under: Seni

Panduan Sholat Tarawih

$
0
0

Dari Aisyah bahwa Rasulullah s.a.w. pada suatu malam (di bulan Ramadhan) mendirikan sholat, lalu datang orang-orang pada berikutnya (ingin sholat bersama beliau). Kemudian datanglah malah ketiga atau keempat dan orang-orang pun sudah berdatangan, namun beliau tidak keluar. Saat pagi datang beliau bersabda:”Aku telah melihat yang kalian lakukan, dan aku tidak keluar karena aku takut sholat itu nantinya diwajibkan kepada kalian”. (H.R. Muslim).

Dari Abdurrahman bin al-Qari berkata” suatu malam di bulan Ramadhan aku berjalan bersama Umar bin Khattab melihat-lihat masjid, lalu beliau melihat orang-orang berbeda-beda dalam mendirikan sholat (sunnah), sebagian sholat sendiri, sebagian sholat bersama kelompok kecil. Lalu Umar berkata: “Aku melihat seandainya mereka dikumpulkan di belakang satu qari (pembaca Qur’an) tentu lebih baik. Lalu beliau menganjurkan agar semua sholat di belakang Ubay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar bersama Umar pada malam lain dan orang-orang sudah sholat berjamaah di belakang imam satu, lalu Umar berkata:”Inilah sebaik-baik bid’ah, dan sholat yang mereka tinggalkan untuk tidur tetap lebih baik dibandingkan dengan sholat yang mereka dirikan” (maksudnya sholat malam di akhir malam lebih utama dibandingkan dengan sholat di awal waktunya). R. Bukhari dan Muslim.

Hadist di atas merupakan salah satu dalil sholat tarawih. Tarawih merupakan kata plural dari raahah yang artinya istirahat. Konon disebut sholat tarawih karena pada saat umat Islam melaksanakan sholat tersebut secara berjamaah, mereka malakukan istirahat setiap dua kali salam. Sholat tarawih hukumnya sunnah muakkadah pada malam bulan suci Ramadhan.

Ibnu hajar menjelaskan, hadist-hadist sahih di atas tidak menjelaskan jumlah rakaat sholat tarawih, yakni berapa rakaat sholat tarawih berjamaah yang diimami Ubay bin Ka’ab? Riwayat berbeda-beda tentang itu. Imam Malik dalam Muwatta’ meriwayatkan 11 rakaat. Riwayat lain mengatakan setiap rakaat membaca 200 ayat sehingga para sahabat ada yang berpegangan tongkat karena panjangnya sholat. Riwayat Muhamad Yusuf mengatakan 13 rakaat. Riwayat Saib bib Yazid mengatakan 20 rakaat. Riwayat lain dari Abu Yusuf mengarakan 21 rakaat. Yazin bin Ruman mengatakan:”Orang-orang mendirikan sholat pada zaman Umar sebanyak 23 rakaat. Riwayat Dawud bin Qais mengatakan: Aku melihat orang-orang pada masa Aban dan Utsman dan Umar bin Adbul Aziz melaksanakan sholat tarawih sebanyak 36 rakaat dan melakukan witir 3 rakaat. Inilah yang menjadi salah satu pendapat imam Malik. Riwayat dari Syafi’I mengatakan:”Aku melihat orang-orang sholat Tarawih di Madina sebanyak 39 rakaat dan di Makkah 23 rakaat. Tirmidzi mengatakan bahwa riayat paling banyak tentang rakaat tarawih adalah 41 rakaat termasuk witir.

Pendapat Empat Madzhab:

Madzhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali melaksanakan shoalt Tarawih dengan 20 rakaat. Imam Nawawi dalam al-Majmu’ menjelaskan bahwa landasan yang digunakan adalah riwayat sahih dari Saib bin Yazid yang mengatakan bahwa sholat Tarawih pada zaman Umar r.a. dilaksanakan 20 rakaat. Madzhab Maliki melaksanakan sebanyak 39 rakaat sesuai riwayat ahli Madinah. Sebagaimana diketahui madzhab Maliki menganggap tindakan ahli Madinah merupakan dalil yang bisa dijadikan landasan.

Pelaksanaan sholat tarawih di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi saat ini tetap mengacu kepada pendapat madzhab resmi pemerintah Saudi Arabia, yaitu Hanbali dengan pelaksanaan sebanyak 20 rakaat. Namun pada malam ke-20 Ramadhan hingga akhir bulan, di kedua masjid agung tersebut juga dilaksanakan sholat qiyamullail sebanyak 10 rakaat dimulai sekitar pukul 12 malam hingga menjelang sahur. Dengan jumlah solatnya sebanyak 30 rakaat plus 3 rakaat witir. Pelaksanaan sholat qiyamullail ini tidak jauh berbeda dengan tarawih, hanya ayat yang dibaca lebih panjang sehingga masa sholat juga lebih lama.

Mengacu pada Sholat Malam Rasulullah

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa pelaksanaan sholat tarawih adalah mengacu pada sholat malam Rasulullah. Pendapat ini diikuti beberapa ulama mutaakhiriin (Ulama Kurun Terakhir). Jumlah rakaat shalat malam yang dilakukan Rasulullah adalah sebagai berikut :

1. 11 rakaat terdiri dari 4 rokaat x 2 + 3 rakaat witir. Ini sesuai dengan hadist A’isyah yang diriwayatkan Bukhari.

2. 11 rakaat terdiri dari 4 rokaat x 2 + 2 rakaat witir + 1 witir. Ini sesuai dengan hadist Ai’syah riwayat Muslim.

3. 11 rakaat terdiri dari 2 rokaat x 4 & 2 rakaat witir + 1 witir. Ini juga diriwayatkan oleh Muslim.

4. Ada juga riwayat Ibnu Hibban yang mengatakan 8 rakaat + witir.

5. Ada juga riwayat yang mengatakan 13 rakaat termasuk witir.

Itulah riwayat dan pendapat seputar rakaat sholat Tarawih. Ini masalah furu’iyah yang sudah lama dikaji oleh para ulama terdahulu. Mau melakukan yang mana, silahkan memilih sesuai keyakinan masing-masing. Tidak masanya lagi kita mempermasalahkan berapa rakaat sholat tarawih yang sebaiknya kita laksanakan.,apalagi mengklaim paling benar. Semua pendapat ada dalilnya. Yang terpenting adalah kualitas ibadah kita dan niat baik memeriahkan bulan Ramadhan. Allah Maha Bijaksana dalam menilai ibadah kita masing-masing

Etika Sholat Tarawih

1. Berjamaah di masjid, disunnahkan untuk semua kalangan laki-laki dan perempuan. Bagi kaum lelaki disunnahkan menggunakan pakaian yang rapi dan bersih ketika ke masjid, sambil memakai wangi-wangian. Kaum perempuan sebaiknya juga menggunakan pakaian yang rapi, menutupi aurat (aurat wanita di luar rumah adalah hanya muka dan telapak tangan yang boleh kelihatan), berjilbab, tidak menggunakan wangi-wangian dan make up. Kaum perempuan juga menjaga suara dan tindakan agar sesuai dengan etika Islami selama berangkat ke masjid dan di dalam masjid.

2. Membawa mushaf atau al-Qur’an, atau HP yang dilengkapi program al-Qur’an sehingga selama mengisi waktu kosong di Masjid bisa dimanfaatkan untuk membaca al-Qur’an.

3. Sebaiknya mengikuti tata cara sholat tarawih sesuai yang dilakukan imam. Kalau imam sholat 8 rakaat + 3 rakaat witir, makmum mengikuti itu. Bila ia ingin menambahi jumlah rakaat, sebaiknya dilakukan di rumah. Kalau imam melaksanakan sholat 20 rakaat maka sebaiknya mengikutinya. Bila ia ingin hanya melaksanakan 8 rakaat, maka hendaknya ia undur diri dari jamaah dengan tenang agar tidak mengganggu jamaah yang masih melanjutkan sholat tarawih. Ia bisa langsung pulang atau menunggu di masjid sambil membaca al-Qur’an dengan lirih dan tidak mengganggu jamaah yang sedang sholat.

4. Bagi yang berniat untuk sholat malam (tahajud) dan yakin akan bangun malam, sebaiknya undur diri dengan tenang (agar tidak mengganggu yang masih sholat witir) pada saat imam mulai melaksanakan sholat witir. Malam harinya ia bisa melaksanakan sholat witir setelah tahajud. Bagi yang tidak yakin bisa bangun malam untuk sholat malam (tahajud), maka ia sebaiknya mengikuti imam melaksanakan sholat witir dan malam harinya dia masih disunnahkan melaksanakan sholat malam (tahajud) dengan tanpa melaksanakan witir.

Dalam melaksanakan salat tarawih juga disunnahkan duduk sebentar setelah salam, pada setiap rakaat keempat. Inilah mengapa disebut tarawih yang artinya “istirahat”, karena ‘mushali’ duduk sebentar beristirahat setiap empat rakaat. Tidak ada bacaan khusus selama duduk tersebut, namun disunnahkan memperbanyak berzikir. Istilah tarawih sendiri belum ada pada zaman Nabi saw. Pada saat itu salat tarawih hanya disebut dengaan salat malam atau salat ‘qiyam al lail’.

Salat tahajjud adalah salat malam yang dilaksanakan setelah tidur. Apabila salat tarawih dilaksanakan setelah tidur maka ini juga termasuk salat tahajjud.

Disunnahkan juga dalam salat tarawih untuk mengeraskan suara ketika membaca Fatihah dan surah.

 

Tambahan:

KUPAS TUNTAS TENTANG PERMASALAHAN SHALAT TARAWIH

“Kritik terhadap Pelaksanaan 4 Rakaat Sekali Salam dalam Shalat Tarawih”

Oleh: H. Rizki Zulqornain al-Batawiy MA

Daftar Isi:

A. KATA PENGANTAR
1. Hadratus Syaikh Abuya KH. Saifuddin Amsir (Pendiri Pondok Pesantren al-Asyirah al-Quraniyah Jakarta)
2. Hadratus Syaikh KH. Maulana Kamal Yusuf
B. PRAKATA PENYUSUN
C. KRITIK TERHADAP PELAKSANAAN 4 RAKAAT SEKALI SALAM DALAM SHALAT TARAWIH
1. Pendahuluan
2. Pengertian Tarawih Secara Etimologi
3. Pengertian Tarawih Secara Terminologi
4. Hukum Shalat Tarawih
5. Waktu shalat Tarawih
6. Hikmah Shalat Tarawih
7. Keutamaan Shalat Tarawih
8. Jumlah Rakaat dan Tata Cara Mengerjakan Shalat Tarawih
D. MENYINGKAP BENCANA
E. NIAT PUASA RAMADHAN
1. Niat Puasa Fardhu
2. Niat Puasa Sunnah
3. Tahqiq Lafadz Niat Puasa Ramadhan
F. DAFTAR PUSTAKA

A. KATA PENGANTAR

1. Hadratus Syaikh Abuya KH. Saifuddin Amsir (Pendiri Pondok Pesantren al-Asyirah al-Quraniyah Jakarta)

Banyak orang mengerjakan shalat Tarawih dengan cara 4 rakaat sekali salam, dengan dalil hadits Siti ‘Aisyah sebagai berikut: “Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam (sepanjang tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat. Kemudian aku bertanya: “Ya Rasulullah apakah Engkau tidur sebelum shalat Witir?” Kemudian beliau menjawab: “’Aisyah, meskipun kedua mataku tidur, hatiku tidaklah tidur.”

Hadits yang dijadikan dalil, bukan hadits tentang shalat Tarawih. Hadits tersebut adalah hadits pada pekerjaan shalat malam Rasulullah pada umumnya, yakni shalat Witir. Karenanya para Fuqaha (ahli Fiqh) tidak menyetujui untuk menjadikan hadits tersebut sebagai dalil shalat Tarawih. Dengan alasan shalat Tarawih merupakan ibadah khusus yang hanya dilakukan pada bulan Ramadhan, dan jumlah bilangan shalat Tarawih 20 rakaat ditambah shalat Witir 3 rakaat, telah disosialisasikan oleh para sahabat, dalam hal ini adalah Sayidina Umar Ibn Khatthab yang disepakati dan disetujui oleh para sahabat lainnya. Lantaran pada umumnya para Imam tidak mempunyai kemampuan untuk mengingkari apa yang menjadi perintah Rasulullah Saw.: “Hendaklah kalian ikuti sunnahku dan sunnah para Khalifah yang mendapat petunjuk setelahku, peganglah dengan kuat dan gigitlah olehmu dengan geraham.” (HR. Imam Ahmad, Abu Daud, Ibn Majah, at-Tirmidziy, al-Hakim dan al-Bayhaqiy).

Pelanggaran terhadap yang disepakati para sahabat merupakan pelanggaran terhadap agama. Sehingga dalam Madzhab Syafi’i, kalau shalat Tarawih dikerjakan bukan dengan cara 2 rakaat, 2 rakaat, shalat Tarawih tersebut dipandang batal/tidak sah.

Oleh sebab itu, shalat qiyam Ramadhan yang lebih populer di kota Makkah, Madinah dan berbagai negara Islam juga tidak berani beranjak dari situ, paling-paling sedikit penambahan dari jumlah rakaat yang dilaksanakan di zaman Sayidina Umar Ibn Khatthab itu 23 rakaat, tetapi orang yang ingin memperbanyak ibadah tidak ada salahnya menambah rakaat. Jadi pada zaman dahulu inisiatif penduduk kota Madinah untuk menambahkan jumlah rakaat, merupakan pengganti tradisi penduduk kota Makkah yang biasanya setelah tiap 4 rakaat (2 salam) mereka melakukan tawaf, karena memang ada Ka’bah di situ. Sedangkan di Madinah tidak terdapat tempat untuk bertawaf, sehingga menjadi kuat dalil bahwa sahabat-sahabat Nabi di Makkah itu bertawaf pada bilangan-bilangan tertentu, yakni setelah 4 rakaat mereka bertawaf.

Hal ini diperkuat dalilnya dengan amaliyah penduduk kota Madinah, khususnya pada pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz yang menambahkan jumlah rakaat shalat Tarawih menjadi 36 rakaat di luar shalat Witir. Hal ini bukan dalil yang mengatakan khilaf-khilafnya, tetapi justru memperkuat bahwa itulah yang terjadi di zaman para sahabat, karena Rasulullah tidak membatasi jumlah rakaat shalat Tarawih, para sahabat yang lebih mengatur itu dan memiliki concern (perhatian) terhadap hal tersebut.

Untuk mencegah terjadinya kekacauan yang berkepanjangan di dunia Islam, Sayidina Umar Ibn Khatthab memikirkan jumlah-jumlah rakaat shalat sunah yang dilakukan Rasulullah, jadi hal tersebut sudah dipikirkan oleh Sayidina Umar Ibn Khatthab secara Taftisy (matang dan teliti) dengan ketepatan jumlah rakaat yang dilakukan Rasulullah, ketika dihitung hadits-hadits yang membicarakan tentang jumlah rakaat shalat sunah Rasulullah, ketika digabung-gabung, tepat 20 rakaat, dari keterangan hadits yang dzahir-dzahir. Apa yang dilakukan oleh Sayidina Umar Ibn Khatthab tidak beranjak dari apa yang dikerjakan Rasulullah. Hal ini menjadi sunnah sahabat. Sunnah sahabat tidak boleh dianggap remeh, ulama berpendapat seperti itu. Kalau sunnah sahabat mulai dikorbankan untuk perasaan, maka lambat laun apa saja bisa dikorbankan. Ini yang menyebabkan shalat Tarawih yang dilakukan sebanyak 20 rakaat dilakukan dengan 2 rakaat, 2 rakaat, 2 rakaat dan seterusnya ditutup dengan shalat Witir 3 rakaat dapat berusia panjang dan sampai saat ini masih dilaksanakan.

Dalam kitab yang pernah saya suruh para jamaah, untuk mengcopynya karya Syaikh Athiyyah Muhammad Salim, seorang Qadhi Mahkamah Syariah, ahli hadits dan pakar fiqh di Madinah; Saudi Arabia, juga merupakan salah seorang murid utama seorang raksasa ilmu di zamannya yaitu Syaikh Muhammad al-Amin Ibn Muhammad Mukhtar asy-Syinqithiy (w. 1393 H). Syaikh Athiyyah Muhammad Salim, memiliki perhatian khusus tentang dalil shalat Tarawih. Hal ini harus diperhatikan, sebab sekarang orang tidak lagi mau mentahqiq (mengkaji ulang) soal dalil, orang sudah begitu sibuk dengan berbagai kesibukan. Jadi, di luar kota Makkah ada juga yang mengerjakan shalat Tarawih 11 rakaat, dengan alasan, itulah hadits yang dzahir dari Rasulullah. Hanya saja, hal ini akan menimbulkan pertanyaan pertanyaan tentang bagaimana mengikuti para sahabat Rasulullah yang sebenarnya. Karena jika shalat Tarawih 11 rakaat yang paling benar, tentunya 3 abad setelah Rasulullah, shalat Tarawih 11 rakaat dengan berjamaah itu sudah menjadi populer. Padahal kenyataannya shalat 11 rakaat populer baru belakangan ini. Shalat Tarawih 20 rakaat yang lebih populer, setelah Sayidina Umar Ibn Khattab wafat, Sayidina Utsman melanjutkan shalat Tarawih 20 rakaat, demikian pula dengan Sayidina Ali, mengerjakan shalat Tarawih seperti yang disepakati oleh para sahabat dan tidak ada riwayat yang dzahir yang menyatakan bahwa Sayidina Ali menentang shalat Tarawih 20 rakaat. Ini yang menyebabkan shalat Tarawih 20 rakaat tetap bertahan.

Dalam sekian banyak riwayat, kita temukan riwayat yang menjelaskan tambahan rakaat shalat Tarawih dari 20 rakaat, tetapi kita tidak menemukan riwayat shalat Tarawih yang kurang dari 20 rakaat. Kalaupun ada akan mengkhilafkan mayoritas umat Islam yang begitu banyaknya. Menurut Madzhab Syafi’i, shalat Tarawih yang dikerjakan dengan cara 4 rakaat sekali salam hukumnya dikatakan tidak sah dengan beberapa alasan. Tetapi yang jelas alasan-alasan tersebut merupakan ittiba’ (mengikuti) kepada Rasulullah dan para sahabat yang tidak boleh diganggu oleh kreasi baru, jika ada kreasi baru, maka kreasi tersebut tidak akan jelas namanya. Karena istilah Tarawih telah jelas kita pahami, seperti yang kita ketahui saat ini, Tarawih adalah shalat sunnah yang hanya ada pada bulan Ramadhan dikerjakan dengan 20 rakaat terdiri dari 10 salam, dikerjakan dengan salam pada tiap 2 rakaatnya dan tiap 4 rakaat disebut 1 tarwihah (istirahat).

Penduduk Makkah mengerjakan tawaf pada tiap selesai satu tarwihah. Pelaksanaannya di awal malam disertai adanya pendapat mengerjakan shalat Tarawih di akhir malam itu lebih utama. Jadi, penamaan akan membentuk satu istilah, kalau sudah ada istilah, maka definisinya akan menjadi jelas, karenanya orang yang mengerjakan shalat 4 rakaat dengan sekali salam dengan niat shalat Tarawih, maka hukum shalat Tarawihnya tidak sah. Jika shalat tersebut tidak dinamakan shalat Tarawih, maka sah-sah saja dilakukan. Apa yang dilafadzkan dan dikerjakan oleh Rasulullah seharusnya dijadikan pilihan terbaik. Hadits bukan hadits yang tidak kuat. Sedangkan shalat dengan 4,4,3 cuma merupakan salah satu riwayat dari sekian banyak riwayat shalat malam Rasulullah, yang pernah dilihat oleh Siti Aisyah dan hal tersebut dipertimbangkan oleh para ulama, lantaran Siti Aisyah merupakan istri Rasulullah. Jadi, sesuatu yang Rasulullah sebutkan merupakan anjurannya dan keduanya boleh berjalan. Tetapi mayoritas ulama menganggap shalat malam yang dikerjakan dengan cara 2 rakaat, 2 rakaat adalah yang lebih baik kita ambil. Karena merupakan anjuran Rasulullah yang didasarkan kepada perkataan dan perbuatan Rasulullah. Sedangkan hadis 4,4,3 hanya berdasarkan perbuatan yang diceritakan oleh Siti Aisyah dalam salah satu riwayatnya.

Untuk memahami kandungan hadits-hadits Rasulullah dengan baik dan benar, seseorang bukan hanya dituntut banyak membaca hadits tetapi juga ia harus mendalami fiqhul hadis (pemahaman hadis). Dalam risalah ini menjelaskan pemaparan tentang perkara-perkara terpenting dalam shalat Tarawih secara sederhana. Dengan demikian risalah ini menjadi tulisan yang dapat dihayati dan sangat layak dibaca oleh siapa saja yang ingin memahami secara benar dan mau menyelamatkan perkara ibadahnya.

Semoga Allah melimpahkan pahala yang besar kepada penyusun risalah ini atas usahanya, mudah-mudahan Allah memperbanyak orang-orang yang mau mengikuti langkah-langkah mulia ini dalam berpegang teguh kepada kebenaran. Amin.

2. Hadratus Syaikh KH. Maulana Kamal Yusuf

Tuduhan Bid’ah, kufur, musyrik, dan sesat sangat sering dilontarkan oleh sekelompok orang dengan mengatasnamakan Sunnah. Kelompok ini giat menyebarkan buku-buku, selebaran-selebaran, dan kitab-kitab yang berisi tuduhan keji terhadap pelbagai persoalan keagamaan masyarakat seperti: Nishfu Sya’ban, Tahlilan, Haul, Maulid, Tawassulan, Ziarah para wali dan lain-lain. Padahal kalau diteliti secara mendalam, amal ibadah maupun muamalah yang berkembang dan berurat akar dalam tradisi masyarakat itu memiliki landasan kokoh dari al-Qur’an, Hadits dan pendapat para ulama yang dapat dipertanggungjawabkan.

Mereka tidak memahami al-Qur’an dan hadits secara syamil (menyeluruh). Pandangan mereka sempit, sehingga mereka gampang mengatakan musyrik, kafir, memvonis bid’ah sesat terhadap praktek/amaliah orang lain yang memiliki dasar dan argumentasi kuat yang juga telah menjadi tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah. Rasulullah Saw. mengatakan dalam sabdanya: “Apabila seseorang memanggil saudaranya yang muslim dengan kalimat “Wahai Kafir maka akan kembali kalimat itu kepada salah satu dari keduanya.”

Pernyataan mereka dalam buku-buku atau kitab-kitab yang banyak beredar sangat berbahaya khususnya bila dibaca oleh orang-orang awam. Karena faktor ketidaktahuan, mereka yang awam menerima langsung atau menelan mentah-mentah isi buku/kitab tersebut tanpa mencoba untuk menelaah lebih lanjut isu-isu negatif yang telah disebarkan di dalamnya. Keadaan orang-orang awam ketika itu bagaikan orang yang makan ikan tanpa menyiangi (membersihkan sisik, kotoran dan duri ikan) terlebih dahulu yang menyebabkan dirinya bukan hanya ketulangan tapi lebih dari itu, ia akan tersendat, orang Betawi bilang dengan istilah “kesungkakan.”

Diantara tuduhan keji yang mereka katakan bahwa: ”Shalat Tarawih yang dikerjakan para sahabat dengan 20 rakaat dalilnya lemah dan termasuk bid’ah sesat.” Menurut mereka jumlah rakaat shalat Tarawih itu hanya 11 rakaat, shalat Tarawih yang lebih dari 11 rakaat adalah bid’ah sesat. Mereka berani menganggap shalat Tarawih 20 rakaat sebagai hadits lemah dan bid’ah sesat beralasan dengan hadits Siti Aisyah yang menurut mereka telah memberikan sinyal bahwa shalat Tarawih hanya 11 rakaat.”

Hadits yang dijadikan dasar bagi mereka adalah hadits riwayat Siti ‘Aisyah berikut ini: “Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam (sepanjang tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat. Kemudian aku bertanya: ”Ya Rasulullah apakah Engkau tidur sebelum shalat Witir?” Kemudian beliau menjawab: ”’Aisyah, meskipun kedua mataku tidur, hatiku tidaklah tidur.”

Perlu diketahui bahwa hadits Siti Aisyah di atas merupakan hadits yang menyatakan dalil shalat Witir, bukan dalil shalat Tarawih. Apabila hadits Aisyah di atas sebagai dalil shalat Tarawih, maka kita pantas mempertanyakan adakah shalat Tarawih selain di bulan Ramadhan? dan mengapa Sayidina Umar Ibn Khatthab dan para sahabat mengerjakan shalat Tarawih dengan 20 rakaat? Dari perkataan Siti Aisyah: ”Pada bulan Ramadhan dan di selain Ramadhan”, jelas sekali kita dapat memahami bahwa shalat yang Siti Aisyah lihat adalah shalat malam Rasulullah yang beliau kerjakan sepanjang tahun baik pada bulan Ramadhan dan di bulan lainnya. Oleh karenanya, sangat tepat 11 rakaat dalam hadits tersebut adalah dalil shalat Witir, bukan sebagai dalil shalat Tarawih. Karena shalat Witir ada di bulan Ramadhan dan di bulan lainnya. Sedangkan shalat Tarawih hanya khusus pada bulan Ramadhan dikerjakan dengan 2 rakat, 2 rakaat (tiap 2 rakaat salam). Berbeda dengan pelaksanaan shalat Witir yang boleh dikerjakan lebih dari 2 rakaat pada setiap salamnya.

Namun demikian, menurut para ulama maksud dari 4 rakaat dalam hadits Siti A’isyah di atas, masih memiliki ihtimal (kemungkinan) bahwa Rasulullah melakukannya 4 rakaat dengan 1 salam, bisa juga dipahami 4 rakaat beliau kerjakan dengan 2 salam yakni 2 rakaat, 2 rakaat. Tetapi bila 4 rakaat dilakukan dengan cara 2 rakat, 2 rakaat, pendapat inilah yang lebih selamat dan bisa dipertanggungjawabkan. Sebagaimana ada keterangan hadits shahih yang mengatakan shalat malam itu dilakukan dengan cara 2 rakaat, 2 rakaat. Ada kaidah mengatakan:“Apabila terjadi kemungkinan-kemungkinan maka hal itu menyebabkan gugurnya Istidlal (menjadikan dalil)”. Maksudnya adalah pendapat yang memahami 4 rakaat dikerjakan dengan sekali salam itu tidak bisa dijadikan dalil, karena pendapat itu hanya sebuah kemungkinan. Sesuatu yang mengandung kemungkinan dinyatakan gugur manakala ada dalil yang lebih jelas. Hadits Nabi yang menyatakan shalat malam dilakukan dengan 2 rakaat, 2 rakaat sangat cocok untuk mengkompromikan dan memahami hadits Siti A’isyah tersebut. Dalam redaksi lain dikatakan: “Apabila beberapa kemungkinan itu saling bertentangan maka gugurlah istidlal tersebut.” (Lihat Muhammad ibn Abdullah az-Zarkasyiy, al-Bahr al-Muhith fi al-Ushul, juz 3 halaman 452).

Saya berharap agar kaum muslimin dapat membaca risalah ini secara tuntas. Disamping itu juga harus banyak mengkaji serta bertanya kepada para ulama yang memiliki ilmu yang syamil (menyeluruh). Sehingga tidak gampang terkecoh dan terprovokasi (terhasut) oleh tulisan-tulisan atau pendapat sekelompok orang yang menyalahkan praktek/amaliah yang selama ini dilakukan oleh masyarakat berdasarkan tuntunan ulama. Shalat Tarawih 20 rakaat dengan 10 salam memiliki dalil yang kuat dan jelas. Jangan terkecoh dengan pendapat orang yang mengatakan shalat Tarawih hanya 8 rakaat dikerjakan dengan 4 rakaat, 4 rakaat sekali salam dengan berdalil hadits riwayat Siti Aisyah.

Menurut para ulama, hadis tersebut berbicara tentang dalil shalat Witir Rasulullah, bukan dalil shalat Tarawih. 11 rakaat adalah jumlah maksimal shalat Witir. Sedangkan minimal shalat Witir adalah satu rakaat. Betapa batilnya tuduhan-tuduhan orang yang tidak menyetujui shalat Tarawih 20 rakaat dengan menggunakan dalil, satu hadits Siti Aisyah yang menerangkan satu paket shalat Witir, mereka pecah menjadi dua dalil sekaligus, 8 rakaat untuk shalat Tarawih dan 3 rakaat untuk shalat Witir. Semoga kelompok yang tidak suka dengan shalat Tarawih 20 rakaat dapat merenungkan hal ini.

Saya sangat menyambut baik dan gembira atas terbitnya risalah ini yang disusun oleh orang yang memiliki ilmu dan menimba ilmu dengan bertemu langsung kepada para Masyaikh (guru) serta mempunyai kerajinan yang luar biasa dalam mengumpulkan literatur pembahasan yang ia tekuni. Kajian di dalamnya sangat dibutuhkan umat yang selalu ingin berjalan di jalan yang benar dalam memahami shalat Tarawih. Semoga penulis diberikan balasan yang berlanjut atas jerih payahnya mengukir karya berharga ini, dan mudah-mudahan banyak manfaat fiddunya wal akhirah. Amin.

B. PRAKATA PENYUSUN

Tulisan ini, tidak cukup representatif (tepat) untuk dikatakan sebagai sebuah karangan, apalagi disebut sebagai ijtihad dari penulis. Yang penulis lakukan dalam tulisan ini hanyalah mengumpulkan, mengutip, menyusun dan menghimpun berbagai pendapat para ulama Mu’tabar (pendapatnya dapat dipertanggungjawabkan) yang bertebaran dalam karya-karya mereka.

Risalah sederhana ini, merupakan buah dari keberkahan ilmu para guru kami. Kami mengumpulkan risalah sederhana ini sebagai ilmu dasar untuk memahami ibadah shalat qiyam Ramadhan sesuai dengan tuntunan Rasulullah yang diamalkan oleh para Sahabat dan para Salafus Shalih (ulama terdahulu). Risalah ini, penulis telah usahakan pentahqikannya (kajian ulang) kepada para guru kami diantaranya adalah: Allah Yarhamuh Hadratus Syaikh Muallim KH. Muhammad Syafi’i Hadzami, Abuya KH. Saifuddin Amsir, KH. Maulana Kamal Yusuf, KH. Shalih Rahmani Tegal Parang, KH. Mahfudz Asirun, KH. Abdul Jawad Dasuki Pangkalan Jati, KH. Ahmad Syafi’i Abdul Hamid, KH. Ahmad Hifdzillah Badruddin. Mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan umur panjang, sehat Afiat, serta keberkahan dan perhatian beliau-beliau yang luar biasa kepada penulis, Allah akan balas dengan tumpukan-tumpukan kebaikan di dunia dan akhirat. Aamiin

(H. Rizki Zulkarnain Asmat, MA)

C. KRITIK TERHADAP PELAKSANAAN 4 RAKAAT SEKALI SALAM DALAM SHALAT TARAWIH

1. Pendahuluan

Bulan Ramadhan adalah salah satu dari dua belas bulan yang ada sebagai bulan istimewa, penuh berkah, rahmat dan ampunan. Yakni, bulan Ramadhan memiliki beberapa keistimewaan yang luar biasa dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya, diantaranya adalah sebagai bulan dimana al-Quran diturunkan, juga bulan yang di dalamnya terdapat Lailatul Qadr. Selain di dalamnya terkandung nilai-nilai ubudiyyah yang bersifat uhkrawi, juga mengandung nilai-nilai hidup duniawi. Banyak hikmah yang bisa kita raih pada bulan tersebut, yang semuanya mengarah kepada peningkatan makna kehidupan, peningkatan nilai diri, spritual dan pensucian jiwa. Oleh sebab itu, Rasulullah menganjurkan umatnya untuk meningkatkan dan memperbanyak ibadah untuk bertaqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah) dalam menyambutnya. Diantara kegiatan keagamaan yang umumnya dilakukan umat Islam pada bulan Ramadhan adalah qiyam Ramadhan, atau yang biasa disebut dengan shalat Tarawih.

Sesungguhnya masalah shalat Tarawih adalah masalah yang sudah tuntas dan sudah selesai dibahas oleh para ulama pada masa klasik. Akan tetapi ada gejala atau fenomena yang mengkhawatirkan serta mengejutkan karena muncul sebagian kelompok yang membid’ahkan dan menyalahkan pelaksanaan shalat Tarawih 20 rakaat. Mereka berpendapat bahwa shalat Tarawih itu hanya 8 rakaat dilakukan dengan 4 rakaat sekali salam, 4 rakaat sekali salam. Mereka juga mengatakan: “Manakah yang lebih afdhal mengerjakan Tarawih dengan sunnah Nabi atau mengerjakan Tarawih hasil ijtihad Umar ibn Khathab?”

Sebuah pertanyaan sederhana, yang memerlukan jawaban yang tidak sesederhana pertanyaannya, karena dikhawatirkan dengan jawaban sederhana akan menimbulkan jawaban yang justru menjerumuskan. Berawal dari sinilah, penulis mengetengahkan sebuah tulisan yang mencoba mencari haqiqat qiyam Ramadhan dari hadits Rasulullah, atsar para sahabat dan juga pendapat para ulama Salafus Shalih dengan harapan dapat mengetahui bagaimana sebenarnya shalat Tarawih itu menurut tuntunan yang diajarkan Rasulullah, bagaimanakah menurut yang diamalkan oleh para sahabat dan tabi’in, juga bagaimanakah menurut pendapat para ulama Salafus Shalih?

Dengan demikian, kita dapat mengetahui jawaban yang sebenarnya dan pada gilirannya nanti kita dapat mengamalkan shalat Tarawih dengan penuh ketenangan dan kekhusyu’an.

2. Pengertian Tarawih Secara Etimologi

Lafadz Tarawih adalah bentuk jama’ (plural) dari kata tunggal tarwîhah yang berarti istirahat. Menurut etimologi berasal dari kata murâwahah yang berarti saling menyenangkan, dengan wazan mufâ’alahnya ar-râhah yang berarti merasa senang. Term ini merupakan bentuk lawan kata dari at-ta’ab yang berarti letih atau payah.

3. Pengertian Tarawih Secara Terminologi

Shalat Tarawih adalah shalat sunnah yang khusus dilaksanakan hanya pada malam-malam bulan Ramadhan. Dinamakan Tarawih karena orang yang melaksanakan shalat sunnah di malam bulan Ramadhan beristirahat sejenak di antara dua kali salam atau setiap empat rakaat. Sebab dengan duduk tersebut, mereka beristirahat karena lamanya melakukan Qiyam Ramadhan. Bahkan, dikatakan bahwa mereka bertumpu pada tongkat karena lamanya berdiri. Dari situ kemudian, setiap empat rakaat (dengan 2 salam) disebut Tarwihah, dan semuanya disebut Tarawih.

Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafidz Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-‘Asqallâniy dalam kitab Fath al-Bâri Syarh al-Bukhâri juz 4 halaman 778: “Shalat jamaah yang dilaksanakan pada setiap malam bulan Ramadhan dinamai Tarawih karena para sahabat pertama kali melaksanakannya, beristirahat pada setiap dua kali salam.”

Shalat Tarawih disebut juga shalat Qiyam Ramadhan yaitu shalat yang bertujuan menghidupkan malam-malam bulan Ramadhan. Shalat Tarawih termasuk salah satu ibadah yang utama dan efektif guna mendekatkan diri kepada Allah. Imam Abu Zakariyyâ Yahyâ ibn Syarf an-Nawawi ad-Dimasyqiy dalam kitab al-Minhâj fi Syarh Muslim ibn Hajjâj juz 6 halaman 34 mengatakan: “Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat Tarawih.”

Maksud dari perkataan Imam an-Nawawi ad-Dimasyqiy dijelaskan oleh al-Hafidz Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-‘Asqallâniy dalam kitab Fath al-Bâri Syarh al-Bukhâri juz 4 halaman 779 sebagai berikut: “Qiyam Ramadhan dapat dilakukan dengan shalat apa saja termasuk shalat Tarawih. Namun, ini bukan berarti Qiyam Ramadhan hanya sebatas shalat Tarawih saja”. Maksud dari perkataan Imam Ibn Hajar al-‘Asqallâniy adalah shalat Tarawih itu merupakan bagian dari qiyam Ramadhan.

Pada zaman Rasulullah, istilah Tarawih belum dikenal. Rasulullah dalam hadits-haditsnya juga tidak pernah menyebut kata-kata Tarawih. Semua bentuk ibadah sunnah yang dilaksanakan pada malam hari, lebih familiar disebut Qiyam Ramadhan, tidak disebut shalat Tarawih sebagaimana banyak ditemukan dalam teks-teks hadits. Seperti sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagai berikut: “Siapa saja yang melaksanakan ibadah pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap ridha Allah, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.”
Dalam riwayat hadits shahih mengatakan shalat Qiyam Ramadhan secara berjamaah di zaman Rasulullah hanya beberapa malam saja. Beliau melaksanakan shalat Qiyam Ramadhan secara berjamaah hanya dalam 2 atau 3 kali kesempatan. Kemudian, beliau tidak melanjutkan shalat tersebut pada malam-malam berikutnya karena khawatir ia akan menjadi ibadah yang diwajibkan. Seperti yang terdapat pada keterangan hadits sebagai berikut: “Dari Siti ‘Aisyah sesungguhnya Rasulullah pada satu malam shalat di masjid, maka para sahabat mengikuti beliau shalat. Kemudian beliau shalat pada malam berikutnya, para sahabat yang ikut berjamaah menjadi semakin banyak. Selanjutnya pada malam ketiga atau keempat para sahabat berkumpul ternyata Rasullah tidak keluar menemui mereka. Keesokan harinya beliau berkata: “Aku mengetahui apa yang kalian lakukan tadi malam. Tidak ada yang menghalangiku keluar menemui kalian selain dari kekhawatiranku kalau-kalau shalat itu diwajibkan atas kalian”. Yang demikian itu terjadi di bulan Ramadhan.”

Sedangkan menurut Syaikh Muhammad ibn Ismâîl ash-Shan’âniy (w.1182 H/1768M), dalam kitab Subul as-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm juz 2 halaman 22 mengatakan: “Penamaan shalat Tarawih itu seolah-olah yang menjadi dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqiy dari Siti ‘Aisyah sebagai berikut: “Siti ‘Aisyah berkata: “Seringkali Rasulullah mengerjakan shalat 4 rakaat pada malam hari, lalu beliau yatarawwah (beristirahat) dan beliau melamakan istirahatnya hingga aku merasa iba.” Menurut Imam al-Baihaqiy, bahwa hadits ini diriwayatkan melalui sanad al-Mughirah dan ia bukan orang yang kuat. Jika hadits ini memang jelas ketetapannya, maka hadits inilah yang menjadi landasan Tarwihah (istirahat) imam pada waktu shalat Tarawih tersebut.”

Dari keterangan hadits-hadits shahih di atas, jelas bahwa tidak ada ketentuan yang baku dari Rasulullah tentang jumlah rakaat shalat Qiyam Ramadhan. Hadits-hadits shahih yang marfu’ (bersumber dari Rasulullah) tidak pernah menjelaskan berapa rakaat beliau melakukan Qiyam Ramadhan.

Kesimpulannya, dalam konteks shalat Qiyam Ramadhan tidak ada batasan yang signifikan (berarti penting) dalam bilangan rakaatnya. Semakin banyak rakaat shalat Qiyam Ramadhan yang dikerjakan, maka semakin banyak pahalanya. Sedangkan dalam konteks shalat Tarawih maksimalnya adalah 20 rakaat.

4. Hukum Shalat Tarawih

Shalat Tarawih hukumnya sunnah muakkadah (sunah yang sangat dianjurkan) bagi setiap laki-laki dan wanita yang dilaksanakan pada tiap malam bulan Ramadhan.

5. Waktu shalat Tarawih

Waktu pelaksanaan shalat Tarawih dimulai setelah shalat Isya, berakhir sampai terbit fajar. Bagi yang belum melaksanakan shalat Isya, tidak diperkenankan melakukan shalat Tarawih. Bahkan shalat Tarawihnya menjadi tidak sah. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Yusuf ibn Ibrahim al-Ardabiliy dalam kitab al-Anwar li A’mal al-Abrar juz 1 halaman 80: “Shalat Tarawih dikerjakan 20 rakaat dengan 10 salam. Seandainya seseorang shalat 4 rakaat dengan satu salam, atau ia shalat Tartawih sebelum shalat fardhu Isya maka batal shalat Tarawihnya.”

Tata cara yang afdhal dalam shalat Tarawih adalah dikerjakan setelah melakukan shalat fardu Isya dan Ba’diyah Isya. Lebih utama lagi apabila shalat Tarawih dikerjakan di akhir malam. Syaikh Umar ibn Mudzaffar ibn Wardiy (w. 749 H) mengatakan dalam Nadzamnya halaman 31 yang terkenal dengan sebutan Bahjah al-Hâwiy yang terdiri dari 5000 bait sebagai berikut: “Begitu juga (shalat yang disunahkan antara shalat fardhu Isya sampai Fajar) adalah shalat Tarawih sekira difashalkan dan dilakukan setelah shalat sunah malam (Tahajjud) itu lebih afdhal.”

6. Hikmah Shalat Tarawih

Adapun hikmah shalat Tarawih menurut Muhammad Ilyas Marwal dalam bukunya “Kritik Atas Pembid’ahan Shalat Tarawih 20 rakaat” halaman 24 ialah menguatkan, merilekskan dan menyegarkan jiwa serta raga guna melakukan ketaatan. Selain itu, untuk memudahkan pencernaan makanan setelah makan malam. Sebab, apabila setelah berbuka puasa lalu tidur, maka makanan yang ada dalam perut besarnya tidak tercerna, sehingga dapat mengganggu kesehatannya dan membuat jasmani menjadi lesu dan rusak.

Yang harus diperhatikan ada jeda yang cukup setelah makan besar, baik setelah berbuka puasa atau setelah sahur dengan tidur. Karenanya, Rasulullah menganjurkan ta’khir sahur yakni makan sahur dilakukan mendekati waktu Shubuh, agar setelah sahur langsung shalat Shubuh tidak tidur lagi. Jadi, bukan santap sahur pukul 02:00, lalu tidur lagi. Alasannya, sewaktu tidur tubuh menjadi sangat rileks, sehingga gerakan usus menjadi lambat sekali, sedangkan kita makan sampai perut penuh. Jadi, metabolism (proses perputaran) pencernaan terganggu, karena makanan terus-menerus berada di dalam usus.

Penulis teringat ungkapan ulama yang pernah disebutkan oleh orang tua kami, Abuya KH. Saifuddin Amsir ketika beliau memberikan penjelasan taqrir kitab Ta’lîm al-Muta’allim karya Syaikh Burhanuddin az-Zarnûjiy sebagai berikut: “Apabila engkau makan siang maka boleh engkau tidur setelahnya sekalipun di atas kepala kambing, dan apabila engkau makan malam maka berjalan/berkelilinglah sekalipun di atas tembok (jangan langsung tidur).”

Syaikh Ali ibn Ahmad al-Jurjâwiy (w. 1340 H/1922 M) salah seorang tokoh ulama al-Azhar Kairo, Mesir, dalam sebuah kitabnya yang bernama Hikmah at-Tasyrî’ wa Falsafatuhu juz 1 halaman 150 mengatakan: “Telah banyak doktor dari negara barat yang mengatakan bahwa umat Islam yang menjalani ibadah puasa dengan shalat-shalat yang biasa mereka kerjakan setelah shalat Isya telah membuat mereka terhindar dari aneka penyakit yang hampir membahayakan mereka. Mr. Edwar Leeny mengatakan: “Suatu hari saya diundang makan dalam acara buka puasa oleh salah seorang saudagar muslim yang sukses. Saya melihat banyak di antara mereka menyantap hidangan yang tersedia dengan lahap dan sangat banyak, sehingga saya berkeyakinan bahwa mereka pasti akan mengalami gangguan pencernaan pada perut mereka. Kemudian waktu datang waktu Isya mereka berbondong-bondong mengerjakan shalat Isya dan dilanjutkan dengan shalat Tarawih. Seketika melihat itu, saya menyimpulkan dan berkeyakinan bahwa gerakan-gerakan yang mereka lakukan di saat mengerjakan shalat sangat bermanfaat dalam mengembalikan tenaga dan semangat serta menghindari mereka dari berbagai macam penyakit yang mengancam mereka. Dari situlah saya yakin bahwa agama Islam memang benar-benar bijaksana dalam Syariatnya.”

7. Keutamaan Shalat Tarawih

Keutamaan shalat Tarawih dari malam pertama hingga malam terakhir telah disebutkan dalam salah satu hadits Nabi riwayat Sayyidina Ali dalam kitab Durrat an-Nashihin karya Syeikh Utsman ibn Hasan ibn Ahmad Syakir al-Khubuwiy ar-Rumiy al-Hanafiy halaman 19:

“Diriwayatkan dari Sayidina Ali, ia berkata: “Rasulullah ditanya tentang keutamaan shalat Tarawih pada bulan Ramadhan, beliau menjawab:
• Malam ke-1: “Keluar seorang mu’min dari dosanya seperti ia dilahirkan oleh ibunya.”
• Malam ke-2: “Diampuni baginya dan kedua orangtuanya jika keduanya beriman.”
• Malam ke-3: “Malaikat berseru kepada makhluk yang berada di bawah Arsy: “Mulailah kalian beramal, Allah akan menganpuni dosa-dosamu yang terdahulu.”
• Malam ke-4: “Baginya dari bagian pahala seperti membaca kitab Taurat, Injil, Zabur dan al-Qur’an.”
• Malam ke-5: “Allah berikan pahala seperti orang yang shalat di Masjid al-Haram, Masjid Madinah dan Masjid al-Aqsha.”
• Malam ke-6: “Allah berikan kepadanya pahala orang yang melakukan thawaf di Baitul Ma’mur, dan membacakan istighfar oleh setiap bebatuan dan lumpur kepadanya.”
• Malam ke-7: “Seakan-akan ia berjumpa dengan Nabi Musa dan dia menolongnya dalam melawan Fir’aun dan Haman.”
• Malam ke-8: “Allah berikan kepadanya sesuatu yang Allah kepada Nabi Ibrahim.”
• Malam ke-9: “Seakan-akan dia menyembah Allah seperti ibadahnya Nabi.”
• Malam ke-10: “Allah berikan kepadanya dua kebaikan dunia dan Akhirat.”
• Malam ke-11: “Dia keluar dari dunia seperti hari pada hari dilahirkan ibunya.”
• Malam ke-12: “Dia datang pada hari qiyamat sedangkan wajahnya laksana bulan di malam empat belas.”
• Malam ke-13: “Dia datang di hari qiyamat dalam keadaan aman dari setiap kejahatan.”
• Malam ke-14: “Para malaikat datang menyaksikannya bahwa dia telah melakukan shalat Tarawih, maka Allah tidak menghisabnya di hari qiyamat.”
• Malam ke-15: “Para malaikat dan pemikul ‘Arsy bershalawat (memohonkan ampun) untuknya.”
• Malam ke-16: “Allah catatkan baginya kebebasan selamat dari api neraka dan kebebasan dari masuk surga.”
• Malam ke-17: “Dia diberikan pahala seperti para Nabi.”
• Malam ke-18: “Malaikat berseru: “Wahai hamba Allah sesungguhnya Allah telah meridhoimu dan kedua orangtuamu.”
• Malam ke-19: “Allah angkat derajatnya pada surga Firdaus.”
• Malam ke-20: “Allah berikan pahala pahala orang-orang yang syahid dan para orang shalih.”
• Malam ke-21: “Allah bangunkan baginya rumah di surga dari cahaya.”
• Malam ke-22: “Dia datang pada hari qiyamat dalam keadaan aman dari segala keluh kesah dan duka cita.”
• Malam ke-23: “Allah bangunkan baginya sebuah kota di dalam surga.”
• Malam ke-24: “Dia akan memiliki doa mustajab.”
• Malam ke-25: “Allah angkat (jauhkan) dirinya dari adzab kubur.”
• Malam ke-26: “Allah angkat (berikan) baginya pahala 40 tahun.”
• Malam ke-27: “Dia akan lewat pada hari qiamat di atas shirath secepat kilat yang menyambar.”
• Malam ke-28: “Allah angkat baginya 1000 derajat di surga.”
• Malam ke-29: “Allah berikan pahala 1000 haji yang diterima.”
• Malam ke-30: “Allah berfirman: “Whai hambaKu makanlah buah-buahan Surga dan mandilah dari air Salsabil (mata air surga) dan minumlah dari telaga Kautsar. Aku Tuhanmu dan engkau adalah hambaKu.”

Sebagian ulama memberikan komentar hadits di atas sebagai hadits maudhu’ (hadits palsu). Syaikh al-Baiquniy mengatakan: “Kedustaan yang diada-adakan, yang dibuat orang atas Nabi, maka itulah yang disebut maudhu’ (palsu).”

8. Jumlah Rakaat dan Tata Cara Mengerjakan Shalat Tarawih

Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah rakaat shalat Tarawih. Dalam kitab at-Taqrirat as-Sadidah fi Masail al-Mufidah susunan al-Habib Hasan ibn Ahmad al-Kaf juz 1 halaman 287 disebutkan: “Al-Habib Zain ibn Ibrahim ibn Sumath berpendapat bahwa jumlah rakaat shalat Tarawih minimal 2 rakaat, maksimalnya 20 rakaat. Dikerjakan khusus pada setiap malam bulan Ramadhan, baik secara sendiri-sendiri ataupun berjamaah, tetapi lebih afdhal shalat Tarawih dikerjakan secara berjamaah.”

Sedangkan menurut al-Hafidz Syaikh Abdullah al-Harariy dalam kitab Bughyat ath-Thâlib li Ma’rifah al-‘Ilm ad-Diniy al-Wajib juz 1 halaman 281 berpendapat bahwa: “Shalat Tarawih adalah bagian dari Qiyam Ramadhan. Siapa yang berniat mengerjakan shalat Tarawih tidak boleh kurang atau lebih dari 20 rakaat. Dengan alasan Tarawih merupakan sebuah istilah yang telah terdefinisi dengan jelas, sebagai shalat yang dikerjakan oleh para sahabat di zaman Sayidina Umar ibn Khatthab khusus pada bulan Ramadhan dengan 20 rakaat 10 kali salam. Adapun bila seseorang berniat mengerjakan shalat Qiyam Ramadhan, maka tidak ada batasan rakaatnya. Artinya, boleh kurang atau lebih dari 20 rakaat.”

Khusus bagi penduduk kota Madinah boleh mengerjakan shalat Tarawih lebih dari 20 rakaat. Sedangkan jumlah rakaat shalat Qiyam Ramadhan tidak ada batasan yang signifikan (berarti penting) dalam bilangan rakaatnya. Semakin banyak rakaat shalat Qiyam Ramadhan yang dikerjakan, maka semakin banyak pahalanya. Tetapi yang paling afdhal mengerjakan shalat Tarawih dengan 20 rakaat. Karena sesuai dengan amalan yang telah dikerjakan oleh para sahabat, tabi’in dan para Salafus Shâlih.

Kalau kita mau jujur, dengan menelusuri dan mencermati pendapat para ulama yang telah dikemukakan di atas, hampir semua sependapat dan sepakat bahwa mengerjakan shalat Tarawih dengan 20 rakaat itu adalah jumlah rakaat yang paling banyak dikerjakan oleh banyak umat Islam termasuk di Masjid al-Haram Makkah sejak zaman Khalifah Umar Ibn Khatthab sampai saat sekarang ini, dan hal itu tidak pernah berubah. Sebagaimana telah ditegaskan oleh para imam Mujtahid; Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad Ibn Hanbal dan hampir semua ulama termasuk Syaikh Islam Ibn Taymiyyah.

Siapa lagi yang pantas dan patut kita teladani dalam mengamalkan suatu ibadah kalau bukan para ulama Salafus Shalih, merekalah yang lebih utama dari pada kita, karena mereka hidup dalam masa yang lebih baik dari masa kita. Rasulullah Saw. bersabda: “Manusia terbaik adalah mereka yang hidup pada masa aku hidup (para sahabat) kemudian generasi selanjutnya (para tabi’in), kemudian generasi selanjutnya (pengikut tabi’in).” (HR. Imam Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad, Ibn Abi Syaibah, al-Baihaqi, Hakim, ath-Thabarani, Ibn Hibban dan lain-lain).

Adapun hukum orang yang mengerjakan shalat Tarawih kurang dari 20 rakaat, seperti 8 rakaat, maka ia tetap mendapat pahala shalat Tarawih. Dengan catatan, 8 rakaat tersebut dikerjakan dengan salam pada tiap 2 rakaatnya. Namun pahala yang ia dapat tidak seperti orang yang mengerjakan shalat Tarawih dengan 20 rakaat.

Apabila shalat Tarawih 8 rakaat itu dikerjakan dengan cara 4 rakaat sekali salam, 4 rakaat sekali salam, maka shalat Tarawihnya tidak sah. Bagi mereka yang mengerjakan di masjid atau di mushalla shalat Tarawih dengan 8 rakaat dan ditambah 3 rakaat shalat Witir, mereka pun masih bisa mendapatkan keafdholan pahala shalat Tarawih dengan cara menyempurnakan bilangan rakaat shalat Tarawih di rumah dengan menambahkan 12 rakaat, agar jumlah rakaat shalat Tarawih mereka menjadi 20 rakaat.

Para Ulama bersepakat mengatakan bahwa berapapun bilangan rakaat shalat Tarawih yang dikerjakan, setiap 2 rakaat harus diakhiri dengan salam. Adapun pendapat sekelompok orang yang mengajarkan dan mengamalkan shalat Tarawih dengan cara 4 rakat sekali salam, 4 rakaat sekali salam, yang semarak dikerjakan banyak orang dan sudah terlanjur mengakar, sehingga muncul kesan bahwa praktek seperti itulah yang benar dan perlu ditradisikan. Padahal fakta ilmiah mengatakan cara seperti itu tidak benar dan tidak sejalan dengan ajaran para ulama Salafus Shalih. Sia-sia mengerjakan shalat Tarawih sebulan penuh, kalau ternyata praktek ibadah yang dikerjakan menyalahi aturan Syariat.

Para ulama Madzhab Imam Malik dan Madzhab Imam Ahmad Ibn Hanbal berpendapat: “Shalat Tarawih yang dikerjakan 4 rakaat sekali salam itu hukumnya makruh. Karena telah meninggalkan kesunahan bertasyahhud dan memberi salam pada setiap 2 rakaat.” (Lihat Hasyiyah al-Fawâkih ad-Dawâniy ‘alâ Risâlah Abi Zayd al-Qayrawâniy juz 3 halaman 464, Hasyiyah al-Adawiy ‘ala Syarh Kifâyah ath-Thâlib ar-Rabbâniy juz 3 halaman 442, al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah oleh Abdurrahman al-Jazîriy juz 1 halaman 290, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh oleh Wahbah az-Zuhayliy juz 2 halaman 65-73).

Sedangkan para ulama Madzhab Imam Syafi’i mengatakan: “Shalat Tarawih yang dikerjakan 4 rakaat sekali salam, hukumnya tidak sah”. Dengan alasan telah menyalahi istilah dan prosedur shalat Tarawih yang sudah jelas definisinya.

Memang secara umum, pelaksanaan shalat sunnah ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai jumlah rakaat setiap kali salamnya. Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i, shalat sunah, baik di waktu malam maupun siang, dilakukan dengan cara dua-dua yakni; setiap 2 rakaat salam. Menurut Imam Abu Hanifah, boleh melakukannya dua-dua, tiga-tiga, empat-empat, enam-enam, delapan-delapan, dengan sekali salam (tanpa salam tiap 2 rakaatnya). Ada juga yang membedakan antara shalat sunnah malam dan siang, kalau shalat sunnah malam dikerjakan dua-dua, kalau shalat sunnah siang boleh empat-empat sekali salam. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan hadits yang dating dalam masalah ini. Sebagaimana disebutkan oleh Imam Muhammad ibn Abdurrahman ad-Dimasyqiy dalam kitab Rahmah al-Ummah fi Ikhtilâf al-Aimmah: “Disunahkan mengerjakan shalat sunnah yang dilaksanakan di waktu malam dan siang hari dengan salam tiap 2 rakaat. Jika seseorang salam pada tiap 1 rakaat hukumnya boleh menurut Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad. Imam Abu Hanifah berkata tidak boleh. Beliau juga mengatakan shalat malam boleh dikerjakan 2-2, 4-4, 6-6, 8-8 dengan sekali salam, shalat sunnah yang dilakukan siang hari boleh dengan 4 rakaat 1 salam.”

Dalam menyikapi perbedaan masalah ibadah, kita tidak perlu bingung, alergi ataupun antipati (menolak atau tidak suka atau menentangnya). Sebab masing-masing di antara pendapat-pendapat ulama tersebut mempunyai landasan dalil.

Solusi yang tepat untuk menyikapi perbedaan pendapat tersebut adalah dengan menerapkan kaidah ushul fiqh berikut ini: “Keluar dari perbedaan pendapat adalah suatu hal yang dianjurkan.” Tetapi dengan catatan harus dengan mengambil pendapat yang paling sesuai dengan prinsip hukum atau yang paling benar di antara keduanya.

Yang dimaksud dengan keluar dari perbedaan pendapat dalam konteks ini adalah mengerjakan shalat Tarawih dengan cara 2 rakaat, 2 rakaat. Sebab, bila kita kerjakan shalat Tarawih dengan cara 4 rakaat satu salam akan bertabrakan dengan 2 qaul ulama. Pertama, qaul dalam Madzhab Imam Malik dan Mazhab Imam Ahmad Ibn Hanbal yang berpendapat ”Shalat Tarawih yang dikerjakan 4 rakaat sekali salam itu hukumnya makruh.” Kedua, qaul dalam Madzhab Imam Syafi’i yang mengatakan: “Shalat Tarawih yang dikerjakan 4 rakaat 1 salam tidak sah.”

Tidak enak rasanya, bila di satu sisi kita mengerjakan ibadah bertujuan mencari ridha Allah, mengharapkan pahala dan kekhusyu’an di dalamnya, sedangkan di sisi lain para ulama mengatakan ibadah yang kita kerjakan hukumnya makruh atau tidak sah.

Perlu diketahui, meskipun dalam madzhab Imam Abu Hanifah ada pendapat yang mengatakan boleh shalat sunnah malam hari dikerjakan dengan 2-2, 4-4, 6-6, 8-8 dengan sekali salam, tapi pendapat 4 rakaat, 6 rakaat, dan 8 rakaat yang dikerjakan dengan sekali salam tidak dijadikan hujjah (argumen) dan juga tidak diamalkan dalam madzhab Imam Abu Hanifah. Tetap saja shalat dengan cara 2 rakaat, 2 rakaat yang mereka amalkan sebagai tindakan keluar dari perbedaan pendapat para ulama. Hal ini sebagaimana dituturkan oleh Syaikh Muhammad Anwâr Syâh al-Kasymîriy al-Hindiy dalam kitabnya al-‘Arf asy-Syadziy Syarh Sunan at-Tirmidziy juz 1 halaman 488 sebagai berikut:

“Tidak ada keterangan nas hadits shalat malam dikerjakan 4 rakaat dengan satu salam. Para ulama yang berafiliasi dalam madzhab Abi Hanifah berpegang pada hadits Siti Aisyah riwayat Imam Bukhari dan Muslim: “Beliau shalat 4 rakaat maka jangan engkau tanyakan betapa elok dan lamanya.” Menurutku hadits ini bukan sebagai dalil dalam madzhab kami, karena hadits ini tidak jelas dan juga hadits ini bukan sebagai dalil 4 rakaat dikerjakan dengan satu salam, akan tetapi menurutku 4 rakaat tersebut dikandungkan atas bentuk shalat Tarawih yang dikerjakan pada zaman ini dengan memberi salam pada tiap 2 rakaat, 2 rakaat, 1 tarwihah (istirahat) itu terdiri dari 4 rakaat. Inilah yang dijelaskan oleh Syaikh Abu Umar dalam kitab at-Tamhîd, beliau mengatakan komentar hadits seperti yang aku sebutkan. Penyebutan 4 rakaat adalah gabungan (2 rakaat, 2 rakaat) karena tidak ada perhentian dan istirahat atas 2 rakaat pertama. Aku temukan dalam kitab as-Sunan al-Kubrâ dengan sanad yang marfû’ bahwa Rasulullah shalat 4 rakaat kemudian beliau beristirahat, menjadi dalil member salam pada tiap 2 rakaat, dari Siti Aisyah riwayat Imam Muslim: “Beliau shalat lalu salam pada tiap 2 rakaat.” Riwayat Imam Nasâiy dari Ummi Salamah: “Beliau salam pada tiap 2 rakaat.” Maka hal itu tidak bisa menjadi dalil yang tegak lantaran setiap perawi hadits telah mengungkapkan maksud yang masih mujmal (global). Sebagian mereka menjelaskan yang dimaksud dan menyebutkan bahwa beliau memberi salam pada tiap 2 rakaat. Sedangkan kelompok pertama tidak menyebutkan salam pada tiap 2 rakaat, maka tidak mungkin bisa dijadikan dalil sesuatu yang masih bersifat global (umum).”

Sangat banyak jumlahnya para ulama Ahlussunnah dalam kitab-kitabnya yang menyatakan bahwa shalat Tarawih yang dikerjakan dengan 4 rakaat sekali salam itu tidak sah. Diantaranya adalah:

Al-Imam an-Nawawiy ad-Dimasyqiy: “Masuk waktu shalat Tarawih itu setelah melaksanakan shalat Isya. Imam al-Baghawi dan lainnya menyebutkan: “Waktu tarawih masih ada sampai terbit fajar.” Hendaklah seseorang mengerjakan shalat Tarawih dengan dua rakaat dua rakaat, sebagaimana kebiasaan shalat sunnah lainnya. Seandainya ia shalat dengan 4 rakaat dengan satu salam, maka shalatnya tidak sah. Hal ini telah dikatakan oleh al-Qâdhi Husain dalam fatwanya, dengan alasan hal demikian menyalahi aturan yang telah disyariatkan. Al-Qâdhi juga berpendapat seorang dalam shalat Tarawih ia tidak boleh berniat mutlak, tetapi ia berniat dengan niat shalat sunnah Tarawih, shalat Tarawih atau shalat Qiyam Ramadhan. Maka ia berniat pada setiap 2 rakaat dari shalat Tarawih.”

Al-Imam Ahmad ibn Hajar al-Haitamiy: “Shalat Tarawih itu 20 rakaat, wajib dalam pelaksanaanya dua-dua, dikerjakan dua rakaat dua rakaat. Bila seseorang mengerjakan 4 rakaat dengan satu salam, maka shalatnya tidak sah karena hal tersebut menyerupai shalat fardhu dalam menuntut berjamaah, maka jangan dirubah keterangan sesuatu yang telah warid (datang). Lain halnya dengan shalat sunah Dzuhur dan Ashar (boleh dikerjakan empat rakaat satu salam) atas qaul mu’tamad.”

Al-Imam Muhammad ibn Ahmad ar-Ramliy: “Tidak sah shalat Tarawih dengan niat shalat Mutlak, seharusnya seseorang berniat Tarawih atau Qiyam Ramadhan dengan mengerjakan salam pada setiap 2 rakaat. Seandainya seseorang shalat Tarawih dengan 4 rakaat satu salam, jika ia sengaja dan mengetahui maka shalatnya tidak sah. Kalau tidak demikian maka shalat itu menjadi shalat sunnah Mutlak, karena menyalahi aturan yang disyariatkan.”

Al-Imam Ahmad ibn Muhammad al-Qasthallaniy: “Dipahami dari ungkapan yang lalu sesungguhnya shalat Tarawih itu pelaksanaannya dengan 10 kali salam. Seandainya seseorang shalat Tarawih dengan 4 rakaat sekali salam, maka shalat Tarawihnya tidak sah. Seperti inilah keterangan yang telah dijelaskan oleh Imam Nawawiy dalam kitab ar-Raudhah, karena shalat Tarawih menyerupai shalat fardhu dalam menuntut berjamaah (tiap 2 rakaat melakukan tasyahhud), maka jangan dirubah keterangan sesuatu yang telah warid (datang).”

Al-Imam Zakariya al-Anshariy: “Pada setiap 4 rakaat dinamai satu Tarwihah karena para sahabat bersantaisantai setelahnya artinya beristirahat. Jika seseorang shalat Tarawih 4 rakaat dengan satu salam maka tidak sah, karena anjuran berjamaah pada shalat Tarawih menyerupai shalat fardhu, maka jangan diubah aturan yang telah ada keterangannya.”

Al-Imam Jalaluddin Muhammad al-Mahalliy: “Makna Syar’i itu dinamakan sesuatu yang berbetulan dengan hakikat syara’ adalah sesuatu yang tidak dipahami namanya melainkan dari syara’ seperti bentuk shalat. Digunakan juga makna syar’i itu atas perbuatan yang mandub dan mubah. Dari definisi pertama para ulama berpendapat shalat sunnah yang disyari’atkan berjamaah artinya disunahkan berjamaah seperti shalat dua hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Dari definisi kedua ini perkataan al-Qadhi Husein yang mengatakan: “Seandainya ia mengerjakan shalat Tarawih dengan 4 rakaat dengan satu salam, maka shalat Tarawihnya tidak sah.”

Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthiy: “Seseorang mengerjakan shalat Tarawih pada tiap malam bulan Ramadhan dengan 10 kali salam pada tiap malam antara shalat Isya sampai terbit fajar. Jika seseorang shalat Tarawih 4 rakaat dengan satu salam maka hukumnya tidak sah. Sebagaimana Imam an-Nawawi menukilkannya dalam kitab Raudhah dari al-Qadhi Husain dan beliau menetapkan hal itu karena menyalahi aturan yang disyariatkan.”

Al-Imam Zainuddin al-Malibariy: “Shalat Tarawih 20 rakaat dengan 10 kali salam pada setiap malam di bulan Ramadhan. Karena ada hadits: “Siapa saja melaksanakan Qiyam Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka dosanya yang terdahulu diampuni.” Wajib setiap 2 rakaat mengucapkan salam. Jika seseorang shalat Tarawih 4 rakaat dengan satu salam maka hukum shalat Tarawihnya tidak sah. Berbeda dengan shalat sunnah Dzuhur, Ashar, Dhuha dan Witir. Seharusnya bagi yang mengerjakan shalat Tarawih, ia berniat dengan niat Tarawih atau Qiyam Ramadhan.”

Al-Imam Taqiyuddin al-Hasaniy: “Dinamakan Tarawih karena para sahabat melakukan istirahat pada setiap 2 kali salam (4 rakaat). Seseorang yang melaksanakannya berniat pada tiap 2 rakaat dengan niat Tarawih atau Qiyam Ramadhan. Bila ia shalat Tarawih dengan 4 rakaat satu salam maka shalatnya tidak sah.”

Al-Imam Muhammad Ibn Qasim: “Shalat Tarawih dikerjakan 20 rakaat, terdiri dari 10 salam pada tiap malam bulan Ramadhan. Jumlahnya 5 tarwihah (istirahat). Seseorang yang mengerjakannya ia berniat tiap 2 rakaat akan shalat Tarawih atau Qiyam Ramadhan. Jika ia shalat Tarawih dengan 4 rakaat satu salam maka shalat Tarawihnya tidak sah.”

Al-Imam Murtadha Muhammad az-Zabidiy: “Shalat Tarawih itu 20 rakaat dengan 10 kali salam. Tata caranya telah diketahui banyak orang. Imam an-Nawawi berkata “Seandainya seseorang shalat Tarawih 4 rakaat dengan sekali salam, maka shalat Tarawihnya tidak sah.”

Al-Imam Muhammad Amin Kurdiy: “Shalat Tarawih itu dikerjakan 20 rakaat dengan 10 salam. Bila seseorang shalat setiap 4 rakaat dengan satu salam maka shalatnya tidak sah. Disunnahkan pelaksanaannya berjamaah.”

As-Sayyid Muhammad ibn Abdullah al-Jurdaniy: “Seharusnya shalat Tarawih itu dikerjakan dengan cara 2 rakaat (satu salam) karena telah datang keterangannya. Seandainya seseorang melakukan takbiratul ihram lebih dari 2 rakaat atau kurang dari 2 rakaat dalam mengerjakan shalat Tarawih maka shalat Tarawihnya tidak jadi (tidak sah).”

Asy-Syaikh Ibrahim ibn Muhammad al-Baijuriy: “Ungkapan dzahir hadits menguatkan hal itu, sesungguhnya 4 rakaat dikerjakan dengan sekali salam. Apabila shalat tersebut adalah shalat Tarawih menjadi keharusan 4 rakaat dikerjakan dengan 2 salam, karena pelaksanaan shalat Tarawih hukumnya wajib salam pada tiap 2 rakaat. Tidak sah shalat Tarawih dikerjakan 4 rakaat sekali salam.”

Asy-Syaikh Muhammad Nawawiy al-Bantaniy: “Shalat Tarawih tidak sah bila dilakukan dengan niat shalat Mutlak, tetapi seseorang yang mengerjakannya berniat shalat Tarawih, shalat Qiyam Ramadhan atau shalat sunah Tarawih. Tidak sah bila ia melakukan shalat Tarawih dengan 4 rakaat satu salam, bahkan semestinya yang ia lakukan adalah mengucapkan salam pada tiap 2 rakaat karena begitulah keterangan yang datang.”

Asy-Syaikh Muhammad Mahfudz at-Termasiy: “Perkataan Ibn Hajar: “Bila seseorang mengerjakan 4 rakaat seumpamanya, maka yang dimaksud adalah lebih dari 2 rakaat, dengan satu salam, maka hokum shalatnya tidak sah yakni batal.”

Asy-Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Kediriy: “Ketahuilah sesungguhnya shalat Tarawih 20 rakaat dengan 10 salam pada tiap malam bulan Ramadhan. Tata caranya telah diketahui banyak orang. Imam an-Nawawi berkata: “Seandainya ia shalat dengan 4 rakaat dengan satu salam, maka shalatnya tidak sah”. Hal ini telah dikatakan oleh al-Qâdhi Husain dalam fatwanya, dengan alasan hal demikian menyalahi aturan yang telah disyariatkan.”

Al-Habib Ahmad ibn Umar asy-Syathiriy: “Shalat Tarawih dilaksanakan 20 rakaat pada setiap malam bulan Ramadhan. Dalam pelaksanaannya wajib 2 rakaat, 2 rakaat. Waktunya dari selesai mengerjakan shalat Isya sampai terbit fajar. Seseorang dipastikan memberi salam pada tiap 2 rakaatnya. Jika ia shalat lebih dari 2 rakaat sengaja dan tahu (itu tidak sah) maka shalat Tarawihnya rusak. Tetapi bila ia tidak sengaja atau lantaran ketidaktahuannya maka Tarawih yang dikerjakan dengan 4 rakaat sekali salam itu menjadi shalat sunah Mutlak.”

Asy-Syaikh Abdul Hamid ibn Muhammad Ali Qudus: “Wajib salam pada setiap 2 rakaat. Bila seseorang shalat 4 rakaat atau lebih dengan sekali salam maka shalat Tarawihnya tidak sah sama sekali, jika ia sengaja atau mengetahui itu. Jika tidak, maka shalatnya sah menjadi shalat Mutlak.”

Asy-Syaikh Ali Ma’shum al-Jogjawiy Krapyak: “Ketahuilah sesungguhnya shalat Tarawih itu dikerjakan dengan 2 rakaat, 2 rakaat menurut pandangan Ahlussunah wal Jama’ah. Ulama madzhab Syafi’i berkata: ”Wajib, seseorang salam pada tiap 2 rakaat. Jika ia mengerjakan shalat Tarawih 4 rakaat dengan 1 salam, maka hukum shalatnya tidak sah.”

Asy-Syaikh Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi: “Perkataan (Nabi shalat 4 rakaat, maka jangan kau tanya bagaimana bagus dan panjangnya) shalat Nabi 4 rakaat mengandung kemungkinan 4 rakaat, itu dengan cara 2 salam dan 2 tasyahhud. Dengan adanya perbuatan dan perkataan Nabi: “Shalat malam itu 2 rakaat 2 rakaat.” Ulama madzhab Syafi’i telah mentahqiq sesungguhnya siapa saja yang shalat 4 rakaat sekali salam dengan niat Tarawih maka tidak sah. Karena menyalahi hadits Rasulullah: “Shalat malam itu dua dua” dan juga menyalahi amalan para sahabat mulia yang Allah telah berikan keridhaanNya kepada mereka.”

Asy-Syaikh Mu’allim Muhammad Syafi’i Hadzami dalam Risalah Shalat Tarawih halaman 6: “Tidak dikenal ikhtilaf (perbedaan) antara Imam-imam mujtahid yang empat mengenai bilangan atau jumlah rakaat Qiyam Ramadhan (Shalat Tarawih) melainkan sebagai berikut: 1) 20 rakaat menurut madzhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Ibn Hanbal. 2) 36 rakaat merupakan salah satu riwayat Imam Malik bagi penduduk Madinah. Syaikh Abdul Wahhab asy-Sya’râniy pun menyebutkan hal ini dalam kitab al-Mîzân al-Kubrâ sebagai berikut: “Sebagian dari yang demikian adalah Qaul Imam Abi Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bahwa Shalat Tarawih di dalam bulan Ramadhan adalah 20 rakaat, dansesungguhnya berjamaah itu lebih utama disertai qaul Imam Malik dalam satu riwayat darinya adalah 36 rakaat.” Kaifiyyah 20 rakaat yaitu dikerjakan dengan sepuluh salam dan memberi salam pada tiap dua rakaat. Kata Imam an-Nawawi dalam kitab Raudhah: “Jika seseorang shalat Tarawih 4 rakaat dengan satu salam niscaya tidak sah, karena menyalahi yang disyariatkan.”

Asy-Syaikh Utsman ibn Muhammad Askar dalam at-Tadzkirah an-Nafi’ah juz 5 halaman 118: “Jumlah rakaat shalat Tarawih. Bapak: “Berapakah rakaat sempurna shalat Tarawih itu?” Anak: “20 rakaat. Namun bagi penduduk Madinah, mereka boleh mengerjakannya lebih dari 20 rakaat hingga 36 rakaat. Cara mengerjakannya tip-tiap 2 rakaat diakhiri dengan salam. Setelah selesai shalat Tarawih hendaknya ditutup dengan shalat Witir.” Bapak: “Bagaimana hukumnya jika shalat Tarawih dilaksanakan kurang dari 20 rakaat?” Anak: “Tetap mendapat pahala. Namun tidak seperti pahala shalat Tarawih 20 rakaat.” Bapak: “Bolehkah shalat Tarawih dikerjakan 4 rakaat, 4 rakaat dengan satu tasyahhud (salam)?” Anak: “Hukumnya tidak sah, sesuai dengan yang dijelaskan para ulama dalam kitab fiqh.”

Prof. Dr. Syifa Hasan Hito: “Shalat Tarawih juga dinamakan Qiyam Ramadhan. Shalat Tarawih itu 20 rakaat dengan 10 kali salam dengan adanya ijma’. Tidak sah bila menggabung 4 rakaat dengan satu salam.”

KH. Abdurrahman Nawi Tebet dalam Kitab 7 Kaifiyyat Shalat Sunnah halaman 11: “Shalat Tarawih hukumnya sunnah muakkadah. Bilangan rakaatnya yaitu: 1) Bagi kita 20 rakaat (ijma’ para sahabat). 2) Bagi Ahli Madinah 36 rakaat. Waktunya ba’da shalat Isya hingga fajar shodiq. Perhatian! 1) Dilakukan dengan 10 salam. 2) Tidak sah dilakukan 4 rakaat satu salam. 3) Sunnah dijama’ahkan.”

Demikianlah sebagian nash (redaksi) kitab-kitab para ulama yang menjelaskan shalat Tarawih yang dikerjakan 4 rakaat sekali salam, hukumnya tidak sah. Masih banyak kitab-kitab para ulama yang belum sempat penulis membaca dan menelitinya. Kitab-kitab tersebut sangat perlu dibaca dan ditekuni dengan benar dan hasil talaqqiy (berhadapan langsung) dengan para ulama dan bukan dengan pendapat sendiri, agar kita terhindar dari kesalahan.

Ya Allah berilah kami petunjuk seperti orang yang Kau telah berikan petunjuk. Sebagaimana ungkapan sebuah syair: “Siapa saja yang mengambil ilmu dari seorang guru dengan cara langsung berhadapan, maka dia akan terhindar dari kesalahan dan kekeliruan. Dan siapa saja mengambil ilmu dari buku-buku, maka ilmunya di kalangan ahli ilmu seperti tidak ada.”

Pendapat yang mengatakan bahwa shalat Tarawih dikerjakan dengan 4 rakaat sekali salam, hukumya tidak sah memiliki dalil yang kuat dan tidak bisa ditolak. Dalil-dalilnya sangat jelas dapat ditemukan dalam kitab-kitab yang kredibel (mu’tabar). Bagaikan sinar matahari yang terlihat begitu jelas, tidak ada manusia yang memungkiri jelasnya sinar matahari itu, kecuali orang matanya sakit. Barang yang sangat jelas menjadi tidak kelihatan karena ada penyakit pada matanya. Makanan yang enak dan lezat yang semua orang berselera menikmatinya menjadi tidak enak karena ada penyakit pada mulutnya. Sebagaimana Imam Muhammad ibn Said al-Bushiriy mengatakan: “Terkadang mata seseorang mengingkari cahaya matahari karena matanya sakit (rebekan), dan mulut seseorang akan mengingkari ni’matnya air dari sebab mulutnya sakit (sariawan).”

Begitu juga karena sangat jelas keterangan yang para ulama berikan, tidak ada orang yang menolak pendapat tersebut, kecuali orang-orang yang ada penyakit dalam dirinya. Nama penyakitnya adalah kebodohan yang dibungkus oleh kain hasud (dengki). Menyikapi hal ini, kita wajib hindari pelaksanaan shalat Tarawih yang dikerjakan dengan cara 4 rakaat sekali salam, 4 rakaat sekali salam. Apabila ada masjid atau mushalla dalam pelaksanaan shalat Tarawih dikerjakan dengan cara seperti itu, maka wajib bagi kita memberi tahu kepada mereka bahwa perbuatan mereka menyalahi aturan Syariat. Jika mereka tidak mau merubahnya maka kita wajib mencari tempat yang mengerjakan shalat Tarawih dengan tiap 2 rakaat salam, atau kita mengerjakan shalat Tarawih di rumah saja.

Kita jangan merasa tersinggung atau sakit hati, apabila nasehat atau ilmu yang kita sampaikan mereka tolak. Kewajiban kita hanya menyampaikan kebenaran. Jika kita sudah menyampaikannya maka kewajiban kita menjadi gugur. Diterima atau tidaknya ilmu/nasehat tersebut semua tergantung keikhlasan mereka. Tak ubahnya kita memberi tahu kepada saudara kita yang akan melakukan shalat bahwa kain yang dia pakai itu sudah terkena air kencing. Kita jangan marah, kesal dan jengkel bila nasehat kita tidak dia terima. Karena kewajiban diri kita hanya sekedar menyampaikan. Adapun shalat saudara kita yang tidak sah bukan tanggung jawab kita lagi.

Ada orang yang berkata: “Jangan disalahkan orang yang mengerjakan shalat Tarawih dengan 4 rakaat sekali salam, apa salahnya orang mengerjakan ibadah? Yang pantas disalahkan adalah orang-orang yang tidak melakukan shalat Tarawih, orang yang main judi dan mabuk-mabukkan.”

Perlu diketahui, bahwa bukan hanya orang yang melakukan maksiyat saja seperti mabuk dan main judi itu salah dan berdosa dalam pandangan syariat agama kita. Bahkan orang yang beribadah juga bisa salah, manakala ia mengerjakan ibadah hanya menurut seleranya, bukan mengikuti syariat agama. Contohnya: Seseorang mengerjakan shalat Maghrib dengan 4 rakaat, shalat Dzuhur 5 rakaat, mengerjakan puasa di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha atau melakukan shalat memakai pakaian hasil curian. Walaupun semua itu termasuk perbuatan ibadah, tetapi karena cara mengerjakannya salah tidak sesuai syariat maka bukan pahala yang ia dapat justru salah dan dosa.

Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam Abu Hamid Muhammad al-Ghazaliy dalam Majmu’ah ar-Rasail al-Ghazali halaman 105 dan dalam Ayyuhal Walad: “Sesungguhnya perbuatan taat dan ibadah itu mengikuti perintah syariat dalam perintah dan larangannya baik perbuatan dan perkataan. Maksudnya apa yang kau ucapkan, apa yang kau lakukan dan kau tinggalkan, semuanya harus mengikuti tuntunan syariat.”

Mereka juga mengatakan: “Anda kok berani mengatakan shalat Tarawih dengan 4 rakaat sekali salam tidak sah. Padahal Rasulullah tidak pernah mengatakan satu ibadah itu tidak sah.”

Untuk menjawabnya, perlu diketahui bahwa yang mengatakan bahwa shalat Tarawih dengan cara 4 rakaat sekali salam hukumnya tidak sah adalah para ulama, bukan kita sendiri. Adapun pernyataan mereka Rasulullah tidak pernah mengatakan tidak sah dalam satu ibadah adalah pendapat orang bodoh yang merasa lebih pintar dari para ulama. Ini orang termasuk rombongan “Gado-Gado Gandasturi, Udah Bodoh Kaga Tau Diri”. Makanya kalau ingin mengetauhi hadits-hadits Rasulullah secara luas Anda harus baca kitab-kitab hadits. Rasulullah Saw. bersabda: “Siapa saja yang mengerjakan perbuatan yang tidak ada padanya perintah kami, maka perbuatan itu tertolak/tidak sah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tidak ada alasan yang mendasar untuk saling berselisih karena persoalan jumlah bilangan rakaat shalat Tarawih. Apalagi hal itu menjadi sebab perpecahan umat. Jika kita perhatikan dengan cermat, maka yang menjadi konsensus (kesepakatan ulama) dalam shalat Tarawih adalah yang berkaitan dengan kualitas pelaksanaannya dan tata caranya. Berapapun jumlah rakaat Shalat Tarawih yang dikerjakan seseorang, baik 8 rakaat atau 20 rakaat, ia harus melakukan salam pada setiap 2 rakaat karena sesuai dengan sunnah Rasulullah dan tuntunan para ulama, sehingga shalat Tarawih benar-benar akan menjadi komunikasi antara seorang hamba dengan Tuhannya.

Ya Allah jadikanlah kami termasuk orang-orang yang bahagia, yang ibadahnya diterima. Jangan Engkau jadikan kami orang-orang celaka yang ibadahnya tertolak, dengan kasih sayangMu, wahai Yang Maha Menyayangi.
Adapun cara pelaksanaan shalat Tarawih secara berjamaah dilakukan setelah melaksanakan shalat Isya dan ba’diyah Isya hingga terbit fajar.

Teknis pelaksanaan shalat sunnah Tarawih adalah sebagai berikut:

1) Bilal menyerukan bacaan: “Sholluu sunnata at-Tarawiihi rak’ataini aajarakumullah.” Dan para jamaah menjawab dengan seruan dzikir: “Laa Ilaaha illallaahu Muhammadun Rasulullaahi shallallahu ‘alaihi wasallam.” Kemudian berdiri mengerjakan shalat Tarawih berjamaah. Lafadz niat shalat Tarawih untuk setiap 2 rakaat yaitu: “Ushollii sunnata at-Tarawiihi rak’ataini imaaman/ma’muuman lillaahi ta’ala.” Artinya: ”Aku niat shalat sunnah Tarawih 2 rakaat menjadi imam/ ma’mum karena Allah ta’ala.” Rakaat pertama membaca surat: at-Takatsur. Rakaat kedua membaca surat: al-Ikhlas.

2) Bilal menyerukan bacaan: “Fadhlun minallaahi ta’aala wani’mah.” Dan para jamaah menjawab dengan seruan dzikir: “Wamaghfiratun warahmah, yaa Tawwaabu yaa Waasi’al Maghfirah, yaa Arhaman Raahimiin.” Rakaat pertama membaca surat: al-‘Ashr. Rakaat kedua membaca surat: al-Ikhlas.

3) Bilal menyerukan bacaan: “Nabiyyukum Muhammad, shalluu ‘alaih.” Dan para jamaah menjawab dengan seruan dzikir: “Allaahumma shalli wasallim ‘alaih.” Rakaat pertama membaca surat: al-Humazah. Rakaat kedua membaca surat: al-Ikhlas.

4) Bilal menyerukan bacaan: “Fadhlun minallaahi ta’aala wani’mah.” Dan para jamaah menjawab dengan seruan dzikir: “Wamaghfiratun warahmah, yaa Tawwaabu yaa Waasi’al Maghfirah, yaa Arhaman Raahimiin.” Rakaat pertama membaca surat: al-Fiil. Rakaat kedua membaca surat: al-Ikhlas.

5) Bilal menyerukan bacaan: “Khaliifatu Rasuulillaahi Sayyidunaa Abubakrin ash-Shiddiiq, taraadhdhau ‘anhu.” Dan para jamaah menjawab dengan seruan dzikir: “Radhiyallaahu ‘anhu, wanafa’anaa bihii fiddiini waddunyaa wal aakhirah.” Rakaat pertama membaca surat: al-Quraisy. Rakaat kedua membaca surat: al-Ikhlas.

6) Bilal menyerukan bacaan: “Fadhlun minallaahi ta’aala wani’mah.” Dan para jamaah menjawab dengan seruan dzikir: “Wamaghfiratun warahmah, yaa Tawwaabu yaa Waasi’al Maghfirah, yaa Arhaman Raahimiin.” Rakaat pertama membaca surat: al-Ma’un. Rakaat kedua membaca surat: al-Ikhlas.

7) Bilal menyerukan bacaan: “Khaliifatu Rasuulillaahi Sayyidunaa ‘Umarubnu al-Khththaab, taraadhdhau ‘anhu.” Dan para jamaah menjawab dengan seruan dzikir: “Radhiyallaahu ‘anhu, wanafa’anaa bihii fiddiini waddunyaa wal aakhirah.” Rakaat pertama membaca surat: al-Kautsar. Rakaat kedua membaca surat: al-Ikhlas.
Bilal menyerukan bacaan: “Fadhlun minallaahi ta’aala wani’mah.” Dan para jamaah menjawab dengan seruan dzikir: “Wamaghfiratun warahmah, yaa Tawwaabu yaa Waasi’al Maghfirah, yaa Arhaman Raahimiin.” Rakaat pertama membaca surat: al-Kafirun. Rakaat kedua membaca surat: al-Ikhlas.

9) Bilal menyerukan bacaan: “Khaliifatu Rasuulillaahi Sayyidunaa ‘Utsmaanubnu al-‘Affaan, taraadhdhau ‘anhu.” Dan para jamaah menjawab dengan seruan dzikir: “Radhiyallaahu ‘anhu, wanafa’anaa bihii fiddiini waddunyaa wal aakhirah.” Rakaat pertama membaca surat: an-Nashr. Rakaat kedua membaca surat: al-Ikhlas.

10) Bilal menyerukan bacaan: “Aakhiru at-Taraawiihi aajarakumullah.” Dan para jamaah menjawab dengan seruan dzikir: “Laa Ilaaha illallaahu Muhammadun Rasulullaahi shallallahu ‘alaihi wasallam.” Bilal menyerukan bacaan: “Khaliifatu Rasuulillaahi Sayyidunaa ‘Aliyyubnu Abii Thaalib, taraadhdhau ‘anhu.” Dan para jamaah menjawab dengan seruan dzikir: “Radhiyallaahu ‘anhu, wanafa’anaa bihii fiddiini waddunyaa wal aakhirah.” Rakaat pertama membaca surat: al-Lahab. Rakaat kedua membaca surat: al-Ikhlas.

Pada malam Nishfu al-Akhir yakni malam ke-16 sampai akhir shalat Tarawih, bacaan suratnya diganti dengan:

1) Rakaat pertama: al-Qadr. Kedua: at-Takatsur.
2) Rakaat pertama: al-Qadr. Kedua: al-‘Ashr.
3) Rakaat pertama: al-Qadr. Kedua: al-Humazah.
4) Rakaat pertama: al-Qadr. Kedua: al-Fiil.
5) Rakaat pertama: al-Qadr. Kedua: al-Quraisy.
6) Rakaat pertama: al-Qadr. Kedua: al-Ma’un.
7) Rakaat pertama: al-Qadr. Kedua: al-Kautsar. Rakaat pertama: al-Qadr. Kedua: al-Kafirun.
9) Rakaat pertama: al-Qadr. Kedua: an-Nashr.
10) Rakaat pertama: al-Qadr. Kedua: al-Lahab.

Teknis pelaksanaan shalat sunnah Witir adalah sebagai berikut:

1) Bilal menyerukan bacaan: “Sholluu sunnatan minal Witri rak’ataini aajarakumullah.” Dan para jamaah menjawab dengan seruan dzikir: “Laa Ilaaha illallaahu Muhammadun Rasulullaahi shallallahu ‘alaihi wasallam.” Kemudian berdiri mengerjakan shalat Witir berjamaah. Lafadz niat shalat Witir untuk 2 rakaat pertama yaitu: “Ushollii sunnatan minal Witri rak’ataini imaaman/ma’muuman lillaahi ta’ala.” Artinya: “Aku niat shalat sunnah 2 rakaat sebagian dari Witir menjadi imam/ma’mum karena Allah ta’ala.” Rakaat pertama membaca surat: al-A’la. Rakaat kedua membaca surat: al-Kafirun.

2) Untuk satu rakaat penutup shalat Witir, Bilal menyerukan bacaan: “Autiruu wamajjiduu wa’adzdzimuu syahroshshiyaami aajarakumullah.” Dan para jamaah menjawab dengan seruan dzikir: “Laa Ilaaha illallaahu Muhammadun Rasulullaahi shallallahu ‘alaihi wasallam.” Kemudian berdiri mengerjakan shalat Witir berjamaah. Lafadz niat shalat Witir untuk 2 rakaat pertama yaitu: “Ushollii sunnata al-Witri rak’atan imaaman/ma’muuman lillaahi ta’ala.” Artinya: “Aku niat shalat sunnah Witir satu rakaat menjadi imam/ma’mum karena Allah ta’ala.” Rakaat ketiga ini membaca surat: al-Ikhlas, al-falaq dan an-Nas.

Apabila telah selesai shalat Witir, setelah salam dibacakan dzikir-dzikir sebagai berikut:

1) Membaca dzikir secara berjamaah: Subhaanal-Malikl-Quddus. 3X Subhaanal-Malikial-Ma’buud, Subhaana l-Malikil Maujuud, Subhaanal-Malikil Hayyi Laa Yamuutu Walaa Yafuutu Abadan. Subbuuhun Quddusun Rabbunaa waRabbul Malaaikati warRuuh. Subhaanallaahi Walhamdu Lillaahi Walaa Ilaaha Illallahu Wallaahu Akbar. Walaa Haula Walaa Quwwata illaa Billaahil ‘Aliyyil ‘Adziim.

2) Kemudian untuk menambah kesempurnaan ibadah, selanjutnya dibacakan istigfar dan tahlil secara berjamaah sebagai berikut: Astaghfirullahal-‘Adziim. 3X Afdhaludzdzikri Fa’lam Annahuu Laa Ilaaha Illallaah. 3X Laa Ilaaha Illallaah. 25/50 X Laa Ilaaha Illallaahu MuhammadurRasuulullaahi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam, Kalimatu Haqqin ‘Alaihaa Nahyaa Wa’alaihaa Namuutu Wa’alaihaa Nub’atsu Insya Allaahu Ta’aala Minal Aaminiina Birahmatillaahi Wakaramihi. Innallaaha Wamalaaikatahuu Yushalluuna ‘AlanNabiyyi Yaa Ayyuhalladziina Aamanuu Shalluu ‘Alaihii Wasallimuu Tasliiman.

3) Kemudian membaca doa Witir: Astaghfirullahal-‘Adziim (3X). Bismillaahirrahmaanirrahiim. Alhamdulillahi Rabbil ‘Aalamiin. Hamdan Yuwaafii Ni’amahuu Wayukaafi-u Maziidah. Yaa Rabbanaa Lakal Hamdu Kamaa Yanbaghii Lijalaali Wajhika Wa’adziimi Sulthaanik. Allaahumma Shalli Wasallim ‘Alaa Sayyidinaa Muhammadin Wa’alaa Aalihi Washahbihii Ajma’iin. Allaahumma Innaa Nas-aluka Iimaanan Daaiman, Wanas-aluka Qalban Khaasyi’an, Wanas-aluka Yaqiinan Shaadiqan, Wanas-aluka ‘Amalan Shaalihan, Wanas-aluka Diinan Qayyiman, Wanas-alukal-‘Afwa Wal-‘Aafiyah, Wanas-aluka Tamaamal-‘Aafiyah, Wanas-alukasySyukra ‘Alal-‘Aafiyah, Wanas-alukal-Ghinaa ‘Aninnaas. Allaahuma Innaa Nas-aluka Ridhaaka wal-Jannah, Wana’uudzu Bika Min Sakhathika Wannaar (3X). Allaahumma Innaka ‘Afuwwun Kariim, Tuhibbul-‘Afwa Fa’fu ‘Annaa (3X) Yaa Kariim. Allaahumma Rabbanaa Taqabbal Minnaa Shalaatanaa Washiyaamanaa, Waqiyaamanaa, Watakhasysyu’anaa, Watadharru’anaa, Wata’abbudanaa, Watammim Taqshiiranaa Yaa Allaahu, Yaa Allaahu, Yaa Allaahu Yaa ArhamarRaahimiin. Washallallaahu ‘Alaa Sayyidinaa Muhammadin Wa’alaa Aailihii Washahbihii Wasallam. Walhamdu Lillaahi Rabbil ‘Aalamiin.

Pada setiap 4 rakaat (2 salam) melakukan istirahat, penduduk Makkah pada setiap selesai 4 rakaat tersebut, mereka melakukan Tawaf di Ka’bah. Adapun kita (bukan penduduk Makkah) pada setiap selesai 2 rakaat, dianjurkan membaca sholawat kepada Nabi, dzikir-dzikir dan membaca taraddhi (Radhiyallaahu ‘anhu) kepada sahabat Nabi.

Sedangkan setiap selesai 4 rakaat (2 salam) diiringi dengan pembacaan sholawat-sholawat dan doa-doa. Walaupun tergolong perbuatan bid’ah, tetapi bid’ah hasanah (baik) yang mana kita akan diberikan pahala bila mengerjakannya. Hal ini telah dilakukan dan diajarkan oleh para ulama dan Habaib (keturunan Rasulullah) kepada kita.

Al-Habib Abdurrahman ibn Muhammad ibn Husain ibn Umar al-Masyhur menjelaskan dalam kitabnya Bughyah al-Mustarsyidin halaman 36: “Adapun pembacaan taraddhi (Radhiyallahu ‘anhu) kepada sahabat itu tidak ada keterangan yang datang secara khusus pada masalah ini (adzan) seperti juga dilakukan pada salam-salam shalat Tarawih. Pembacaan taraddhi dikatakan bid’ah manakala seseorang mengerjakannya dengan maksud mengatakan itu adalah sunnah pada tempat itu secara khusus. Tetapi tidak disebut bid’ah, jika seseorang mengerjakannya dengan tujuan itu adalah sunnah secara umum karena ada ijma’ kaum muslimin yang menganjurkan untuk membacakan taraddhi kepada mereka. Mungkin hikmah dari pembacaan taraddhi kepada para sahabat, ulama dan orang shalih hal itu merupakan sanjungan atas ketinggian derajat mereka dan juga sebagai peringatan yang menunjukan besarnya kedudukan mereka.”

Hindari kesalahan fatal yang sering dilakukan banyak orang pada saat mengerjakan shalat Tarawih, semisal tidak melakukan thuma’ninah pada saat ruku’, i’tidal, sujud dan sebagainya atau melakukan hal-hal yang dapat membatalkan shalat dan meninggalkan salah satu kefardhuan shalat. Kesalahan ini wajib dicegah, dengan memberitahu dan membenarkan kesalahan-kesalahan tersebut.

Shalat Tarawih dilaksanakan dengan thuma’ninah. Maksud dari thuma’ninah adalah diam sebentar sebagai pemisah antara bangun dan turun pada waktu ruku’, i’tidal, sujud dan duduk antara dua sujud. Hindari ruku’, i’tidal, sujud yang terlalu cepat (kurang dari batas thuma’ninah) sebagaimana banyak dilakukan orang. Saat i’tidal kedua tangan mereka masih berayun-ayun, belum thuma’ninah mereka langsung sujud. Begitu juga dengan sujud, belum thuma’ninah mereka sudah mengangkat kepala mereka.

Batasan thuma’ninah seperti yang dikatakan oleh Syeikh Sulaiman Jamal dalam kitab Hasyiyah Futuhat al-Wahhab ‘ala Fath al-Wahhab juz 1 halaman 433 adalah, diamnya anggota badan mushalli (orang yang shalat) sekira antara rukun yang satu dengan rukun berikutnya ada diam sebentar sebagai pemisah seukuran orang mengucapkan “Subhaanallaah.”

Al-Habib Abdullah ibn Alwiy al-Haddad memberikan nasehat kepada kita dalam kitab an-Nashaih ad-Diniyyah wa al-Washaya al-Imaniyyah halaman 38: ”Hindarilah pelaksanaan shalat dengan amat cepat seperti yang biasa dilakukan orang bodoh dalam melakukan shalat Tarawih, yang karena sangat cepatnya mungkin mereka melewatkan sebagian rukun, seperti meninggalkan thuma’ninah pada saat ruku’ dan sujud atau membaca al-Fatihah tidak dengan sebenarnya karena tergesagesa, sehingga shalat salah seorang diantara mereka tidak dinilai oleh Allah sebagai shalat yang berpahala, tetapi tidak dianggap meninggalkan shalat. Orang tersebut menutup shalat dengan salam berbangga (karena shalatnya cepat). Hal itu dan sejenisnya termasuk salah satu tipu daya syaithon yang paling besar kepada orang-orang beriman untuk merusak amal ibadah yang ia kerjakan. Karena itu, berhati-hatilah dan waspadalah wahai saudara-saudaraku. Apabila kalian melakukan shalat Tarawih dan shalat lain maka sempurnakanlah berdirinya, bacaan fatihahnya, ruku’nya, sujudnya, khusyu’nya, hudhurnya, rukun-rukunnya dan adab-adabnya. Jangan kalian menjadikan syaithon sebagai penguasa diri kalian, karena syaithon tidak mampu menguasai orang-orang beriman yang bertawakkal kepada Allah. Maka beradalah dalam kelompok mereka, karena syaithon itu hanya mampu menguasai orang-orang yang berpaling dari Allah dan menyekutukan Allah. Jangan kalian termasuk kelompok ini.”

Kesalahan bacaan ayat-ayat atau makhraj huruf-huruf al-Quran yang dilakukan oleh para imam dalam shalat Tarawih, juga kerap terjadi dan wajib ditanggulangi dengan memberitahukan dan mengajari bacaan/makhraj huruf yang benar. Sebaiknya dalam memberitahu dan mengajarkan orang yang salah bacaan/makhrajnya itu dilakukan dengan cara yang baik, santun dan jangan langsung menyalahkan. Karena tujuan yang baik bila cara penyampainnya kurang baik maka tidak akan berakibat baik. Sebaliknya pihak yang diberitahu jangan merasa tersinggung atau marah.

D. MENYINGKAP BENCANA

Bagi yang mengamalkan hadits Witir dalam shalat Tarawih. Di sini kita akan mengungkap kesalahan kelompok orang yang mengamalkan shalat Tarawih dengan menggunakan dalil hadits shalat Witir. Mereka beralasan dengan hadits Siti Aisyah yang menurut mereka telah memberikan sinyal bahwa shalat Tarawih hanya 11 rakaat, dengan cara 4 rakaat sekali salam, 4 rakaat sekali salam dan ditambah 3 rakaat.

Hadits Siti ‘Aisyah riwayat Imam Bukhâriy dan Imam Muslim (Selain diriwayatkan keduanya, hadits ini juga diriwayatkan oleh banyak elite ulama hadis, diantaranya:

• Imam Mâlik dalam al-Muwattha’ hadits no. 243
• Imam Abu Daud hadits no. 1143
• Imam at-Tirmidzi hadits no. 403
• Imam an-Nasâi hadits no. 1679
• Imam Ahmad Ibn Hanbal dalam kitab Musnadnya hadits no. 22944
• Imam Abdurrazzaq dalam kitab Mushannafnya hadits no. 4711
• Imam Abu Awânah dalam kitab Mustakhrajnya hadits no. 2453
• Imam Ibn Khuzaimah dalam kitab Shahihnya hadits no. 1104
• Imam Ibn Hibbân dalam kitab Shahihnya hadits no. 2665
• Imam al-Baihaqi dalam kitab as-Sunan al-Kubrâ dan Ma’rifah as-Sunan wa al-Atsâr
• Imam ath-Thahâwiy dalam kitab Musykil al-Atsâr hadits no. 2915
• Imam Abu Ishâq Râhûyah dalam kitab Musnadnya hadits no. 1003
• Imam Ibn Mundzir dalam kitab al-Aushath hadits no. 3535.

“Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam (sepanjang tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat. Kemudian aku bertanya: “Ya Rasulullah apakah Engkau tidur sebelum shalat Witir?” Kemudian beliau menjawab: “Aisyah, meskipun kedua mataku tidur, hatiku tidaklah tidur.”

Para Fuqaha dan Muhadditsin sepakat bahwa hadits Siti Aisyah di atas merupakan hadits yang menyatakan dalil shalat Witir, bukan dalil shalat Tarawih. Apabila hadits Aisyah di atas sebagai dalil shalat Tarawih, maka kita pantas mempertanyakan adakah shalat Tarawih selain di bulan Ramadhan?

Para ulama sepakat bahwa pelaksanaan shalat Tarawih itu tiap 2 rakaat salam. Sedangkan dalam pelaksanaan shalat Witir ada 3 kaifiyat:
1) Boleh dilakukan dengan cara fashl (memisahkan) yakni salam pada tiap 2 rakaat kemudian ditutup dengan satu rakaat.
2) Boleh juga dikerjakan dengan cara washal (menyambungkan) yakni dengan cara disambung tanpa salam dan tasyahhud kecuali pada rakaat kedua terakhir sebelum satu rakaat penutup.
3) Atau disambung tanpa salam dan tasyahud kecuali pada rakaat terakhir saja.

Bagi orang yang mengerjakan shalat Witir 3 rakaat, maka yang paling afdhal adalah dengan cara 2 kali salam, dua rakaat salam kemudian ditutup dengan satu rakaat salam.

Imam Abdul Karim ar-Rafi’i (w. 624 H) mengatakan dalam kitab al-Muharrar fi Fiqh Imam asy-Syafi’iy halaman 48: “Apabila seseorang mengerjakan shalat Witir lebih dari satu rakaat, 3 rakaat umpamanya, maka boleh ia kerjakan secara terpisah dengan 2 salam atau 3 rakaat satu salam, tetapi fashl lebih afdhal.”

Dari perkataan Siti Aisyah: “Pada bulan Ramadhan dan di selain Ramadhan”, jadi apabila kita baca hadits Siti Aisyah secara utuh, maka konteks hadits itu berbicara tentang sahalat Witir bukan shalat Tarawih.

Indikasi lain dari hadits Siti ‘Aisyah, yang menunjukkan shalat itu adalah shalat Witir dilihat dari perkataan Siti ‘Aisyah: “Ya Rasulullah apakah Engkau tidur dahulu sebelum mengerjakan shalat Witir?”

Imam Abu Zakariya Yahya ibn Syarf an-Nawawi ad-Dimasyqiy dalam kitab Syarh Shahih Muslim juz 6 halaman 15 juga mencantumkam hadits Siti ‘Aisyah ini dalam pembahasan shalat malam dan Witir, bukan dalam pembahasan shalat Tarawih.

Imam Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqallaniy dalam kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari juz 3 halaman 343 menyebutkan bahwa konteks hadits Siti Aisyah adalah untuk shalat Witir: “Dalam hadits Siti Aisyah menjadi dalil sesungguhnya shalat Rasulullah dalam sepanjang tahun itu sama. Hadits ini juga menunjukkan bahwa tidur sebelum melakukan shalat Witir itu hukumnya makruh, karena pertanyaan Siti ‘Aisyah kepada Rasulullah tentang shalat Witir.” Imam Ibn Hajar al-Asqallâniy tidak berkata: “Tidur sebelum shalat Tarawih itu Makruh.”

Syaikh Khalîl Ibn Ahmad al-Sahâranfûriy dalam kitab al-Badzl al-Majhûd fi Halli Abi Daûd juz 7 halaman 105 mengatakan sebagai berikut: “Sesungguhnya hadits ini (Siti ‘Aisyah) tidak memiliki hubungan dengan shalat Tarawih baik secara pengingkaran maupun penetapan seakan-akan itu shalat yang lain. Menjadikan hadits di atas sebagai dalil shalat Tarawih dengan 8 rakaat merupakan kesia-siaan (batil). Begitulah yang telah dicatatkan oleh Syaikh Muhammad Yahya al-Marhum dari statemen maha gurunya.”

Musnid ad-Dunyâ ‘Alamuddin (bendera Agama) Syaikh Muhammad Yâsîn ibn Muhammad Isâ al-Fâdâniy telah memberikan komentar hadits riwatat Siti ‘Aisyah tersebut dalam kitab al-Fawâid al-Janiyyah Hasyiyah Mawâhib as-Saniyyah halaman 496, beliau berkata: “Paling minim jumlah rakaat shalat Witir adalah satu rakaat, apabila lebih dari satu rakaat, yakni dengan 3,5,7,9 rakaat, maka termasuk jumlah rakaat akmal (sempurna) tetapi yang afdhalul kamal (paling utama) adalah 11 rakaat karena keterangan hadits Siti Aisyah tersebut.”

Imam al-Bukhâri menyebutkan hadits Siti ‘Aisyah tersebut pada 3 tempat dalam kitab Shahihnya, yaitu no. 1079 pada bab Qiyamullail fi Ramadhan wa Ghairihi, no. 1874 pada bab Fadhl Man Qama Ramadhan, no. 3304 pada bab Kana an-Nabiy Tanamu ‘Ainuh Wala Yanamu Qalbuh.

Imam Muslim memasukkannya dalam kitab Shahihnya, pada bab Shalat Lail hadits no. 1219. Imam Malik dalam kitab al-Muwattâ hadits no. 243 pada bab perintah shalat Witir.

Imam Zakariyya al-Anshâriy menyebutkannya dalam kitab-kitab beliau seperti al-Ghurar al-Bahiyyah Syarh Bahjah al-Wardiyyah, Fath al-‘Allâm Syarh Ahâdits al-‘Alâm, Tuhfah al-Bâri Syarh Shahih al Bukhari dan Asnâ al-Mathâlib Syarh Raudhat ath-Tâlib pada bab shalat Witir.

Imam as-Suyûtiy dalam Tanwîr al-Hawâlik pada bab shalat Witir. Syaikh Zakariyya al-Kandahlawiy dalam kitab Aujaz al-Masâlik pada bab shalat Tahajjud, Imam Ahmad az-Zabidiy dalam kitab at-Tajrid ash-Sharih Mukhtashar al-Jami’ ash-Shahih dalam bab shalat Tahajjud.

Imam Ibn Hajar al-Haitamiy dalam kitab Tuhfah al-Muhtâj pada bab shalat Witir. Imam Muhammad ar-Ramliy dalam kitab Nihayah al-Muhtâj dan Ghayah al-Bayân pada bab shalat Witir. Imam Abubakr Syatâ dalam I’ânah ath-Tâlibin pada bab shalat Witir.

Ibn Qudâmah al-Hanbaliy dalam kitab al-Mughniy pada bab shalat Tahajjud. Imam Abu Ja’far ath-Tahâwiy dalam kitab Syarh Ma’ani al-Atsar pada bab shalat Witir dan Imam Ali Ibn Sulthan Muhammad al-Qâriy dalam kitab Jam’ al-Wasâil fi Syarh asy-Syamâil pada bab Witir.

Ada sebagian orang beranggapan, bahwa yang diamalkan oleh mayoritas ulama dari zaman Sayidina Umar Ibn Khatthab sampai sekarang, yaitu shalat Tarawih 20 rakaat ditambah shalat Witir 3 rakaat itu merupakan hasil ijtihad Umar ibn Khatthab. Dengan demikian muncul pertanyaan: “Lebih afdhal mana antara mengamalkan 20 rakaat, hasil ijtihad Umar Ibn Khatthab dengan langsung mengamalkan tuntunan Nabi dengan 8 rakaat?”

Pertanyaan di atas, selalu menjadi senjata sakti dan ampuh bagi orang yang mengerjakan shalat Tarawih 11 rakaat, untuk menggebuk shalat Tarawih 20 rakaat. Pertanyaan tersebut, merupakan pertanyaan yang sebenarnya tidak membutuhkan jawaban. Karena pertanyaan tersebut adalah pertanyaan bodoh dan tidak nyambung dengan apa yang telah para ulama jelaskan.

Sudah kita ketahui bersama bahwa ittiba’ (ikut) kepada Rasulullah, jelas lebih afdhol dari mengikuti ajaran siapapun. Tetapi, kita perlu mempertanyakan kembali: “Apakah benar, shalat 11 rakaat dalam hadits ‘Aisyah itu, adalah shalat Tarawih Rasulullah, sedangkan istilah shalat Tarawih belum ada pada masa Rasulullah?”

Kalau memang hadits Siti Aisyah di atas menjelaskan praktek shalat Tarawih Rasulullah, mengapa Siti ‘Aisyah diam saja, tidak protes waktu para sahabat di zaman Sayidina Umar mengerjakan shalat Tarawih dengan 20 rakaat? Bukankah Siti ‘Aisyah yang meriwayatkan hadits shalat malam Rasulullah tidak lebih dari 11 rakaat baik di bulan Ramadhan dan bulan lainnya.

Apabila yang dilakukan para sahabat menyalahi praktek shalat Tarawih Rasulullah, mengapa para sahabat semuanya diam. Bahkan jumlah rakaat shalat Tarawih di zaman Sayidina Utsman Ibn Affan dan Sayidina Ali Ibn Abi Thalib pun 20 rakaat. Padahal ketika Sayidina Umar Ibn Khatthab mau membatasi besarnya mahar saja, beliau diprotes oleh seorang wanita karena hal itu bertentangan dengan al-Qur’an.

Kalau 11 rakaat merupakan shalat Tarawih Rasulullah, tentunya rakaat tersebut telah dikerjakan dan dilanggengkan oleh para sahabat, para tabi’in dan para Salafus Shalih dan juga dapat berusia panjang serta paling dahulu dilakukan para ulama di Masjidil Haram, Makkah al-Mukarramah, Masjid Nabawi, Madinah al-Munawwarah, masjid al-Aqsha dan masjid-masjid besar di dunia sampai sekarang.

Bandingkan misalnya pada masa Marwan ibn al-Hakam dari dinasti Bani Umayyah, jauh setelah masa Sayidina Umar ibn Khatthab, Marwan pernah mengubah tatanan Shalat ’Id (hari raya). Berdasarkan tuntunan Rasulullah, shalat ‘Id itu dikerjakan sebelum khutbah, berbeda dengan shalat Jum’at, yang mendahulukan khutbah baru kemudian shalat. Pada masa Marwan, apabila shalat ‘Id itu shalat didahulukan baru kemudian khutbah, maka banyak jamaah yang bubar tidak mau mendengarkan khutbah.

Karenanya, agar orang-orang itu mau mendengarkan khutbah, Marwan mengubah tatanan shalat ‘Id menjadi khutbah terlebih dahulu kemudian shalat. Apa yang terjadi kemudian? Marwan diprotes habis-habisan oleh banyak orang. ”Wahai Marwan, kamu menentang sunah Rasulullah.” (Lihat dalam kitabnya Abu Daud as-Sijistaniy, Sunan Abi Daud hadis no. 963)

Mereka keliru dalam mengikuti sunnah Nabi. Bagaimana tidak keliru? dalil yang menyatakan shalat Witir Rasulullah mereka amalkan dalam pelaksanaan shalat Tarawih. Mungkin ini yang dinamakan shalat Tarawih blasteran, lantaran mereka mencoba mengawinkan dalil shalat Witir dengan shalat Tarawih.

Permasalahan ini kemudian menjadi bertambah kusut, disebabkan salah prosedur dari awal dalam memahami konteks hadits. Pada akhirnya, terjadi kesalahan estafet yakni kesalahan selanjutnya dating diakibatkan oleh kesalahan pertama. Hanya orang-orang yang telah diselimuti kebodohan, yang mengatakan hadits ‘Aisyah di atas sebagai dalil shalat Tarawih.

Banyak orang yang mengajarkan ilmu agama, yang sebenarnya mereka harus banyak belajar terlebih dahulu. Ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah mana yang menjadi pijakan mereka. Dalam ketidaktahuan, mereka telah membunuh ilmu dengan kejahilan. Mereka ingin menjadi pioneer, ingin memandu dan menjadi lokomotif yang membawa umat, tetapi justru menyeret umat ke jurang kesesatan. Naudzubillah.

Ini merupakan suatu fenomena yang bukan hanya telah berkembang tetapi sudah menjalar sehingga sulit dibedakan secara jelas. Mereka tampil dalam wajah serta penampilan yang sama dengan para ulama dan dalam kelenturan kata yang sama, berbicara tentang ayat dan hadits. Tak ubahnya mereka bagaikan lebah dan kumbang. Hanya saja, lebah sekalipun sengatannya menyakitkan, tetapi madunya sangat banyak dimanfaatkan. Sungguh sangat beda halnya dengan kumbang yang hanya bisa membuat lubang-lubang di tiang hingga menimbulkan kerusakan.

Kalau mereka konsisten dengan hadits Siti ‘Aisyah di atas. Maka shalat 11 rakaat dengan berjamaah, juga harus mereka kerjakan di luar bulan Ramadhan sepanjang malam. Sebagaimana mereka kerjakan pada malam-malam bulan Ramadhan secara berjamaah. Kenyataannya tidak. Tidak pernah terlihat dan terdengar ada mushalla-mushalla atau masjid-masjid di luar bulan Ramadhan yang mengerjakan shalat 11 rakaat.

Hadits Siti ‘Aisyah 11 rakaat selalu mereka sebut pada bulan Ramadhan saja. Di luar bulan Ramadhan hadits itu tidak pernah mereka sebut-sebut. Lagi pula, Rasulullah melakukan shalat malam sepanjang tahun, baik di bulan Ramadhan ataupun di luar bulan Ramadhan tidak terbatas hanya 11 rakaat. Bahkan dalam banyak riwayat hadits shahih, kita akan temukan bagaimana panjang dan lamanya shalat malam yang beliau kerjakan. Salah satunya hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâriy dalam kitab Shahihnya dari Siti ‘Aisyah menyebutkan karena banyak dan lama shalat yang beliau kerjakan sampai-sampai kaki beliau pecah-pecah dan bengkak.

“Dari Aisyah berkata: “Sesungguhnya Nabi seringkali melakukan shalat qiyamullail sampai 2 tumit beliau pecah-pecah”. Aisyah bertanya: “Ya Rasulullah mengapa Engkau melakukan ibadah seperti itu bukankah engkau telah diampuni dari segala dosa?” Beliau menjawab: “Tidakkah diriku senang untuk menjadi hamba yang bersyukur.”

Keterangan demikian juga disebutkan oleh Syaikh Muhammad ibn Said al-Bushiriy, seorang ulama besar yang hidup di kalangan para penyair dan juga seorang penyair tekenal yang hidup di kalangan para ulama. Beliau mengatakan dalam Qashidah al-Burdah al-Madîh yang terkenal itu: “Aku mendzalimi ajaran seorang yang semalam suntuk melakukan shalat sunah (maksudnya Rasulullah) sehingga kedua kaki beliau terasa sakit karena bengkak.”

Betapa batilnya tuduhan-tuduhan orang yang tidak menyetujui shalat Tarawih 20 rakaat dengan menggunakan dalil, satu hadits Siti ‘Aisyah yang menerangkan satu paket shalat Witir, mereka pecah menjadi dua dalil sekaligus, 8 rakaat untuk shalat Tarawih dan 3 rakaat untuk shalat Witir. Bagi mereka yang mengatakan hadits Siti ‘Aisyah (4,4,3) sebagai dalil shalat Tarawih adalah pendapat orang yang ilmunya masih cetek. Laksana buah masih pentil belum matang, jadi masih sepet dan rada-rada getir.

Mereka hanya melihat dzahir satu hadits saja, tanpa mempertimbangkan hadits-hadits lain untuk dikompromikan dan direkonsiliasikan yang dalam istilah para pakar ulama hadis disebut “al-Jam’u wa at-Taufiq”. Mereka juga mengabaikan penjelasan para ulama.

Sebuah kesalahan fatal, apabila mencoba memahami al-Qur’an dan hadits secara langsung tanpa mengerti pandangan dari para ulama terlebih dahulu. Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab, Syaikh Abdurrahman as-Sa’adiy, Syaikh Abdul Azîz Ibn Abdullah Ibn Bâz, Syaikh Muhammad Ibn Shalih ‘Utsaimin, Syaikh Nur Ali ad-Darab, Syaikh Abdullah Ibn Qaud, Syaikh Abdullah Bassam, Syaikh Saîd Ibn Ali al-Qahtâniy.

Mereka adalah para pentolan ulama Wahhabi, mereka sepakat mengatakan bahwa: “Shalat Tarawih itu dilaksanakan dengan cara 2 rakaat, 2 rakaat.” Lihatlah kitab Muallafat Syaikh Ibn Abdil Wahhab juz 2 halaman 19, Fatawa Syaikh Abdurrahman as-Sa’diy halaman 175, Kitab Syaikh Muhammad Utsaimin Syarh Shahih al-Bukhariy juz 4 halaman 238 dan Syarh Riyadhus Shalihin juz 3 halaman 265, karya Syaikh Saîd ibn Ali al-Qahtâniy Kitab Shalatul Mu’min juz 1 halaman 347.

Begitu juga pendapat Syaikh Abdul Hamid Kisyik, Syaikh Muhammad Syaltut, Sayyid Ali Fikri, Sayyid Sabiq dan ulama lainnya mereka sepakat bahwa shalat Tarawih itu dilakukan dengan salam pada setiap 2 rakaat.

Menurut para ulama, shalat Tarawih dengan formasi 4 rakaat sekali salam itu menyalahi prosedur perkataan dan perbuatan Nabi sebagaimana riwayat hadis Imam al-Bukhari dari sahabat Nabi, Abdullah ibn Umar: “Sesungguhnya seorang lelaki bertanya: “Ya Rasulullah, bagaimana cara shalat malam?” Rasulullah menjawab: “Shalat malam itu 2 rakaat, 2 rakaat. Maka apabila engkau khawatir subuh maka shalat Witirlah engkau dengan satu rakaat.”

Lantas, Kenapa muncul pendapat yang mengatakan bahwa shalat Tarawih cara shalatnya adalah dengan 4 rakaat, 4 rakaat.? Wahabi jilid berapa mereka?

Mungkin pendapat seperti itu berpangkal pada khayalan mereka saja. Padahal tidak ada satu pendapat ulamapun dalam kitab-kitab mu’tabarah yang mengatakan Shalat Tarawih dikerjakan dengan cara 4 rakaat sekali salam, 4 rakaat sekali salam. Mereka telah menetapkan sesuatu tanpa ada dalil. Maka yang memfatwakan atau mengajarkan shalat Tarawih dilaksanakan dengan cara 4 rakaat sekali salam, merekalah yang bertanggung jawab atas hal ini.

Banyak orang terkecoh dan terjebak dalam memahami penjelasan Imam Muhammad ash-Shan’âniy dalam kitab Subul as-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm, sehingga mereka mengatakan tata cara shalat Tarawih dengan 4 rakaat sekali salam disebutkan dalam kitab itu.

Untuk menjawab tuduhan itu, mari kita lihat secara langsung redaksi Imam Muhammad ash-Shan’âniy juz 2 halaman 27, sebagai berikut: “Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam (sepanjang tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Kemudian Siti ‘Aisyah merincikan shalat Rasulullah dengan perkataannya: “Beliau shalat 4 rakaat.” Redaksi ini memiliki kemungkinan 4 rakaat dilakukan sekaligus dengan 1 salam, ini adalah yang dzahir, dan juga bisa dipahami 4 rakaat itu dilakukan secara terpisah (2 rakaat, 2 rakaat), tetapi pemahaman ini jauh hanya saja ia sesuai dengan hadits shalat malam itu dilakukan dengan 2 rakaat, 2 rakaat.”

Maksud perkataan Imam Muhammad ash-Shan’âniy: “4 rakaat dilakukan dengan sekali salam”, dipahami menurut dzahir/tekstual hadits. Sedangkan pelaksanaan 4 rakaat dengan 2 salam menjadi jauh bila tidak ada keterangan dari hadits lain. Tetapi 4 rakaat dengan cara 2 salam memiliki kekuatan dengan adanya keterangan hadits shalat malam itu dilakukan dengan 2 rakaat, 2 rakaat.

Dalam hal ini Imam asy-Syafi’i mengatakan dalam kitab ar-Risâlah halaman 148 sebagai berikut: “Setiap perkataan Rasulullah dalam hadits yang bersifat umum/dzahir diberlakukan kepada arti dzahir dan umumnya sehingga diketahui ada hadits lain yang tetap dari Rasulullah.”

Maksud dari perkataan Imam asy-Syafi’i adalah redaksi hadits yang masih bersifat umum/dzahir, boleh-boleh saja dipahami demikian adanya, dengan catatan selama tidak ada keterangan lain dari hadits Rasulullah. Tetapi bila ditemukan hadits Rasulullah yang menjelaskan redaksi dzahir dan umum satu hadits, maka hadits tersebut tidak boleh lagi dipahami secara dzahir dan umum.

Jika hendak dipertentangkan, hadits tentang shalat yang dikerjakan 2-2 lebih kuat dan lebih banyak diamalkan oleh umat sebab ia merupakan hadits qauliy (perkataan Nabi) dalam riwayat lain dikatakan juga sebagai hadits fi’liy (perbuatan Nabi), sedangkan hadits Siti ‘Aisyah 4-4 hanya merupakan hadits fi’liy (perbuatan Nabi). Ketika terjadi perbedaan antara perkataan Nabi dengan perbuatannya maka yang harus dilakukan umatnya adalah mengamalkan apa yang diperintahkannya (perkataannya), sebabnya adalah lantaran perbuatan Nabi bisa jadi merupakan kekhususan bagi beliau yang tidak berlaku bagi umatnya.

Contohnya adalah tentang kandungan surat an-Nisa ayat 3 sebagai perintah Nabi kepada para sahabat dan umatnya agar tidak memiliki istri lebih dari 4 orang. Padahal beliau sendiri di akhir hayatnya meninggalkan 9 orang istri. Dalam hal ini yang berlaku adalah kita tetap tidak boleh memiliki istri lebih dari 4. Sementara beristri lebih dari 4 merupakan kekhususan yang hanya boleh bagi Nabi. Dengan kaidah ini, maka mengerjakan shalat malam dengan 2-2 rakaat lebih tepat ketimbang mengerjakannya dengan 4-4 rakaat sekali salam, sebab bisa jadi shalat 4-4 rakaat merupakan sesuatu yang khusus bagi Nabi.

Masih ada cara lain yang paling mudah untuk memahami hadits Siti Aisyah yakni dengan mencari ucapan ‘Aisyah sendiri pada lain kesempatan. Kita tentu berhak mempertanyakan kembali apakah yang dimaksud Siti ‘Aisyah 4 rakaat benar-benar sekali salam? Ternyata Siti ‘Aisyah sendiri sebagai periwayat hadis 4-4 menjelaskan dalam hadits lain bahwa yang dimaksud dengan 4 rakaat pelaksanaannya adalah dengan 2-2.

Perhatikanlah penjelasan Siti Aisyah pada hadits berikut ini: “Dari ‘Aisyah berkata: “Seringkali Rasulullah melakukan shalat antara selesai shalat Isya yang disebut orang dengan shalat ’Atamah sampai Fajar beliau mengerjakan shalat 11 rakaat, beliau melakukan salam pada tiap 2 rakaat dan melakukan 1 rakaat Witir. Apabila seorang muadzzin selesai dari adzan shalat Shubuh yang menandakan fajar telah datang, muadzzin tersebut mendatangi beliau, beliau pun melakukan shalat 2 rakaat ringan. Setelah itu beliau berbaring (rebah-rabahan) di atas lambungnya yang kanan sampai muadzzin itu mendatangi beliau untuk Iqamah.” (Hadits tersebut disebutkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya no. 1216, Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak no. 1671, Imam ad-Darimiy dalam Sunannya no. 1447, Imam al-Baihaqiy dalam as-Sunan ash-Shughra no. 600, as-Sunan al-Kubra no. 4865 dan Ma’rifah Sunan wa al-Atsar no. 1435).

Menurut ketentuan, jika seseorang telah menjelaskan maksud dari ucapannya sendiri, maka tidak ada seorang pun berhak memberikan penafsiran atau pemahaman yang menyalahinya. Nampak jelas, shalat dengan 2-2 rakaat lebih kuat ketimbang 4 rakaat sekali salam. Dengan kata lain shalat 2-2 rakaat terjamin kebenaran dan keabsahannya.

Dari sini dapat dipahami jika ada ulama yang mengatakan shalat Tarawih dengan 4-4 sekali salam adalah tidak sah. Kalau shalat Tarawih dengan cara 4 rakaat sekali salam telah menjadi sunnah, dikerjakan dan dianjurkan oleh para ulama Salafus Shalih, maka kami sangat berharap kepada siapa saja yang lebih banyak ilmu pengetahuannya untuk mudzakaroh (berdiskusi) atau menunjukkan dalil kepada kami, kitab apa, juz berapa dan halaman berapa? Artinya: “Siapa yang mengklaim tidak setuju dengan pendapat kami, maka hendaknya ia mendatangkan dalil.”

Jika mereka memiliki sifat inshaf mau mengoreksi diri dan punya jiwa besar serta keikhlasan untuk menerima, cukuplah sudah keterangan di atas. Semua tergantung keikhlasan menerimanya. Apakah mereka akan mengakui kesalahan yang selama ini mereka kerjakan, dengan merubah shalat Tarawih 4 rakaat sekali salam, menjadi 2 rakaat setiap salamnya atau mereka tetap mempertahankan gengsi (wibawa/prestise) untuk terus-menerus dalam kesalahan.

Sayidina Umar ibn Khatthab pernah berkata: “Kembali kepada sesuatu yang benar setelah mengetahui kebenaran tersebut, lebih utama daripada tekun dalam kebathilan.” (Lihat dalam kitabnya Imam Abu Hayyan at-Tauhidiy, al-Bashair wa adz-Dzakhair juz 1 halaman 81).

Karenanya Rasulullah bersabda: “Manusia semuanya celaka kecuali orang yang berilmu. Orang berilmu pun akan celaka kecuali mereka yang mengamalkan ilmunya. Orang yang mengamalkan ilmu pun akan celaka kecuali mereka yang ikhlas. Mereka yang ikhlas itu berada dalam pangkat yang besar.” (Hadits ini kualitasnya diperselisihkan oleh para ulama).

Sudah menjadi pengetahuan yang tak tersembunyi lagi, bagi siapa saja yang tidak memiliki sifat ikhlas dan Syarhus Shudur (lapang dada/ legowo), sampai lindung berbulu mereka tidak mau menerima. Percuma bicara kepada mereka, dalil panjang seperti apapun tetap saja mereka ingkari. Sebagaimana ungkapan para ulama: “Orang yang ingkar, tidak memberi manfaat baginya keterangan yang panjang, walaupun dibacakan kepadanya Taurat dan Injil.” (Lihat dalam kitabnya KH. Muhammad Syafi’i Hadzami, Taudhîh al-Adillah juz 1 halaman 232).

Mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan kepada kita pemahaman agama yang benar, kesempurnaan ikhlas dan kemantapan yaqin. Allah jadikan kita semua menjadi orang yang selalu ingin banyak tahu tentang ilmu bukan menjadi orang yang sok tahu. Sebab dari rasa ingin tahu itulah yang membuat kita selalu ingin mempelajari sesuatu. Bukan sifat sok tahu yang membuat kita meremehkan dan tidak mau menerima nasehat/pendapat orang lain. Kebenaran akan tertutup dan nasehat apapun tidak bermanfaat.

Perhatikan baik-baik nasehat ulama berikut ini: “Apabila akal seseorang sudah menyimpang dari ilmu, maka apa lagi yang dapat dikatakan oleh para penasehat (para penasehat tak akan mampu menasehatinya).” (Lihat dalam kitabnya Al-Imam Muhammad ibn Saîd al-Bûshiriy, Dîwân al-Bûshiriy halaman 19 dan dalam kitabnya al-Habib Alwi ibn Ahmad al-Haddâd, Syarh Râtib al-Haddâd halaman 251).

Ya Allah, Janganlah Kau jadikan musibah dalam perkara agama kami. Janganlah Kau jadikan dunia sebagai hal terbesar yang kami inginkan dan puncak terakhir bagi pengetahuan kami.

E. NIAT PUASA RAMADHAN

Wajib bagi seseorang yang akan berpuasa Ramadhan, untuk melakukan niat puasa pada setiap malam hari antara ghurub (terbenam matahari) hingga terbit fajar. Meskipun setelah ia berniat lalu terjadi sesuatu yang membatalkan puasa di malam hari sampai sebelum fajar, itu tidak apa-apa sebab puasa itu dikerjakan dari terbit fajar sampai Maghrib. Pada saat berniat puasa seseorang dituntut menentukan puasa yang hendak ia kerjakan.

Menurut pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Syafi’i, bila seseorang pada malam pertama berniat puasa Ramadhan untuk sebulan penuh, maka ia tidak mendapat dari niat itu melainkan hari pertama saja, lantaran ibadah puasa pada hari-hari bulan Ramadhan, merupakan ibadah yang mustaqillah (independen) tidak cukup bila dilakukan dengan niat borongan untuk sebulan penuh, ia wajib untuk memperbaharui niat itu setiap hari.

Berbeda dengan pendapat madzhab Imam Malik, yang berpandangan tidak disyaratkan niat puasa setiap hari, cukup dengan sekali niat saja dalam melaksanakan puasa Ramadhan sebulan penuh. Sedangkan menurut madzhab Imam Abi Hanifah niat hukumnya wajib dilakukan setiap hari setelah matahari terbenam hingga sebelum tengah siang. Jadi, seseorang boleh berniat puasa Ramadhan pada awal siang, jika ia lupa berniat di malam hari. (Lihat dalam kitabnya Sayyid Abubakr ibn Muhammad Syatha ad-Dimyathiy, Hasyiyah I’anah ath-Thalibin juz 2 halaman 249).

Akan tetapi sebagai antisipasi, niat borongan itu baik bila dikerjakan. Menurut para ulama, niat borongan memiliki 2 keutamaan: Pertama, dianggap sah puasa seseorang pada hari dimana ia lupa berniat di malamnya. Kedua, seseorang akan mendapat pahala puasa Ramadhan sebulan penuh jika ia wafat, walaupun Ramadhan belum sempurna.

Pendapat mu’tamad dalam madzhab Syafi’i yang mengatakan wajib meletakan atau memperbaharui niat setiap puasa pada malam hari, berdasarkan keterangan hadits sebagai berikut: “Siapa yang tidak menginapkan/meletakan niat sebelum fajar maka tidak sah puasanya.” (Hadis ini termasuk hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasai dalam kitab Sunannya, Imam ad-Darimiy dalam kitab Sunannya, Imam ad-Daraqutniy dalam kitab Sunannya dan Imam al-Baihaqiy dalam kitab as-Sunan al-Kubra. Ad-Daruqutniy berkata: “Periwayat hadis ini tsiqat (terpercaya).” Lihat dalam kitabnya Abdullah Ibn Yusuf az-Zailaiy, Nashb ar-Râyah fî Takhrîj al-Ahâdits al-Hidâyah juz 4 halaman 370).

Tabyit (meletakan niat pada malam hari) hukumnya wajib pada kategori puasa fardhu seperti: puasa Ramadhan, puasa qadha’, puasa kaffarat (dzihar, membunuh, jima’ pada siang bulan Ramadhan), puasa sebelum melakukan shalat Istisqa (minta hujan) apabila diperintah oleh hakim, puasa orang yang melaksanakan ibadah haji sebagai ganti dari dzabh (penyembelihan hewan) atau bayar fidyah dan puasa nadzar. (Lihat dalam kitabnya al-Habib Hasan bin Ahmad al-Kâf, at-Taqrîrât as-Sadîdah juz 1 halaman 435).

Adapun puasa sunnah, tidak wajib melakukan niat. Hukumnya boleh bagi seseorang yang ingin berpuasa sunnah melakukan niat puasa di siang hari dengan 2 syarat: Pertama, ia berniat sebelum zawal (tergelincirnya matahari). Kedua, ia belum melakukan sesuatu yang membatalkan puasa dari terbit fajar sampai ia berniat. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibn Ruslan dalam Matn Zubadnya: “Syarat puasa sunnah adanya niat yang dilakukan setiap hari sebelum zawal (condongnya matahari dari titik kulminasi). Jika puasa Fardhu kami mensyaratkan niat yang dita’yinkan peletakan niat itu dari malam hari.”

1. Niat Puasa Fardhu

a) Masuk waktu niatnya dari terbenam matahari sampai terbit fajar. Tabyit niat hukumnya wajib sekalipun bagi anak kecil.
b) Wajib ta’yin (spesifikasi) penyebutan puasa yang dikerjakan seperti: puasa Ramadhan, puasa kaffarat, puasa nadzar atau puasa qadha.
c) Tidak boleh seseorang menggabung dua puasa fardhu pada satu hari. Seperti ia gabung niat puasa qadha dan puasa kaffarat atau seumpamanya.

2. Niat Puasa Sunnah

a) Masuk waktu niatnya dari terbenam matahari, berlangsung sampai zawal (condong matahari ke barat). Tabyit niat hukumnya tidak wajib.
b) Tidak wajib ta’yin (spesifikasi) penyebutan puasa yang dikerjakan, kecuali apabila puasa sunnah tersebut termasuk puasa sunnah muaqqat (ditentukan waktunya) seperti: puasa Tarwiyah, ‘Arafah, Syawwal, Tasu’a, ‘Asyura dan lain sebagainya.
c) Boleh seseorang menggabung dua puasa sunnah atau lebih dalam satu niat.

3. Tahqiq Lafadz Niat Puasa Ramadhan

“Nawaitu shauma ghodin ‘an adaa-i fardhi syahri Ramadhaani haadzihissanati lillaahi ta’aalaa.” Artinya: Aku niat puasa esok hari untuk menunaikan kefardhuan bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Taala.

Para ulama telah memberikan tahqiq dhabith (catatan) pada lafadz “Ramadhaani” dalam bacaan niat di atas, untuk dibaca dengan dijarkan/dikasrahkan lantaran kata “Ramadhaani” di sini telah diidhofahkan (disandarkan) dengan kata “haadzihissanati” sebagai mudhaf ilaih. Bagi para pecinta ilmu, tentunya penjelasan ini bukan perkara yang sulit untuk diketahui. (kecuali bagi orang yang telah diselimuti oleh kebodohan).

Dalam ilmu Nahwu, kata “Ramadhani” termasuk salah satu kalimat isim ghairu munsharif (nama yang tidak menerima tanwin). Hal ihwal isim ghairu munsharif menurut pakar ulama Nahwu, jika ia dalam keadaan rafa’ maka ia dirafa’kan dengan dhammah, diwaktu nashab dinashabkan dengan fathah, dan saat dikhafadhkan atau dijarkan dengan fathah, berbeda dengan isim munsharif (yang menerima tanwin), ia dijarkan/dikhafadkan dengan kasrah. Kaidah tersebut berlaku bila kalimat isim ghairu munsharif tidak diidhafahkan kepada kata selanjutnya (mudhaf ilaih). Bila kalimat isim ghairu munsharif diidhafahkan kepada kalimat selanjutnya (mudhaf ilaih) maka gugurlah hukum ke-ghairumunsharifan-nya, dan kalimat tersebut dibaca dengan kasrah.

Sebagaimana Imam Ibn Malik berkata dalam Alfiyyahnya: ”Kalimat isim ghairu munsharif dijarkan dengan fathah, selama ia tidak diidhafahkan atau diiringi dengan alif dan lam.”

Kitab yang terkenal dengan nama Alfiyyah atau sering juga disebut kitab al-Khulâsah. Sebuah kitab nadzam terdiri dari 1000 bait, dan 80 bab. Kitab Alfiyyah ini menampilkan teori-teori nahwiyyah dan ash-Sharfiyyah yang dianggap penting, menerangkan hal-hal yang rumit dengan bahasa yang singkat, tetapi sanggup menghimpun kaidah yang berbeda-beda, sehingga dapat membangkitkan perasaan senang bagi orang yang ingin mempelajari isinya. Kitab hasil karya Muhammad Ibn Abdullah ibn Mâlik al-Andalusiy (600-672 H).

Alfiyyah adalah kitab yang amat banyak dibantu oleh ulama lain dengan menulis catatan kaki, syarah, dan hasyiyah. Dari sekian banyak ulama yang memberikan komentar terhadap kitab Alfiyyah ini, muncullah Imam ibn Aqil memberikan ulasan dalam kitabnya Syarh Ibn Aqil. Kitab Syarh Ibn Aqil kemudian diberikan tahqiq oleh Syaikh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid terdiri dari 2 jilid besar. Syaikh Ahmad ibn Umar al-Asqathiy dengan nama al-Qaul al-Jamil. Dan juga diberikan hasyiyah oleh Syaikh Muhammad al-Khudhariy dengan nama Hasyiyah al-Khudhariy dan Syaikh Ahmad as-Sujaiy dengan nama Hasyiyah Fath al-Jalil.

Disamping itu, ada juga para ulama yang memiliki konsentrasi khusus membahas Syawahid (Syair-sayir yang dijadikan saksi penguat) kitab Syarh Ibn Aqil. Diantara mereka yaitu Syaikh Abdul Mun’im Awadh al-Jurjawiy dan Syaikh Muhammad Qatthah al-Adawiy.

Perkataan Imam ibn Malik di atas dijelaskan oleh Imam Bahauddin Abdullah ibn Aqil (698-769 H) dalam Syarh Ibnu Aqil juz 1 halaman 77 sebagai berikut: “Isim yang tidak menerima tanwin hukumnya dirafa’kan dengan dhammah, contohnya “Jaa-a Ahmadu”, dinashabkan dengan fathah contohnya “Roaitu Ahmada”, dijarkan dengan fathah contohnya “Roaitu bi Ahmada”, fathah disini menggantikan kasrah. Ketentuan ini berlaku apabila kalimat isim yang tidak menerima tanwin tidak diidhafahkan atau diiringi alif dan lam. Jika ia diidhafahkan, maka ia dijarkan dengan kasrah, contohnya “marortu bi Ahmadikum”, begitu juga bila ia dimasukan alif dan lam, contohnya “marortu bi al-Ahmadi”, maka ia dijarkan dengan kasrah (bukan fathah).”

Apa yang penulis paparkan di atas bukan untuk menyalahkan bacaan niat puasa yang telah dilakukan banyak orang, yaitu lafadz Ramadhon yang dibaca fathah pada niat di atas tidak merusak niat puasa seseorang, hanya saja bacaan tersebut dipandang salah menurut para pakar ulama Nahwu (ahli kaidah bahasa Arab). Demikianlah tahqiq para ulama yang penulis dengar langsung dari para guru mulia kami. Penjelasan tersebut, kita akan temukan bila kita membaca langsung kitab-kitab mu’tabar para ulama dalam bab yang menjelaskan niat puasa Ramadhan.

F. DAFTAR PUSTAKA

• Abdurrahman Nawi, Tujuh Kaifiyat Sembahyang Sunah, tt. dan Tiga Kaifiyat Sembahyang Sunah, tt.
• Ali Mushtafa Ya’kub, Hadits-Hadits Palsu Seputar Ramadhan, Pustaka Firdaus:Jakarta, 2003 dan Pengantar buku Otentitas Hadits Shalat Tarawih 20 Rakaat, Pustaka Firdaus:Jakarta, 2003
• Muhammad Hanif Muslih, Kesahihan Dalil Shalat Tarawih 20 Rakaat, Santri:Surabaya, 1997
• Muhammad Ilyas Marwal, Kritik atas Pembid’ahan Shalat Tarawih 20 Rakaat, Pustaka Firdaus:Jakarta, 2008
• Muhammad Nur Ikhwan, Risalah Shalat Tarawih, Menara Kudus:Yogyakarta, 2003
• Saifuddin Amsir, Pluralisme: Profanisasi Kesakralan Islam, (Makalah ini dipresentasikan pada acara Halaqah Ulama dan tokoh Masyarakat, Jakarta 1 Muharram 1427/31 Januari 2006)
• Sirojuddin Abbas, 40 Masalah Agama, vol. 1, Pustaka Tarbiyah:Jakarta, 2004
• Syarif Rahmat. SQ, Menimbang Amalan Tradisional, Cahaya Bintang Swara:Jakarta, 2006
• Utsman Ibn Ahmad Askar, Tadzkirah an-Nafiah, Rafi Jaya Press, 1998
• Utsman Perak, ar-Ruud ash-Shaiqah fi Mahwi al-Firaq az-Zaighah, kantor Haji Ibrahim:Jakarta, 1934
• H. Softwer dan CD; al-Maktabah asy-Syamilah. (Softwer untuk kitab-kitab Khazanah Islam), al-Ishdar al-Awwal (edisi pertama), Ishdar ats-Tsani (edisi kedua) dan Ishdar al-Khamis (edisi kelima), Maktabah Fiqh wa Ushulih (softwer kitab-kitab Fiqh dan Ushul Fiqh).

Khadimul Janabin Nabawiy

H. Rizqi Zulqornain al-Batawiy


Filed under: Seni

Bedanya BOSS dengan Pemimpin?

$
0
0
bedanya BOSS dengan Pemimpin?
1.Seorang BOS menciptakan rasa takut dalam diri anak buahnya
Seorang PEMIMPIN membangun kepercayaan

2. Seorang BOS mengatakan “saya”.
Seorang PEMIMPIN mengatakan “kita”

3. Seorang BOS tahu bagaimana pekerjaan harus dilakukan.
Seorang PEMIMPIN tahu bagaimana suatu karier harus ditempa

4. Seorang BOS mengandalkan kekuasaan.
Seorang PEMIMPIN mengandalkan kerjasama.

5. Seorang BOS menyetir
Seorang PEMIMPIN memimpin

6. Seorang BOS menyalahkan
Seorang PEMIMPIN menyelesaikan masalah dan memperbaiki kesalahan

7. Seorang BOS menguasai 10% tenaga kerja bermasalah.
Seorang PEMIMPIN menguasai 90% tenaga kerja yang kooperatif.

8. Seorang BOS menyebabkan dendam bertumbuh.
Seorang PEMIMPIN memupuk antusiasme yang bertumbuh

9. Seorang BOS menyebabkan pekerjaan menjemukan
Seorang PEMIMPIN menyebabkan pekerjaan menyenangkan/menarik

10. Seorang BOS melihat masalah sebagai musibah yang akan menghancurkan perusahaan
Seorang PEMIMPIN melihat masalah sebagai kesempatan yang dapat diatasi staff yang bersatu padu, dan berubah menjadi pertumbuhan.

11. INGAT. SEORANG BOS BERKATA, “PERGI!”
SEORANG PEMIMPIN BERKATA, “AYO PERGI”
Filed under: Seni

Tuntunan Bacaan Sholat, Sehingga Mengerti Apa yang Diucapkan

$
0
0

“Bila engkau hendak sholat, sempurnakanlah wudhu’mu, kemudian berdirilah menghadap ke kiblat, lalu bertakbirlah.” (HR. Bukhari, Muslim)

Allah Ta’ala berfirman: Janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan [QS An Nisaa 43]

Makna ayat tsb adalah jangan sholat dengan tidak mengerti apa yang diucapkan.

Takbir

اَللهُ أَكْبَرُ

Alloohu Akbar 

Allah Maha Besar

Istiftah

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلاَ إِلَـهَ غَيْرُكَ

Subhaanakallahumma wabihamdik, watabaarakasmuk, wata’aala jadduk, walaa ilaha ghoiruk

Maha Suci Engkau Allah, aku memujiMu, Maha Berkah akan nama-Mu, Maha Tinggi kekayaan dan kebesaranMu, tiada Ilah yang berhak disembah selain Engkau

[Shahih Tirmizdi & Shahih Ibnu Majah]

Isti’adzah / Ta’awwudz

أَعُوذُ بِاَللَّهِ اَلسَّمِيعِ اَلْعَلِيمِ مِنَ اَلشَّيْطَانِ اَلرَّجِيمِ  مِنْ هَمْزِهِ  وَنَفْخِهِ  وَنَفْثِهِ

A’uudzubillahissami’il alim minasysyaithonirrojim min hamzihi  wanafkhihi  wanaftsihi

Aku berlindung kepada Allah yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk dari godaannya tipuannya dan rayuannya

-atau-

أَعُوْذُ بِاللِه مِنَ الشََّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

A’uudzubillahi minasysyaithonirrojim

Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk

Membaca Al Fatihah

Membaca Ayat Al Quran

Takbir

Ruku’

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ

Subhaanakallahumma robbanaa wabihamdik, Allohumaghfirlii

Maha Suci Engkau Allah, Rabb-ku, aku memujiMu, Ya Allah ampunillah kesalahanku.

[HR. Bukhari dan Muslim]

I’tidal

سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ

Sami’alloohu liman hamidah

Semoga Allah mendengar pujian orang yang memujiNya

[HR. Bukhari]

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ

Robbanaa walakalhamd, hamdan katsiiron, thoyyiban mubaarakan fiih

Wahai Rabb kami, bagiMu segala puji, aku memujiMu dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh dengan berkah

[HR. Bukhari]

Takbir

Sujud

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ

Subhaanakallahumma robbanaa wabihamdik, Allohumaghfirlii

Maha Suci Engkau Allah, Rabb-ku, aku memujiMu, Ya Allah ampunillah aku.

[HR. Bukhari dan Muslim]

Takbir

Duduk Antara Dua Sujud

رَبِّ اغْفِرْ لِيْ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ

Robbighfirlii, Robbighfirlii

Rabbku, ampunilah kesalahanku. Rabbku, ampunilah kesalahanku.

Takbir

Sujud

Takbir

Bangkit berdiri atau duduk Tasyahud

Duduk Tasyahud

Dari Wail bin Hujr radhiyallahu anhu, dia berkata:

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan kedua tangan dan sikunya di atas pahanya, dan meletakkan kedua ujung jarinya di atas kedua lututnya, dengan posisi menggenggam jarinya dan membentuk lingkaran. Kemudian beliau mengangkat jari telunjuknya dan berdo’a sambil menggerakkannya.” (HR. Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ad-Darimi, Ibnul Jarud, Ath-Thabarani, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Bahaqi dan Ibnul Jauzi)

Abdullah bin Sakhbarah Abu Ma’mar berkata: Aku mendengar Ibnu Mas’ud berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajariku tasyahud, telapak tanganku di antara kedua telapak tangan beliau sebagaimana beliau mengajariku beberapa surat dari Al Qur’an, beliau mengucapkan:

التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ، وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

atahiyyaatu lillah, washshalawaatu, waththayyibaatu,

assalamu ‘alayka ‘ayyuhannabiyyu warahmatulloohi wabarakaatuh,

assalamu ‘alaynaa wa’ala ‘ibaadilhishshaalihiin

asyhadu anlaa ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadan abduhu warasuuluh

(Segala penghormatan hanya milik Allah, juga segala pengagungan dan kebaikan. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepadamu, wahai Nabi, begitu juga rahmat dan berkahNya. Kesejahteraan semoga terlimpahkan kepada kita dan hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang hak disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya)

Saat itu beliau berada di tengah-tengah kami namun ketika beliau telah wafat kami mengucapkan: Assalamu ‘alan Nabiyyi

[HR Ahmad no. 3935]

Bersholawat

Dari Abu Mas’ud bahwa Basyir Ibnu Sa’ad bertanya: “Wahai Rasulullah, Allah memerintahkan kepada kami untuk bersholawat padamu bagaimanakah cara kami bersholawat padamu?” beliau diam kemudian bersabda: “Ucapkanlah:

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ  وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ  كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ

وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ  وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ  كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ

فِي اَلْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

Allohumma sholli ‘ala Muhammadin wa ‘ala aali Muhammad, kamaa shollaita ‘ala aali Ibrahim.

Wabaarik ‘ala Muhammadin wa ‘ala aali Muhammad, kamaa baarokta ‘ala aali Ibrahim.

Fiil ‘aalamina innaka hamidun majid.

(Ya Allah limpahkanlah rahmat atas Muhammad dan keluarganya sebagaimana telah Engkau limpahkan rahmat atas Ibrahim. Berkatilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau telah memberkati Ibrahim.

Di seluruh alam ini Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung)

kemudian salam sebagaimana yang telah kamu ketahui.” [HR. Muslim]

Dalam hadits tersebut Ibnu Khuzaimah menambahkan: “Bagaimanakah cara kami bersholawat padamu jika kami bersholawat padamu pada waktu sholat.”  [Sumber: Bulughul Maram]

Doa Setelah Tasyahud Akhir Sebelum Salam

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ

Allohumma innii a’uudzu bika min ‘adzaabilqobri, wamin ‘adzaabi jahannam, wamin fitnatilmahya walmamaati, wamin syarri fitnatil masiihid dajjaal

Ya Allah, Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari siksa kubur, siksa neraka Jahanam, fitnah kehidupan dan setelah mati, serta dari kejahatan fitnah Almasih Dajjal

[HR Muslim]

Salam

assalaamu ‘alaykum warahmatulloohi wabarakaatuh

Usai salam dapat dilanjutkan dengan dzikir ba’da sholat.

Untuk waktu Shubuh dapat dilanjutkan dengan dzikir pagi.

Untuk waktu Ashar dapat dilanjutkan dengan dzikir petang.


Filed under: Seni

DOA KANZUL ARASY

$
0
0

بسم الله الرحمن الرحيم
Bismillaahir Rahmanir Rahiim
Dengan menyebut nama allah yang maha pemuran lagi maha penyayang
لااله الا الله سبحن الملك القدوس
Laa ilaaha illallaahu subhaana malikil qudduus
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah,mahasuci raja yang mahaqudus.
لااله الا الله سبحن العزيز الجبار
Laa ilaaha illallaahu subhaana `aziizil jabbaar
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci tuhan yang maha perkasa lagi maha kuasa
لااله الا الله سبحن الرء وف الرحيم
Laa ilaaha illallaahu subhaana rauufir rahiim
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha ssuci tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang
لااله الا الله سبحن الغفور الرحيم
Laa ilaaha illallaahu subhaana ghafuurir rahiim
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha pengampun lagi maha penyayang
لااله الا الله سبحن الكريم الحكيم
Laa ilaaha illallaahu subhaana kariimil hakiim
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang mahamulia lagi mahabijaksana
لااله الا الله سبحن القوي الوفي
Laa ilaaha illallaahu subhaana qawiyyil wafiy
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha kuat lagi maha memenuhi
لااله الا الله سبحن اللطيف الخبير
Laa ilaaha illallaahu subhaana lathiifil khabiir
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang mahahalus lagi mahamengetahui
لااله الا الله سبحن الصمد المعبود
Laa ilaaha illallaahu subhaana shamadil ma`buud
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang bergantung kepadanya segala sesuatu lagi yang disembah
لااله الا الله سبحن الغفور الودود
Laa ilaaha illallaahu subhaana ghafuuril waduud
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha pengampun lagi maha pecinta.
لااله الا الله سبحن الوكيل الكفيل
Laa ilaaha illallaahu subhaana wakiilil kafii
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha penolong lagi maha pelindung
لااله الا الله سبحن الرقيب الحفيظ
Laa ilaaha illallaahu subhaana raqiibil hafizh
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha mengawasi lagi maha memelihara
لااله الا الله سبحن الدائم القائم
Laa ilaaha illallaahu subhaana daa-imil qaa-imi
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang kekal lagi mengurus mahluk nya
لااله الا الله سبحن المحي المميت
Laa ilaaha illallaahu subhaana muhyil mumiit
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang menghidupkan lagi yang mematikan.
لااله الا الله سبحن الحي القيوم
Laa ilaaha illallaahu subhaana hayyil qayyuum
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus mahluk nya
لااله الا الله سبحن الخالق البارئ
Laa ilaaha illallaahu subhaana khaaliqil baari-I
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang menciptakan lagi menjadikan
لااله الا الله سبحن العلي العظيم
Laa ilaaha illallaahu subhaana aliyyil azhiim
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha tinggi lagi maha besar
لااله الا الله سبحن الواحد الاحد
Laa ilaaha illallaahu subhaana waahidil ahadi
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang satu lagi esa
لااله الا الله سبحن المئو من المهيمن
Laa ilaaha illallaahu subhaana mu-minil muhaimini
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang memberikan keamanan lagi maha memelihara
لااله الا الله سبحن الحبيب الشهيد
Laa ilaaha illallaahu subhaana khabiibisy syahiid
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha mencintai lagi maha memyaksikan
لااله الا الله سبحن الحليم الكريم
Laa ilaaha illallaahu subhaana haliimil kariim
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha penyantun lagi maha mulia

لااله الا الله سبحن الاول القديم
Laa ilaaha illallaahu subhaana awwalil qadiim
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang pertama lagi maha terdahulu
لااله الا الله سبحن الاول الاخر
Laa ilaaha illallaahu subhaana awwalil aakhir
Pertama lagi yang terakhir
لااله الا الله سبحن الظاهر الباطن
Laa ilaaha illallaahu subhaana zhaahiril baathini
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang lahir lagi yang batin (nyata lagi tersembunyi)
لااله الا الله سبحن الكبير المتعال
Laa ilaaha illallaahu subhaana kabiiril muta`aali
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha besar lagi maha tinggi
لااله الا الله سبحن القاضى الحاجات
Laa ilaaha illallaahu subhaanal qaadhil haajaat
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang memenuhi semua keperluan
لااله الا الله سبحن رب العرش العظيم
Laa ilaaha illallaahu subhaana rabbil `arsyil `azhiim
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang menguasai arsyi yang besar
لااله الا الله سبحن الرحمن الرحيم
Laa ilaaha illallaahu subhaanar rahmaanir rahiim
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha pemurah lagi maha penyayang
لااله الا الله سبحن ربي الاعلى
Laa ilaaha illallaahu subhaana rabbiyal a`laa
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhanku yang maha tinggi
لااله الا الله سبحن البرهان السلطان
Laa ilaaha illallaahu subhaanal burhaanis sulthaan
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang memiliki bukti lagi kekuasaan
لااله الا الله سبحن السميع البصير
Laa ilaaha illallaahu subhaanas samii`il bashiir
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha mendengar lagi mahamelihat
لااله الا الله سبحن الواحد القهار
Laa ilaaha illallaahu subhaanal waahidil qahhaar
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang satu lai yang maha mengalahkan
لااله الا الله سبحن العليم الحكيم
Laa ilaaha illallaahu subhaanal `aliimil hakiim
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang mahamengetahui lagi maha bijaksana
لااله الا الله سبحن الستار الغفار
Laa ilaaha illallaahu subhaanas sattaaril ghaffaar
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha menutupi kesalahan lai maha pengampun

لااله الا الله سبحن الرحمن الديان
Laa ilaaha illallaahu subhaanar rahmaanid dayaani
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha pemurah lagi maha membalas
لااله الا الله سبحن الكبير الاكبر
Laa ilaaha illallaahu subhaanal kabiiril akbar
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha agung lagi maha besar
لااله الا الله سبحن العليم العلام
Laa ilaaha illallaahu subhaanal `aliimil `allaam
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha mengetahui lagi maha memeriksa
لااله الا الله سبحن الشافى الكافي
Laa ilaaha illallaahu subhaanasy syaafil kaafii
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang menyembuhkan lagi maha mencukupi
لااله الا الله سبحن العظيم الباقي
Laa ilaaha illallaahu subhaanal `azhiimil baaqii
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha besar lagi kekal
لااله الا الله سبحن الصمد الاحد
Laa ilaaha illallaahu subhaanash shamadil ahadi
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang bergantung kepadanya segala sesuatu lagi esa
لااله الا الله سبحن رب الارض والسموت
Laa ilaaha illallaahu subhaana rabbil ardhi was samaawaat
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang menguasai bumi dn langit
لااله الا الله سبحن خالق المخلوقات
Laa ilaaha illallaahu subhaana khaaliqil makhluuqaat
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan prncipta semua mahluk
لااله الا الله سبحن من خلق اليل والنهار
Laa ilaaha illallaahu subhaana man khalaqal laila wan nahaar
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang menciptakan malam dan siang hari
لااله الا الله سبحن الخالق الرزاق
Laa ilaaha illallaahu subhaanal khaaliqir razzaaq
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang menciptakan lagi yang memberi rizki
لااله الا الله سبحن الفتاح العليم
Laa ilaaha illallaahu subhaanal fattaahil `aliim
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha memberi keputusan lagi maha mengetahui
لااله الا الله سبحن العزيز الغني
Laa ilaaha illallaahu subhaanal `aziizil ghaniyyi
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha perkasa lagi maha kaya
لااله الا الله سبحن الغفور الشكور
Laa ilaaha illallaahu subhaanal ghafuurisy syakuur
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha pengampun lagi maha mensyukuri
لااله الا الله سبحن العظيم العليم
Laa ilaaha illallaahu subhaanal `azhiimil `aliim
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha besar lagi maha mengetahui
لااله الا الله سبحن ذى الملك والملكوت
Laa ilaaha illallaahu subhaana dzil mulki wal malakuut
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang memiliki kerajaan bumi dan langit
لااله الا الله سبحن ذى العزة والعظمة
Laa ilaaha illallaahu subhaana dzil `izzati wal`azhamah
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang mempunyai keagungan dan kebesaran
لااله الا الله سبحن ذي الهيبة والقدرة
Laa ilaaha illallaahu subhaana dzil haibati wal qudrah
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang mempunyai pengaruh dan kekuasaan
لااله الا الله سبحن الكبرياء والجبروت
Laa ilaaha illallaahu subhaana dzil kibriyaa-i wal jabaruut
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang memiliki kekuasaan dan kebesaran
لااله الا الله سبحن الستار العظيم
Laa ilaaha illallaahu subhaanas sattaaril `azhiim
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha menutupi kesalahan lai maha besar
لااله الا الله سبحن العالم الغيب
Laa ilaaha illallaahu subhaanal `aalimil ghaibi
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang mengetahui hal yang ghaib
لااله الا الله سبحن الحميد المجيد
Laa ilaaha illallaahu subhaanal khamiidil majiid
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha terpuji lagi maha mulia
لااله الا الله سبحن الحكيم القديم
Laa ilaaha illallaahu subhaanal khakiimil qadiim
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha bijaksana lagi maha terdahulu
لااله الا الله سبحن القادر الستار
Laa ilaaha illallaahu subhaanal qaadiris sattaar
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha kuasa lagi maha menutupi
لااله الا الله سبحن السميع العليم
Laa ilaaha illallaahu subhaanas samii`il `aliim
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha mendengar lagi maha mengetahui
لااله الا الله سبحن الغني العظيم
Laa ilaaha illallaahu subhaanal ghaniyyil `azhiimi
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha kaya lagi maha besar

لااله الا الله سبحن العلام السلام
Laa ilaaha illallaahu subhaanal `allaamis salaam
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha mengetahui lai maha sejahtera
لااله الا الله سبحن الملك النصير
Laa ilaaha illallaahu subhaanal malikin nashiir
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang menjadi raja lagi maha penolong
لااله الا الله سبحن الغني الرحيم
Laa ilaaha illallaahu subhaanal ghaniyyir rahmaan
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha kaya lagi maha pemurah
لااله الا الله سبحن القريب الحسنات
Laa ilaaha illallaahu subhaanal qariibil hasanaat
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang dekat kebaikan kebaikan nya
لااله الا الله سبحن الولي الحسنات
Laa ilaaha illallaahu subhaanal waliyyil hasanaat
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang menguaai kebaikan kebaikan
لااله الا الله سبحن الصبور الستار
Laa ilaaha illallaahu subhaanash shabuuris sattaar
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha penyabar lagi maha menutupi kesalahan
لااله الا الله سبحن الخالق النور
Laa ilaaha illallaahu subhaanal khaaliqin nuur
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang menciptakan nur
لااله الا الله سبحن الغني المعجز
Laa ilaaha illallaahu subhaanal ghaniyyil mu`jiz
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha kaya lagi maha mengalahkan
لااله الا الله سبحن الفاضل الشكور
Laa ilaaha illallaahu subhaanal fadhilisy syakuur
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha mulia lagi maha mensyukuri
لااله الا الله سبحن الغني القديم
Laa ilaaha illallaahu subhaanal ghaniyyil qadiim
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha kaya lagi maha terdahulu
لااله الا الله سبحن ذى الجلال المبين
Laa ilaaha illallaahu subhaana dzil jalaalil mubiin
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang mempunyai keagungan lagi maha menerangkan
لااله الا الله سبحن الخالص المخلص
Laa ilaaha illallaahu subhaanal khaalishil mukhlish
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang murni lai memurnikan
لااله الا الله سبحن الصادق الوعد
Laa ilaaha illallaahu subhaanash shaadiqil wa`di
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang benar janji nya

لااله الا الله سبحن الحق المبين
Laa ilaaha illallaahu subhaanal khaqqil mubiin
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang hak lagi yang menerangkan
لااله الا الله سبحن ذى القوة المتين
Laa ilaaha illallaahu subhaana dzil quwwatil matiin
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang mempunyai kekuatan lagi maha kokoh
لااله الا الله سبحن القوي العزيز
Laa ilaaha illallaahu subhaanal qawiyyul `aziiz
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha kuat lagi maha perkasa
لااله الا الله سبحن الحي الذي لا يموت
Laa ilaaha illallaahu subhaanal khayyil ladzii laa yamuut
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang hidup lagi tidak mati
لااله الا الله سبحن العلام الغيوب
Laa ilaaha illallaahu subhaanal `allaamil ghuyuub
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha mengetahui semua yang ghaib
لااله الا الله سبحن الستار العيب
Laa ilaaha illallaahu subhaanas sattaaril `uyuub
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha menutupi semua cacat (aib)
لااله الا الله سبحن ذى الغفران المستعان
Laa ilaaha illallaahu subhaana dzil ghufraanil musta`aan
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang mempunyai ampunan lagi dimintai pertolongan
لااله الا الله سبحن رب العالمين
Laa ilaaha illallaahu subhaana rabbil `aalamiin
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan semesta alam
لااله الا الله سبحن الرحمن الستار
Laa ilaaha illallaahu subhaanar rahmaanis sattaar
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha pemurah lagi maha menutupi
لااله الا الله سبحن الرحيم الغفار
Laa ilaaha illallaahu subhaanar rahiimil ghaffaar
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha penyayang lai maha pengampun
لااله الا الله سبحن العزيز الوهاب
Laa ilaaha illallaahu subhaanal `aziizil wahhab
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha perkasa lagi maha pemberi karunia
لااله الا الله سبحن القادر المقتدر
Laa ilaaha illallaahu subhaanal qaadiril muqtadir
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha kuasa lagi memberi kekuasaan

لااله الا الله سبحن ذى الغفران الحليم
Laa ilaaha illallaahu subhaanadzil ghufraanil haliim
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang memiliki ampunan lagi maha penyantun
لااله الا الله سبحن الملك الملك
Laa ilaaha illallaahu subhaanal malikil mulki
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang memiliki semua kerajaan
لااله الا الله سبحن البارئ المصور
Laa ilaaha illallaahu subhaanal baari-il mushawwir
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang menciptakan lagi memberi bentuk
لااله الا الله سبحن العزيز الجبار
Laa ilaaha illallaahu subhaanal `aziizil jabbaar
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha perkasa lagi maha kuasa
لااله الا الله سبحن الجبار المتكبر
Laa ilaaha illallaahu subhaanal jabbaari mutakabbir
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha kuasa lagi maha agung
لااله الا الله سبحن الله عما يصفون
Laa ilaaha illallaahu subhaanallaahi `amma yashifuun
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci allah dari apa yang digambarkan oleh mereka (orang orang musyrik)
لااله الا الله سبحن القدوس السبوح
Laa ilaaha illallaahu subhaanal qudduusis subuuh
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan dalan dzat dan sifat nya
لااله الا الله سبحن رب املئكة والروح
Laa ilaaha illallaahu subhaana rabbil malaa-ikati warruuh
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan para malaikat dan ruh
لااله الا الله سبحن ذى الا لاء والنعماء
Laa ilaaha illallaahu subhaana dzil aalaa-I wan na`maa
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang mempunyai tanda tanda kebesaran dan nikmat
لااله الا الله سبحن الملك المقصود
Laa ilaaha illallaahu subhaanal malikil maqshuud
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci raja yang menjadi tujuan
لااله الا الله سبحن الحنان المنان
Laa ilaaha illallaahu subhaanal hannaanil mannaan
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, maha suci Tuhan yang maha pengasih lagi maha pemberi anugerah
لااله الا الله سبحن ادم صفي الله
Laa ilaaha illallaahu subhaana Aadamu shafiyyullaah
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, adam pilihan allah
لااله الا الله سبحن نوح نجي الله
Laa ilaaha illallaahu subhaana Nuuhu najiyyullaah
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, nuh orang yang diselamatkan oleh allah

لااله الا الله سبحن ابراهيم خليل الله
Laa ilaaha illallaahu subhaana Ibraahiimu khaliilullaah
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, ibrahim kekasih allah
لااله الا الله سبحن اسمعيل ذبيح الله
Laa ilaaha illallaahu subhaana Ismaa`iilu dzabiihullaah
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, ismail yang disembelih allah
لااله الا الله سبحن موسى كليم الله
Laa ilaaha illallaahu subhaana Muusaa kalimullaah
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, musa orang yang diajak berbicara oleh allah
لااله الا الله سبحن داود خليفة الله
Laa ilaaha illallaahu subhaana Daawuudu khaaliifatullaah
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, daud khalifah yang diangkat oleh allah
لااله الا الله سبحن عيسى روح الله
Laa ilaaha illallaahu subhaana `Iisaa ruuhullaah
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, ‘isa adalah ruh ciptaan allah
لااله الا الله محمد رسو ل الله
Laa ilaaha illallaah, Muhammadur rasuulullaah
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain allah, muhammad utusan allah
اللهم ارحمنا ببركة توراة موسى وانجيل عيسى وزبورداود وفرقان محمد رسو ل الله صلى الله عليه وسلم برحمتك ياارحم الراحمين
Allahummar hamnaa bibarakati Tauraati Muusaa wainjiili `iisaa wazabuuri daawuuda wafurqaani muhammadir rasuulillaahi shallallaahu `alaihi wasallama birahmatika yaa arhanar raahimiiin
ya allah, rahmatilah kami berkat taurat musa, injil isa, zabur daud dan al qur’an muhammad Saw utusan allah, dengan rahmatmu wahai yang mah penyayang diantara para
penyayang
والحمد لله رب العالمين
Wal hamdu lillaahi rabbil `aalamiin
Dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam

FAIDAH DAN MANFAATNYA :
1. Barangsiapa yang membaca doa Arasy ini seumur hidupnya sekali terutama sering ( dawam ) maka akan diberikan kepada orang tersebut oleh Allah Ta’ala di hari kiamat, cahaya yang terang seperti cahaya bulan tanggal 14 belas ( purnama ) sehingga semua orang menyangka orang tersebut dari golongan nabi atau golongan malaikat. Dan akan dikasih Buroq sebagai kendaraan menuju ke surga dan juga tanpa di hisab dulu serta tanpa di siksa dulu.
2. Jika orang tersebut mempunyai banyak dosa sepert banyaknya air laut ditambah banyaknya tetesan hujan ditambah banyaknya dedaunan ditambah banyaknya tumbuhan dan hewan yang ada di alam ini akan di ampuni oleh Allah Ta’ala karena berkahnya do’a Arasy ini.
3. Pada Hari kiamat nanti akan menuju shirothol mustaqim seperti kilat yang menyambar untuk ganjarannya membaca do’a Arasy ini.
4. Barangsiapa membaca do’a Arasy ini maka akan dituliskan pahala untuk orang tersebut sebanyak pahala seribu kali menunaikan ibadah haji ditambah seribu kali menunaikan ibadah umroh yang Mabrur.
5. Jika dibacakan kepada orang yang sedang sakit maka akan disembuhkan oleh Allah Ta’ala dari sakitnya.
6. Barangsiapa yang mempunyai banyak kebutuhan sekali baik di dunia dan akhirat maka dengan membaca do’a Arasy ini akan dikabulkan dan dipenuhi kebutuhannya oleh Allah Ta’ala.
7. Barangsiapa yang membawa do’a Arasy ini maka sama saja dengan yang membacanya untuk pahalanya dan juga akan di jaga oleh Allah Ta’ala dari upaya semua musuh-musuh dan dari kemudhorotannya pemerintah yang berkuasa di dunia dan dari kemudhorotannya bangsa jin, syaithon, iblis dan sebangsanya.
8. Jika do’a Arasy ini dibawa oleh seorang isteri akan dimulyakan oleh suaminya
9. Barangsiapa yang membaca do’a Arasy ini 5 kali maka tentu akan bermimpi berjumpa dengan Rosululloh SAW pada waktu tidurnya. ( catatan : mimpi ini tidak mesti penampaknnya berwujud orang tetapi bisa juga berwujud nur Muhammad )
10. Banyak sekali faidah dan manfaatnya yang sebenarnya akan dirasakan sendiri oleh orang yang mengamalkannya juga tergantung dari niatnya untuk tujuan apa. Adapun manfaat yang saya tulis sebelumya juga saya ambil dari kutipan kitab An Nawadir. Insya Allah saya akan jelaskan lebih banyaknya lagi manfaatnya lain waktu tetapi jika anda paham dan mengerti isi dari Do’a Arasy ini baik secara artinya ataupun terlebih lagi secara sirr-nya, Insya Allah anda akan bisa mengamalkannya tergantung dari niat dan hajat anda. Sekian dari saya, kurang lebihnya mohon maaf, yang salah itu datangnya dari saya sedang yang benar itu datangnya dari Allah Ta’ala. Mohon diberitahukan jika ada yang salah dalam pengetikkan atau tulisan arabnya ke email saya di mujahideenindonesia1983@gmail.com. Wassalamu’alaikum Wr Wb. @@@

Caranya :
1. Sholat Sunnat Taubat 2 rakaat
2. Sholat sunnat hajat khsusus 2 rakaat
3. Tawasul :
– Baginda Rasululloh SAW
– 4 sahabat ( Khulafaur Rasiyidhin )
– Malikatul Muqqorobin
– Syekh Abdul Qodir Djailani Al Baghdadi
– Nabi Khidir ibnu mulkan AS ( Penguasa daratan dan Lautan )
– Nabi Adam AS ( Penguasa jagat raya )
– Siti Hawa
– Guru Kita
– Diri Kita Sendiri
4. Baca Doa Kanzul Arasy diatas


Filed under: Seni
Viewing all 210 articles
Browse latest View live